Oleh: Saiful Huda Ems
Sejak selesai diselenggarakannya PILPRES 2019 hingga menjelang putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memutus perkara sengketa Perselisihan Hasil Perhitungan Pemilu (PHPU) dalam hal ini PILPRES, gencar dimunculkannya berbagai ancaman pada KPU dan Pasangan Capres 01 Jokowi-KH. MA’ruf Amin, bahwa pihak yang kalah Capres 02 akan membawa kasus kecurangan PILPRES secara terstuktur, siatemis dan masif (TSM) yang dituduhkannya itu ke Lembaga Peradilan Internasional (LPI). Bagi saya ancaman ini merupakan ancaman lucu –kalau tidak mau dibilang bodoh– karena pada hakikatnya, Lembaga Peradilan Internasional (LPI) maupun Mahkamah Internasional (MI), tidaklah berwenang untuk mengadili dan memutus perkara-perkara seperti itu, terlebih lagi Pasangan Capres dan Cawapres 02 Prabowo-Uno bukanlah representasi dari negara atau kepala negara.
Lembaga Peradilan Internasional adalah lembaga yang melaksanakan proses penegakan hukum di dunia internasional. Lembaga ini hanya berwenang menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara dua negara, antara sekelompok orang dengan negara lain, ataupun antara seseorang dengan negara lain. Sedangkan Mahkamah Internasional merupakan organisasi atau badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang menangani masalah hukum internasional. Lembaga peradilan ini mempunyai kesekretariatan di Den Haag, Belanda yang berdiri di thn.1945 dan mulai melaksanakan tugasnya di thn.1946.
Selain itu kita mengenal juga yang namanya Mahkamah Pidana Internasional (MPI), yang merupakan lembaga peradilan yang bersifat tetap dan berdasarkan pada perjanjian atau traktat multilateral antar banyak negara. Lembaga ini tidak terkait dengan PBB, sehingga keanggotaannya tidak berhubungan dengan badan lain di PBB. Mahkamah ini dicetuskan di Roma, Italia pada 17 Juli 1998 dan baru disahkan pada 1 Juli 2002. Traktat multilateral yang ditandatangani bersama dalam MPI ini adalah hukum bagi terpidana kejahatan berat internasional. Jadi MPI itu hanya berperan dalam tindak kejahatan atau pidana internasional, yang diantaranya meliputi: kejahatan genosida (The Crime of Genosida), kejahatan perang (War Crimes) dll.
Lalu pertanyaan saya, dalam hal sengketa PHPU di MK 2019 ini memangnya Prabowo-Uno itu siapa, punya jabatan apa dan sedang bermasalah dengan negara mana? Kenapa pula mereka hendak membawa kasus ini ke Lembaga Peradilan Internasional? Jangan sampai hanya gara-gara tidak mampu membuktikan tuduhannya bahwa KPU telah melakukan kecurangan PILPRES yang terstruktur, sistematis dan masif untuk memenangkan Paslon Capres 01 Jokowi-MA, di persidangan sengketa PHPU di MK melalui kuasa hukumnya, lalu membuat pernyataan-pernyataan yang bodoh tapi merasa akan bisa membodohi semua orang. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal sebuah asas yang menjadi pegangan para pihak. Seseorang yang mempunyai hak atau mengemukakan suatu peristiwa harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tsb. Asas ini diatur dalam Pasal 163 HIR yang dikenal dengan Asas: “Actori incumbit onus probandi” atau biasa dikenal juga dengan Asas: “Actori incumbit probatio”: Bahwa siapa yang menggugat atau menuntut, maka dialah yang harus membuktikan dalil-dalilnya. Dan jangan karena hanya bisa menuduh dan tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya lalu memaksa MK dan pihak lainnya yang harus membuktikannya. Jadilah advokat yang waras !…(SHE).
Jakarta, 26 Juni 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan penulis yang menjadi Ketua Umum Pengurus Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI.