SURABAYA, beritalima.com | Kasus yang menimpa artis dan politisi Venna Melinda sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Ferry Irawan, menjadi pembuka tahun 2023 bahwa kejahatan KDRT masih sering terjadi. Sebelumnya, berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, pengaduan kasus kekerasan di ranah personal (ruang lingkup rumah tangga atau domestik) menempati angka tertinggi yaitu sebesar 2.527 kasus, dengan kecenderungan meningkat setiap tahun.
Yang memprihatinkan, kasus seorang istri yang menjadi korban KDRT, umumnya dialami berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Potret inilah yang menimpa Farita Sari Dewianti, yang mengenal Bhayu Indarto pada 2014 silam. Bertemu disaat status keduanya ‘sendiri’, maka FSD, janda dua anak, merasa mendapat ‘angin segar’ untuk membangun rumah tangga kedua kalinya. Keinginan tidak gagal berumah tangga lagi, membuatnya menaruh harapan tinggi pada sosok BI.
Sayangnya, kelihaian BI menunjukkan rasa cinta dan sayang, ternyata diwarnai dengan tindak kekerasan seperti menampar saat mereka berselisih paham. Namun karena tidak ingin menjadi aib disebabkan gagal menikah setelah sebelumnya gagal berumah tangga, membuat FSD tetap memilih mempertahankan hubungan dengan BI. Termasuk, ajakan nikah siri pada 2017.
“BI sejak pacaran, memang suka menampar jika emosi, tapi saya memaafkan karena saya memaklumi sikapnya yang temperamental. Saya pikir dia pasti berubah, karena dia selalu bisa meyakinkan saya. Dia pun terlihat calon Bapak yang penyayang untuk anak saya,” jelas FSD kepada awak media (13/1).
FSD pun menerangkan bahwa dirinya mau menikah siri karena BI menjanjikan segera menikahi resmi. Namun, selama pernikahan siri, BI jika sebelumnya hanya tindak kekerasan non seksual, setelah menikah siri, BI ternyata kerap melakukan tindak kekerasan seksual. Hal ini membuat FSD jengah dan melaporkan ke Polres Tanjung Perak pada 19 Juli 2017. Laporan atas tindak pidana penganiayaan dan atau pengrusakan sesuai Pasal 351 KUHP Jo., Pasal 406 KUHP tersebut, disebabkan tubuh FSD dilempar di halaman rumah sehingga menimpa sepeda motor.
“Saat itu, saya curiga BI ada main dengan wanita lain, karena BI tidak kunjung menikahi resmi. Saya pun mengambil handphone BI, dan BI langsung memaki-maki saya dan mendorong tubuh saya sampai jatuh di kasur. Saya pun lari keluar rumah, dan BI mengejar saya lantas mencekik, memegang lengan saya, dan melempar tubuh saya hingga menimpa sepeda motor yang saya parkir di halaman,” terangnya.
Lagi-lagi cinta, FSD pun memilih memaafkan dan mencabut laporan setelah BI membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi tindak kekerasan. FSD pun kembali terbuai cinta BI dan pada 30 Agustus 2019, barulah terjadi pernikahan secara negara (KUA) antar keduanya.
Namun BI kemudian berulah lagi. Setelah menikah resmi, BI semakin sering melakukan tindak kekerasan, terlebih setiap kali FSD menaruh curiga atas sikap BI yang aneh.
“BI memang suka selingkuh. 13 Mei 2022, saya pergoki dia di hotel Malibu Surabaya. Tapi saya heran, kenapa saya ini kok masih mau saja jadi istrinya. Saya selalu memaafkan meski berkali-kali dia selingkuh dan kasar. Namun akhirnya saya kapok karena 7 Juni 2022, dia sudah keterlaluan. Dia mukulin saya karena dia ketahuin chat mesra dengan lima wanita.”
Kejadian terakhir itulah yang menjadikan kesabaran FSD habis hingga FSD pun melaporkan BI ke Polrestabes Surabaya.
“Tanggal 8 Juni 2022 saya ke Polres, namun diminta kembali keesokan hari karena petugas disana bilang bahwa klinik untuk visum (petugas PPA) sudah tutup. Akhirnya tanggal 9 Juni 2022 saya kembali kesana dan melaporkan BI tentang kejahatan tindak pidana KDRT,” terangnya.
Setelah pelaporan tersebut. FSD pun menggugat cerai BI, tepatnya 13 Juni 2022, dan putusan cerai dari Pengadilan Agama pun turun pada 27 Juni 2022.
Kasus KDRT tersebut pun berbuntut pada proses pengadilan, tepatnya pada 13 Oktober 2022 yang mana pada sidang tersebut, jaksa menuntut BI atas pelanggaran pasal 44 ayat 1 UU KDRT dan hukuman pidana satu tahun. Hukuman yang ‘ringan’ tersebut, semakin ringan dengan putusan pengadilan pada 26 Desember 2022, yang dalam petikan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 2126/Pid.Sus/2022/PN.Sby, menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Bhayu Indarto dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan.
Dalam persidangan, FSD mendengar kalimat bahwa BI akan menjalani tahanan kota.
“Selama ini jaksa kurang terbuka, bahkan cenderung tidak kooperatif, jadi saya merasa bingung, kenapa sampai seringan ini. Seakan-akan yang saya alami ini bukan masalah berarti. Padahal saya tidak hanya mengalami kekerasan fisik, tapi juga psikis karena saya jadi pergunjingan karena ulah BI, anak saya juga trauma sehingga pindah ke Semarang.”
Merasa tidak mendapatkan keadilan, FSD yang selama ini berkonsultasi hukum dengan Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, S.H.,M.Hum., pun menempuh berbagai upaya, termasuk dengan bersurat kepada Kapolda Jatim, Mahkamah Agung, dan Kejaksaaan Agung RI tertanggal 4 Januari 2023.
Sedangkan disisi lain, aktivis perempuan, Lia Istifhama, menyinggung tidak dikenakannya pasal terkait kekerasan seksual, yaitu pasal 46 UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, selain pasal 44 di atas.
“Terang dijelaskan dalam Pasal 46, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00. Jadi seharusnya Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT di-junctokan dengan pasal 46,” terang Ketua LBH Srikandi Bakti Insani tersebut.
Doctoral UINSA tersebut tak menampik, ringannya hukuman pada pelaku KDRT, yaitu hanya delapan bulan penjara, akan menghambat keadilan bagi korban KDRT.
“Kalau hukuman selalu ringan, maka dimana letak efek jera bagi pelaku?”, tegas keponakan Gubernur Khofifah tersebut.