JAKARTA, Beritalima.com– Berlarut-larutnya pemulangan Habib Rizieg Shihab yang ‘tertahan’ di Saudi Arabia ke tanah air mendapat sorotan dari Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon.
“Sudah lebih dari dua tahun. Namun, sampai saat ini belum juga ada kejelasannya. Dari beragam pernyataan yang mewakili pihak pemerintah, ada sejumlah persoalan menghambat kepulangan Imam Besar dan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima Beritalima.com, Selasa (26/11) siang.
Semua tuduhan terhadap Habib Rizieg Shihab (HRS), lanjut Fadli, tidak ada yang terbukti, termasuk isu overstay yang acap kali dijadikan alasan pemerintah, dan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan HRS di Arab Saudi.
“Saya berulang kali bertemu HRS di kediaman beliau di Mekkah dalam kesempatan haji dan umrah. Beliau menceritakan dan menunjukkan bukti-bukti telah berulang kali bermaksud ke luar dari Saudi Arabia bersama keluarga. Bahkan pernah keluarga beliau telah ke luar lewat imigrasi. Namun, HRS tidak bisa ke luar.”
HRS, ungkap Ketua Badan Kerja Sama Parlemen (BKSP) DPRI RI tersebut, bahkan sempat menyampaikan niatnya waktu itu untuk menuntaskan program doktoralnya di Malaysia.
Namun, program doktoral dia itu juga belum bisa diselesaikan akibat hal serupa, yakni tidak boleh ke luar dari Saudi Arabia.
Saya mencatat juga, jelas wakil rakyat Dapil V Provinsi Jawa Barat ini, September 2018, sebagai Wakil Ketua DPR, saya menerima pengaduan resmi tim advokat Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF). Dalam kesempatan itu, Tim advokat GNPF menyampaikan, Juli 2018 HRS dilarang keluar petugas imigrasi Arab Saudi saat hendak ke Malaysia untuk mengurus disertasi S3.
Padahal saat itu, HRS memiliki izin tinggal yang masih berlaku. Herannya, larangan itu belum dicabut, hingga akhirnya visa HRS habis masa berlaku izin tinggal itu alias overstay. “Ada ‘invisible hand’ dibalik kasus HRS yang menghambatnya ke luar dari Saudi.”
Namun, disayangkan,
Pemerintah kemudian menyederhanakan polemik ini bahwa kendala kepulangan HRS seperti beberapa hari lalu diungkapkan Menkopolhukan Mahfud MD, berada di sisi pemerintah Arab Saudi dan HRS, bukan pada pemerintah Indonesia.
Padahal, pihak Saudi tidak punya kepentingan terhadap HRS.
Masalah hambatan kepulangan HRS ada di sisi pemerintah Arab Saudi, bagaimana peran pemerintah Indonesia untuk menangani masalah tersebut?
“HRS bukan warga Saudi. Berlarut-larutnya kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia, menurut hemat saya, mengindikasikan kegagalan diplomasi pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
”
Sebagai warga negara Indonesia, lanjut Fadli, merujuk kepada hukum internasional ataupun nasional, HRS yang saat ini berada di Arab Saudi memiliki hak melekat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia.
“Namun, negara abai terhadap hak warganya dan cenderung membiarkan masalah ini berlarut-larut. Padahal sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan intelijen RI sudah beberapa kali menemui HRS beberapa tahun belakangan ini.
,” kata dia.
Dalam hukum internasional, sebagaimana diatur pada konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5 dinyatakan, negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. “Protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its national, both individuals and bodies corporate within permitted by international law.
Ketentuan itu juga tertuang di dalam sejumlah hukum nasional. UU No: 37/1999 mengenai hubungan luar negeri, misalnya, Bab V pasal 19(b) menyatakan bahwa; “Perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”
Hal itu kemudian diperkuat di dalam Permenlu No: 4/2008 tentang pelayanan warga pada perwakilan RI di luar negeri. Bahkan Menlu Retno Marsudi pada rapat perdana dengan Komisi I DPR pekan lalu menyatakan, prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu kepada prioritas 4+1, di mana salah satu prioritasnya diplomasi perlindungan warga negara.
Dengan begitu, upaya pemerintah untuk memulangkan HRS ke tanah air seharusnya bersifat imperatif, sebagai bukti kehadiran negara dalam melindungi WNI di luar negeri. Itu merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap WNI, yang diatur baik hukum internasional maupun nasional.
Hanya saja, dalam kasus HRS, pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain. “Saya kira ini pandangan yang patut diluruskan. Diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi. Diplomasi dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup. Dan, upaya itu tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.
Selain itu, papar Fadli, kita juga bisa lihat upaya negosiasi memulangkan warga negara yang ditahan negara lain, sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional. Sepuluh tahun lalu misalntya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara.
Hal yang sama juga terjadi pada 2010, saat itu Pemerintah AS mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, warga AS yang ditahan karena memasuki Korut secara illegal atau 2014, ketika Pemeritah AS mengirim Robert King untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yang sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase.
Jadi, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain, adalah praktik yang lazim sehingga jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif dan berlindung di balik alasan anti-intervensi, saya kira cara berpikir itu perlu dikoreksi.
Jika tidak, bagaimana pemerintahan Jokowi bisa mempertanggungjawabkan model diplomasi perlindungan yang menjadi prioritas politik luar negerinya saat ini? ”
Saya kira, sikap yang ditunjukkan pemerintah terhadap polemik kepulangan HRS, justru mempertontonkan lemahnya kualitas negosiasi dan diplomasi pemerintah dalam memperjuangkan hak warganya,” kata Fadli.
Dia mendorong agar sikap pemerintah segera dikoreksi. Harus pro aktif dan lebih progresif.
Negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat.
“Jangan sampai hak HRS sebagai WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya karena perbedaan sikap dan pilihan politik dengan pemerintahan saat ini,” demikian Fadli Zon. (akhir)