Berubahnya Pemahaman Agama Di Era Google ?

  • Whatsapp

Review 10 Pakar atas
Buku Denny JA
 

Anick HT
 

Data survei dari Gallup Poll yang dipadukan dengan World Happiness Index dari PBB menghasilkan temuan itu. Agama tak lagi dianggap penting oleh mayoritas penduduk yang negaranya dianggap paling bahagia.

Justru di negara-negara yang penduduknya menganggap agama faktor penting dalam hidupnya, tingkat ukuran kebahagiaannya biasa-biasa saja.

Fakta-fakta inilah yang ditelaah dan dianalisis dengan tajam oleh Denny JA dalam buku 11 Fakta di Era Google: Pergeseran Pemahaman Agama, dari Kebenaran Absolut Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama.

Sebanyak 10 pakar merespon buku Denny JA. Respon 10 pakar itu kini juga dibukukan, karena kandungan informasinya penting sebagai bagian public discourse.

-000-

Dengan piawai Denny JA membedah fakta-fakta yang menggeser posisi dan peran agama dalam kehidupan manusia.

Meski fakta-fakta mencengangkan ini tak juga menggoyang keyakinan manusia terhadap ajaran agamanya. Namun ia menyentak kita. Betapa alasan dasar kehadiran agama telah pula bisa dijawab oleh elemen non-agama.

Buku karya Denny JA ini dengan apik memotret perubahan itu. Buku ini tidak sedang berteori, apalagi berimajinasi.

Fakta-fakta perubahan peradaban dipotret menggunakan banyak hasil riset berbasis ilmu pengetahuan.

Perubahaan cara beragama adalah fenomena faktual.
Semakin banyak manusia yang memosisikan agama lebih sebagai kekayaan kultural milik semua manusia.

Mereka beragama atau mereka tidak beragama secara rileks saja.
Mereka lebih rileks bahkan untuk ikut menikmati perayaan hari besar berbagai agama.

Bersama mereka merayakan Tahun Baru. Bersama merayakan Thanksgiving Day. Bersama merayakan Gong Xi Fat Chai. Bersama pula merayakan Natal. Pada waktunya, bersama pula merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Bulan Ramadan.

Buku ini menganalisis dengan cermat perubahan peradaban itu, lalu merekomendasikan seperangkat kearifan penting dalam melihat masa depan agama, masa depan manusia.

Bagi Denny, sebelas fakta era Google yang dipaparkannya perlahan akan mengubah pemahaman agama dari kebenaran mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama.

Anggap saja umusan ini sebagai Denny JA’s Law of The Future of Religions.

-000-
 
Sebagai pengantar untuk membaca review buku ini, ada baiknya saya ringkaskan lima gagasan utama yang ditulis oleh Denny JA dalam bukunya:

SATU: Pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tak lagi menganggap agama penting dalam hidupnya.

Ada tiga data riset dari lembaga kredibel yang selalu dirujuk untuk membuat kita semua belajar menjadi manusia yang lebih baik.

Riset tentang kebahagiaan manusia (World Happiness Index). Riset tentang kesejahteraan manusia (Human Development Index). Dan riset tentang persepsi korupsi (Corruption Perception Index).

Tiga riset ini kemudian dihubungkan Denny JA dengan riset mengenai seberapa pentingnya agama bagi masyarakat (The Importance of Religions, Based on Countries: World Gallup Poll).

Hasil riset ini mencengangkan bagi sebagian orang.
Negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (World Happines Index), yang negaranya paling bersih (Corruption Perception Index), yang kualitas pembangunan manusianya paling tinggi (Human Development Index), mayoritas warganya tidak menganggap agama itu penting bagi hidupnya.

Begitu pun sebaliknya: negara yang mayoritas warganya menganggap agama itu penting, tingkat kebahagiaan penduduknya, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan kualitas pembangunan manusia di sana, hanya di papan tengah hingga di bawah rata-rata.

DUA: Arkeolog memberi fakta berbeda soal kisah para nabi yang sebenarnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian rupa, sehingga fakta sejarah peradaban manusia bisa diteliti dan dianalisis, bahkan sejarah ribuan tahun yang lalu.

Penelitian arkeologi dan antropologi sampai pada kesimpulan faktual bahwa beberapa hal yang tertulis dalam kitab suci agama-agama bukanlah fakta sejarah.

Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Musa bukanlah tokoh sejarah. Tak ada bukti arkeologis yang mendukung keberadaan mereka, dengan segala cerita sejarahnya.

Fakta lain yang merupakan salah satu temuan riset Dan Gibson selama tiga puluhan tahun, misalnya. Temuan itu, ditambah bukti arkeologis dan dokumen sejarah lainnya, melahirkan sebuah hipotesis, bahkan klaim: Bahwa awal kelahiran Islam itu bukan di Mekkah tapi di Petra.

Seratus tahun pertama berdirinya Islam, masjid-masjid di Jordania, Irak, Yaman, Suriah, Mesir, hingga India, mempunyai arah kiblat yang sama.

Ketika masjid itu dipetakan, ia mengarah ke satu kota. Dan kota itu ternyata bukan Mekkah, bukan Jerusalem. Kota itu adalah Petra di Jordania.

Tapi apakah fakta-fakta seperti itu mengubah keyakinan pemeluk Islam? Tidak!

Agama adalah soal keyakinan. Agama-agama masih bertahan ribuan tahun hingga saat ini, dan dipeluk oleh miliaran manusia.

Agama adalah lompatan iman yang menyeluruh. Bagi penganut agama yang yakin, bahkan fakta sejarah yang salah tidaklah mengganggu.

Umat kristen meyakini fakta Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Umat Islam meyakini fakta Nabi Isa tak mati disalib.

Umat Kristen meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak. Umat Islam meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail.

Ini dua fakta yang berbeda. Pasti salah satu fakta itu salah. Ternyata kesalahan fakta sejarah tetap bisa diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun.

TIGA: Hari besar agama mulai juga dirayakan oleh penganut agama lain.

Pada tahun 2013, Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir dalam hari raya agama lain.

Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.
Di samping dirayakan oleh umat kristiani, kini Natal juga dirayakan oleh 81 persen umat non-Kristen di Amerika Serikat.

Yang dimaksud non-Kristen di sini, tak hanya pemeluk agama Budha, Hindu, Bahai, juga Islam. Tapi juga mencakup mereka yang tak lagi percaya pada agama.

Bahkan mereka yang tak lagi percaya pada konsep Tuhan yang dibawa oleh banyak agama besar. Dengan suka cita mereka ikut menyanyikan lagu Natal. Mereka menghias ruang tamu dengan pucuk pohon pinus. Kadang saling bertukar hadiah.

Hussein Allouch, tokoh muslim di Denmark, juga mengundang para sahabat dari berbagai keyakinan datang ke rumahnya, merayakan Natal.

Apa yang bisa dibaca dari data itu?

Di sebagian segmen masyarakat post-modern kini sudah melampaui tahap kritis, skeptis, dan anti agama. Mereka mengambil sisi positif hari besar agama sebagai pengalaman kultural belaka.

Sebagian tetap tak percaya agama Kristen. Bahkan tak percaya pada agama mana pun. Tapi agama tak lagi mereka dekati dengan pendekatan benar atau salah.

Tahap itu sudah mereka lampaui. Mereka mendekati agama sebagai kekayaan budaya saja. Dan kekayaan budaya itu milik semua manusia.

Di sisi lain, bangkit pula persepsi akan pentingnya komunitas, kebersamaan, persahabatan, dan perayaan.
Banyak temuan dari studi mengenai happiness menekankan itu.

Hubungan personal antar-individu, yang hangat, yang saling menghargai, itulah sila pertama kebahagiaan.
Bukan harta. Bukan kekuasaan. Bukan jabatan. Yang membuat bahagia adalah hubungan interpersonal.

EMPAT: Setelah pendiri agama tiada, hilang pula otoritas tunggal agama. Percaya pada agama menjadi percaya pada tafsir siapa.

Jumat, 12 Januari 2018 adalah hari yang bersejarah di Arab Saudi. Dan tentu saja bagi Areej Al Ghamdi, salah satu perempuan di negeri itu yang menggemari sepak bola.

Hari itu, di Stadion King Abdullah, dua tim sepak bola bertanding: Al Ahli versus Al Batin.

Areej adalah satu dari 300 perempuan Arab Saudi yang merasakan pengalaman pertama menonton sepak bola langsung di stadion.

Sebelumnya, wanita menonton bola di stadion dilarangan keras.

Mengapa aturan yang diyakini sebagai aturan agama itu bisa berubah? Apakah itu bagian dari ajaran, atau hanya interpretasi terhadap ajaran?

Atau ini hanya kultur lokal saja? Atau ini hanya aturan pemerintah yang tak ada hubungannya dengan agama?

Atau ini hanya cabang kecil dari aturan agama yang boleh berubah? Lalu apa inti dari agama yang tak boleh berubah?

Bagaimana pula memisahkan agama dengan kultur lokal setempat ketika sudah bercampur dalam praktik budaya yang panjang? Itu agamakah? Itu kulturkah?
Itu gabungan keduanyakah? Itu bolehkah dari kaca mata doktrin agama?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu muncul dalam kasus seperti ini. Tak bisa terhindari bahwa masalah agama adalah masalah interpretasi. Ini semata masalah tafsir.

Dua ahli yang sama-sama mengerti kitab suci, sama-sama meyakini satu agama, sama-sama berniat tulus menjalankan agama karena tanggung jawab individu pada Tuhan, bisa berakhir dengan interpretasi yang berseberangan.

Karena itu, diperlukan cara pandang baru dan kearifan dalam memahami dan memosisikan agama dan segala ajaran turunannya.
Apakah yang boleh di satu tempat dan satu waktu, bisa saja dilarang di tempat dan waktu lainnya?

Semua tergantung argumen dan konteks yang melingkupinya. Kadang kala itu tergantung cara pandang penguasa terhadap ajaran agamanya.

LIMA: Intisari ajaran 4.300 agama.

Apa yang bisa disebut sebagai intisari dari agama-agama yang hingga kini tercatat berjumlah 4.300?

Sejarah homo sapiens juga adalah sejarah pencarian makna hidup. Begitu banyak agama dan kepercayaan yang dilahirkan. Sebagian juga sudah terkubur karena tak lagi sesuai dengan kesadaran zaman.

Lalu apa kesamaan prinsip hidup di antara banyak agama dan aliran itu? Apa harta karun yang menjadi irisan semua agama?

Setidaknya ada tiga nilai terpenting yang muncul dari banyak agama besar dan Stoic Philosophy.
Nilai spritualitas itu tidak di mana-mana. Ia berada di dalam diri kita sendiri.

Sebut saja dengan Spiritual Blue Diamonds. Tiga berlian biru. Berlian biru adalah batu termahal yang ada di bumi.

Pertama adalah prinsip The golden rule. Prinsip kebajikan. Prinsip utama moralitas. Lakukan pada orang lain serbagaimana yang kau harap orang lain lakukan padamu. Atau, jangan lakukan pada orang lain apapun yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu.

Prinsip ini tertulis di semua kitab suci agama besar. Bahkan prinsip kebajikan juga menjadi ajaran utama Stoic Philisophy, yang sudah ada tiga ratus tahun sebelum kelahiran agama Kristen, dan 900 tahun sebelum kelahiran agama Islam.

Kedua adalah prinsip Power of giving. Berikan apa yang kau bisa untuk menolong orang lain, untuk menumbuhkan orang lain, untuk membahagiakan orang lain.

Lakukan prinsip ini terutama kepada mereka yang tak beruntung.
Ini harta karun lain yang ada di semua agama besar.
Kau hidup dari apa yang kau ambil. Tapi kau bahagia dari apa yang kau beri. Derma atau pemberian tak selalu berarti materi.

Tapi yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Prinsip ini juga ada di begitu banyak agama dan aliran spiritualitas.

Ketiga adalah prinsip The oneness. Prinsip bahwa segala hal itu satu. Prinsip saling keterkaitan satu sama lain.

Sesama manusia itu satu. Di balik perbedaan identitas sosial, lebih mendasar persamaannya sesama homo sapiens.

Melukai satu manusia itu sama dengan melukai bagian tubuh kita sendiri.

Antara manusia dan lingkungan sekitar juga satu. Sungai, pohon, udara, mereka semua bagian dari keluarga manusia. Rawatlah lingkungan sebagimana kita merawat keluarga sendiri.
Antara manusia dan alam semesta juga satu.

Bumi hanya setitik debu saja. Tapi ia bagian tak terpisahkan dari keluasan alam semesta.
-000-
 
Provokasi Denny JA melalui bukunya cukup menggelitik banyak pihak. Data-data yang dianalisis menghasilkan kesimpulan pertanyaan yang menantang: apakah agama masih relevan di era Google sekarang ini?

Buku ini memuat 10 tanggapan terhadap provokasi Denny JA tersebut.

Mengamini temuan Denny, Luthfi Assyaukanie memulainya dengan menambahkan bumbu provokasi. Bagi Luthfi, Denny tidak terlalu tegas membaca “kematian agama”.

Luthfi mengutip Daniel Dennet, seorang filsuf dan aktivis gerakan Ateisme Baru, yang meramalkan bahwa agama akan bertahan 500 tahun lagi.

Menurutnya, sebagian besar negara sekarang ini membuat sendiri aturan pemerintahan yang umumnya bersifat sekuler.

Semakin sekuler sebuah pemerintahan, semakin besar potensinya untuk berkembang. Semakin religius sebuah pemerintahan, semakin besar peluangnya untuk terbelakang.

Demokrasi dan kebebasan akan berkembang dengan baik pada pemerintahan yang sekuler, yang jauh dari intervensi agama.

Dengan kata lain, sebagai institusi, agama semakin tidak relevan buat kehidupan manusia modern.

Dan bagi Luthfi, umur agama mungkin tak sampai 500 tahun lagi. Agama akan mati dalam 100, atau paling lambat 150 tahun lagi.

Agak berbeda dengan Luthfi, Azyumardi Azra justru melihat ada semacam gairah baru kebangkitan agama, bahkan eksplosi keagamaan, terutama di kalangan kelas menengah.

Namun, kebangkitan ini justru orientasi agamanya cenderung intoleran dan bermusuhan dengan kaum beriman seagama tapi berbeda paham dan praksis agama, dan juga dengan penganut agama lain.

‘Hijrah’ kemudian berarti meninggalkan pekerjaan dan kehidupan arus utama, lalu mengalienasikan diri dari lingkungan sosialnya.

Karena itu, tantangan agama hari ini dan ke depan bagi warga yang yakin bahwa agama penting adalah membangun paradigma, pemahaman, dan praksis keagamaan yang holistik, komprehensif, dan menyeluruh.

Lebih lanjut, Azyumardi melihat bahwa berbagai argumen Denny JA dalam bukunya masih perlu dikaji dan diuji lebih lanjut.

Karena itu perlu dilakukan riset lebih luas, dan pemetaan yang lebih komprehensif.
Terdapat interdependensi dan interplay, saling memengaruhi antara satu bidang dan ranah kehidupan dengan bidang lain, yang pada gilirannya juga memengaruhi dinamika internal keagamaan.

Terkait temuan-temuan arkeologis mengenai kenabian dan juga biblical archeology. Wahyuni Nafis dalam tulisannya menggarisbawahi bahwa berbagai fakta rasional dan alami yang dipaparkan datanya oleh Denny seakan benar-benar telah memporak-porandakan fondasi keyakinan kaum beragama.

Jesus Kristus dibuat menjadi tidak jelas dari mana berasal. Musa dianggap tokoh fiktif, karena sebelumnya pernah ada kisah serupa Raja Sargon.

Mekkah sebagai kota asal kelahiran Islam digoyang dengan menyodorkan Petra. Banjir bah zaman Nabi Nuh diragukan terjadi karena tidak terdukung fakta-fakta alami.

Namun, Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya menyebut bahwa sebagian intelektual dan mufassir Islam sebenarnya sudah memiliki jawaban alternatifnya.

Fazlur Rahman, misalnya, membahas tentang apakah Alquran itu kitab sejarah atau kitab yang lebih merupakan tuntutan etika.

Dia berkesimpulan bahwa Alquran bukan buku sejarah.
Beberapa terjemah Alquran dari Ahmadiyah, baik Lahore maupun Qadiani, juga menerjemahkan ulang cerita-cerita dalam Alquran yang seakan bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan.

Di antaranya terkait kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama, Isra’ Mi’raj, keperawanan Maryam setelah melahirkan Nabi Isa, kemampuan Nabi Sulaiman memindahkan istana Ratu Balqis dan berbicara dengan semut, tongkat Nabi Musa yang mampu membelah laut, dan lain-lain.

Cerita-cerita seperti itu tak bisa diterima oleh nalar manusia dan karena itu beberapa rationalists muslim menerjemahkan ulang sehingga tak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Bagian penting dari buku Denny yang juga menarik perhatian adalah solusi yang ditawarkan Denny JA dengan memetik pesan-pesan universal agama yang disebut sebagai 10 mutiara yang dia sebut sebagai intisari agama.  

Spiritualitas yang dibangun di atas 10 mutiara tersebut bukan saja akan menjadikan seseorang beragama secara otentik, tapi juga terbuka dengan kemajuan-kemajuan baru.

Inilah yang oleh Rumadi dalam tulisannya disimpulkan bahwa percikan pemikiran Denny JA ini merupakan wujud kecintaan Denny JA pada agama yang dia yakini.

Dia berusaha menyalakan lilin agar Islam menjadi agama yang menopang kemajuan, bukan agama yang justru mendestruksi kemajuan.

Selamat membaca.

Maret 2021

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait