Oleh: Drs.H. Asmu’i, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Seorang suami tampak sangat jengkel menghadapi istrinya. Kejengkelan ini bermula dari reaksi istri ketika suami tersebut bermaksud menceraikannya. Permohonan izin untuk mentalak istri di depan hakim, rupanya harus sedikit berliku alias tidak mulus. Penyebabnya ialah sikap istri yang bereaksi dengan menuntut hak-haknya. Rumah tangga yang selama ini dirasakan suami sudah tidak harmonis dan sudah seperti neraka tampaknya tidak bisa segera berakhir akibat reaksi istri tersebut.
Sang istri tampaknya merasa punya cukup alasan atas sikapnya tersebut. Menurutnya, suami pantas dituntut agar tidak seenaknya ‘mencampakannya’ percuma. Padahal, bahtera rumah tangga, dengan segenap suka dan duka selama ini, sudah menghadiahinya beberapa orang anak. Jika suami jengkel karena ulahnya, istri pun merasa berhak ikut jengkel dengan sikap suami selama ini. Dalam pandangan istri latar belakang yang dijadikan alasan suami menceraikannya dirasakan mengada-ada. Apalagi, menurut istri, perceraian yang ditempuh suami dengan segenap alasan yang dianggapnya palsu itu, karena demi memuluskan niatnya agar segera dapat bersanding dengan wanita idaman lain, yang secara diam-diam menjadi pujaan hatinya. Inilah yang menjadi penyebab istri juga sering mengelus dada dengan sesekali menunjuk arah ulu hati sambil bergumam “sakitnya tuh di sini”. Walhasil, karena merasa tidak bersalah, sang istri merasa punya alasan untuk menuntut hak-hak ‘konstitusionalnya’ sekaligus sebagai ‘hukuman’ suami, barangkali mau mengurungkan niatnya. Atau, kalaupun tidak, istri tersebut tidak pulang ke orang tua dengan tangan hampa.
Dalam kondisi demikian, karena merasa mendapat halangan, biasanya suami pun bereaksi dengan memakai senjata pamungkas. Senjata pamungkas tersebut ialah memakai perisai “hukum nusyuz”. Nusyuz dijadikan senjata pamungkas karena, menurut hukum, hanya dengan nusyuz itulah suami bisa ‘selamat’ dari serangan istri dari tuntutan nafkah.
Dalam wacana fikih, semua ulama memang telah sepakat bahwa nusyuz bisa menggugurkan hak nafkah istri. Kompilasi Hukum Islam pun ketika menguraikan hak-hak nafkah istri saat suami mengajukan perceraian, juga mensyaratkan istri tersebut tidak nusyuz (Pasal 149). Akan tetapi, memang patut disayangkan apa dan bagaimana kriteria nusyuz itu tidak pernah dijelaskan. Untuk mengetahui penjelasan menganai nusyuz semua pihak tampaknya harus membuka lembaran demi lembaran literatur-literatur hukum Islam yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab fikih serta wacana yang berkembang dalam fikih kontemporer.
Dalam tradisi keilmuan fikih, nusyuz diartikan “menentang” (al-ishyan). Istilah nusyuz sendiri diambil dari kata al-nasyaz, artinya bangunan bumi yang tertinggi (mairtafa’a minal ardi). Makna ini sesuai dengan pengertian yang ada dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “wa idza qila unsyuzu”. Secara terminologis nusyuz berarti sikap tidak tunduk kepada Allah SWT untuk taat kepada suami. Sedangkan menurut Imam Ragib sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer dalam bukunya menyatakan, bahwa nusyuz merupakan perlawanan terhadap suami dan melindungi laki-laki lain atau mengadakan perselingkuhan.
Meskipun para ulama beragam dalam meredaksikan definisi nusyuz, secara garis besar pada pokoknya nusyuz dimaknai segala bentuk perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum. Betapa keras dan tegasnya akibat nusyuz ini para ulama fikih sampai memberikan ilustrasi, bahwa dalam kasus suami beristri lebih seorang (Ta’adud al-Zaujah) istri yang nusyuz selain tidak berhak mendapatkan nafkah, istri tersebut juga tidak berhak untuk mendapat gilir “bermesra ria” dari suaminya.
Meskipun makna nusyuz sudah jelas, perbuatan dan sikap saja yang dapat dikualifikasikan sebagai “perbuatan yang keluar dari ketaatan” dan “sikap pembengkangan” tersebut? Sebagai contoh, apakah sikap istri keluar rumah tanpa izin suami untuk menjenguk orang tua yang sakit beberapa hari dan suami tidak berkenan, termasuk nusyuz? Apakah istri yang menolak diajak berhubungan seksual dengan alasan letih karena penat bekerja seharian, juga termasuk nusyuz? Apakah ketika istri pulang ke orang tuanya tanpa izin suami sehabis bertegkar dengannya dikualifikasikan sebagai nusyuz?.
Di era modern dengan segenap efek kamajuan yang salah satunya ditandai oleh adanya kesetaraan gender, jawaban megenai sejumlah pertanyaan tersebut tentu tidak bisa hitam putih. Apalagi, fakta menunjukkan bahwa nusyuz juga bukan monopoli perempuan (istri). Dalam Al Qur’an, dalam hal ini surat Al Nisak ayat 128, sekalipun dengan tindak lanjut berbeda, dengan tegas dinyatakan dimungkinkan suami bersikap nusyuz kepada istrinya.
Saleh bin Ganim al-Saldani dalam kitabnya al-Nusyuz alih bahasa A. Syauqi Qadri, yang sering diambil alih sebagai pendapat Majelis dalam beberapa putusan perceraian, nusyuz suami adalah tindakan atau perbuatan durhaka yang dilakukan seorang suami terhadap istri. Dengan merangkum pendapat ulama Imam Madzhab, menurutnya perbuatan atau sikap suami yang dapat dipandang sebagai nusyuz, seperti suami membenci dan menyakiti seorang istri. Pada saat yang sama juga dapat dijumpai pernyataan menarik dalam fikih:
وليس الشتم للزوج من النشوز، بل تستحق به التأديب من الزوج في الأصح، ولا يرفعها إلى القاضي
Artinya: “Menurut pendapat yang lebih sahih, berkata kasar kepada suami bukan termasuk nusyuz, tetapi dia berhak (harus) diajari oleh suami jika melakukan hal tersebut. Jika hal ini terjadi, suami tidak perlu melapor pada qadli (lihat Fathul Qarib).”
Karena adanya fakta inilah, maka para ulama fikih, konteksnya dengan perselisihan suami istri, membedakan “nusyuz” dengan “syikak”. Nusyuz sebagai perselisihan suami istri yang disebabkan oleh salah satu pihak, suami atau istri. Sedangkan, syikak, adalah perselisihan suami istri yang disebabkan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama.
Dari ilustrasi di atas, tampaknya para pengadil hukum keluarga harus jeli. Ketika melihat kasus perselisihan suami istri, perlu mencermati peristiwa yang melatar belakanginya. Tanpa demikian, akan secara serampangan menjustifkasi perselisihan yang ujungnya akan merugikan salah satu pihak, suami atau istri. Sebagai contoh, apakah seorang istri yang ‘minggat dari rumah tanpa izin suami dapat secara merta disebut nusyuz sehingga tidak berhak nafkah? Jawabannya: belum tentu. Kalau istri minggat dari rumah habis bertengkar dan merasa tidak aman dan nyaman dalam satu rumah dengan suami, tentu bukan nusyuz. Perselisihan yang terjadi dengan suaminya dengan latar belakang demikian, dapat dikualifkasikan sebagai syikak. Harus dibedakan dengan ketika istri tanpa ada sebab apapun, tiba-tiba keluar rumah tanpa izin suami. Apalagi, keluar dari rumah tersebut terbukti dengan laki-laki lain. Kalau suami tidak rela dan menimbulkan peselisihan, maka perselisihan tersebut terjadi karena nusyuz.
Dari wacana di atas hendak dikatakan bahwa untuk menjustifikasi suatu tindakan istri termasuk nusyuz atau tidak dengan segenap konsekuensinya, harus dilihat secara adil. Peristiwa yang melatarbelakangi sikap dan tindakan istri harus dilihat melalui perpektif kedua belah pihak (suami dan istri) secara bersama-sama. Ketika istri keluar dari ketaatan kepada suami tetapi ada sejumah alasan pembenar menurut hukum, tentu tidak dapat dikualifkasikan sebagai nusyuz. Alasan pembenar ini juga tidak dapat diukur meneurut perspektif hukum munakahat klasik. Sebab, di alam moderen ini, banyak hukum-hukum munakahat klasik yang tidak bisa serta merta diterapkan karena bertentangan, misalnya, dengan kesetaraan gender. Hukum munakahat dimaksud tentu hukum munakahat yang masih memungkinkan menerima penyesuaian karena masih masuk ranah yang masih dapat diperdebatkan ulang (ijtihad). Atau, hukum munakahat yang sudah secara tegas tertulis dalam teks-teks agama (al Qur’an dan As Sunnah) akan tetapi masih memungkinkan menerima kontektualisasi akibat perkembangan zaman.
Dengan demikian, para suami kini tidak dapat lagi memakai istilah nusyuz secara serampangan sekedar untuk mengelak dari tanggung jawab, Sebab kalau ketahuan Isa Sulistiyono (pelawak asal Jombang) pasti akan diolok-olok dan sikapnya akan dijadikan bahan lawakan, dengan kata-katanya yang populer: “Sedikit sedikit nusyuz…. sedikit sedikit nusyuz…….nusyuz kok cuma sedikit?
Wallahu A’lam.