JAKARTA, Beritalima.com– Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisikom IISIP) Jakarta 1996-1999, Muhammad Jamiluddin Ritonga mengatakan, biarkanlah RRI menjadi Media Publik sesungguhnya dari pada harus menjadi corong kelompok tertentu seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan.
Itu dikatakan mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisikom IISIP) Jakarta ini menanggapi ada pihak menilai RRI sudah menjadi corong Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Forum Pembela Islam (FPI) yang dibubarkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Biarkan RRI menjadi media publik sesungguhnya. Artinya, tidak berpihak kepada salah satu kelompok,” kata pria yang akrab disapa Jamil tersebut ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Jumat (15/5) pagi.
Kalau alasan RRI lebih banyak memuat berita terkait PKS dari pada fraksi lainnya yang ada di Parlemen, itu dinilai Jamil belum cukup menjadi alasan lembaga penyiaran milik negara ini menjadi corong PKS atau Organisasi Masyarakat (Ormas) yang dibubarkan rezim ini.
“Penilaian tersebut harus melalui kajian mendalam. Tidak cukup dengan hasil monitoring terhadap jumlah pemberitaan yang ditampilkan maupun ditayangkan dalam jangka waktu tertentu,” kata pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi dan Riset Kehumasan Universitas Esa Unggul Jakarta ini.
Lebih jauh dikatakan Jamil, temuan itu seyogyanya tidak serta merta dijadikan dasar untuk menghakimi RRI. Untuk menyimpulkan RRI sebagai corong PKS dan FPI tentu tidak cukup hanya mengacu pada jumlah berita yang disiarkan.
Frekuensi berita PKS dan FPI yang tinggi, ungkap Jamil, bisa saja karena pada periode tersebut banyak peristiwa dari dua lembaga itu yang punya nilai berita tinggi. “Sebab itu, wajar saja kalau RRI banyak menyiarkan berita terkait PKS dan FPI,” jelas dia.
Sebagai media massa, lanjut Jamil, RRI juga harus memperhatikan kaidah berita. Nilai berita, objektifitas, netralitas, dan berita seimbang (balance news) haruslah tetap menjadi acuan bagi RRI dalam mebuat berita.
“Jadi, frekuensi pemberitaan yang tinggi tidak serta merta RRI langsung divonis sudah menjadi corong PKS dan FPI. Perlu dilihat lebih jauh, apakah arah pemberitaannya positif, netral, atau negatif terhadap PKS dan FPI,” kata Jamil dengan nada bertanya.
Sebagai media publik milik negara, RRI memang harus mengayomi semua elemen masyarakat. RRI harus mampu menjembatani semua elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
“Aspirasi itu bisa saja bernada memuji, mengeritik, atau netral. RRI yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tentulah harus mengakomodirnya. RRI tidak boleh seperti zaman Orba, yang jelas-jelas menjadi corong pemerintah. Isi pemberitaannya hanya yang positif untuk memuji pemerintah.”
Menurut Jamil, Paradigma demikian tentu sudah tidak sesuai dengan era reformasi dimana adanya keterbukaan. Di era ini, media publik seperti RRI, tidak diharamkan menyampaikan pemberitaan yang bernada kritik. “Ini yang harus disadari pengelola RRI, pengambil kebijakan dan pengamat,” jelas bapak dua putra ini.
Itu umum dilakukan media publik di berbagai negara di negara-negara yang demokrasi jauh lebih maju dan lama dari Indonesia seperti BBC di Inggris, VOA di Amerika dan ABC di Australia. “BBC, VOA maupun ABC merupakan lembaga pemberitaan negara. Ketiganya merupakan media publik yang kerap mengeritik pemerintahnya.”
Jadi, lanjut Jamil, janganlah karena RRI memuat banyak memuat PKS dan FPI pada periode tertentu, lantas disimpulkan sudah menjadi corong dua lembaga tersebut. Berpikir seperti ini sangat bias dan menyesatkan.
“Biarkan RRI menjadi media publik yang sesungguhnya dengan tetap taat pada kaidah berita. Hanya dengan begitu RRI dapat menjelma menjadi media yang netral dan independen untuk melayani semua elemen masyarakat Indonesia,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)