Jakarta–: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengkritisi biaya pemilu ya v bakal membengkak seratus triliun rupiah lebih. Jauh lebih besar dibanding pemilu Sebelumnya. Menurutnya, biaya pemilu yang besar belum jaminan mendapatkan figur yang berkualitas.
Hal itu dikatakan Tamsil Linrung dalam dialog Kebangsaan “Katakan Tidak Pada Biaya Pemilu dan Pilkada Mahal” bersama Ahmad Dr.Farhan Hamid, Prof.Dr.Mas Roro Lilik Ekowati, dan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis (23/6) di DPD RI Jakarta.
Menurut Tamsil Linrung, DPD merasakan begitu besarnya biaya penyelengaraan pemilu pada 2024 yang mencapai seratus triliun lebih. ”Kami kok merasa sepertinya demokrasi semakin ke sinii, semakin jauh dari esensi,’katanya.
Karena itu, katanya, untuk apa biaya yang begitu besar, sementara semakin jauh dari esensi. Dulu memang biayanya hanya belasan triliun meskipun dalam faktanya juga meningkat mencapai 20-an, tapi sekarang ini sudah di anggaran kan 110,4 triliun.
”Ini sesuatu terlalu jauh dari yang seharusnya kita bisa lebih hemat dalam pelaksanaannya, tetapi ternyata anggarannya semakin bengkak,’jelasnya..
Sementara disisi lain diragukan bahwa itu akan bisa mewujudkan satu hasil yang maksimal. Karena bagaimana mungkin bisa mneghasilkan yang maksimal sementara sistem yang dipake sekarang itu sudah terlihat jauh dari kemungkinan itu.
Salah satu diantaranya yang sangat penting dilihat ini adalah soal presidential threshold. Jadi seperti kita ketahui bahwa dari 9 partai ini ada 7 partai yang sudah selama ini dikenal sebagai partai yang sangat dekat dengan kelompok, sebutlah istana misalnya.
Dari 9 partai hanya 2 partai yang tidak termasuk di dalamnya, yakni Demokrat dan PKS dan itu paling hanya 18%, berarti dia tidak bisa mengusung satu calon, karena kalau presidential threshold butuh 20% dari kursi atau 25% dari suara sah nasional.
Ini suatu persoalan yang secara transparan bisa melihat bahwa biaya Pemilu yang begitu besar tetapi di sisi lain tidak akan mungkin bisa melahirkan figur yang diharapkan dengan kualitas yang seperti yang diharapkan.
Sedangkan Ahmad Farhan Hamid mengatakan sebagai highligh bangsa yang majemuk seperti Indonesia, sebaiknya itu jabatan presiden cukup dua peeiode saja.
”Cukup dua periode. Kemudian ganti figur lain. Kalau bisa dari partai lain, ”katanya.
Dia memberi contoh di Amerika. Kalau sekarang presidennya dari paetai Demokrat, kalau sudah dua periode, penilu berikutnya presidnenya pasti dari dari partai republik.
”Orang dari partai Demokrat pasti tidak akan memilih figur dari partainya kalau sudah dua periode, ”katanya.
Di negara yang majemuk kalau diurus oleh dari kelompok politik yang sama, itu akan membawa kebencanaan jangka panjang tidak ada koreksi. Jadi itu dengungannya adalah melanjutkan program, itu sangat bahaya.
Jadi Indonesia kira-kira seperti itu, bagaimana mendidik rakyatnya supaya bisa menuju ke sana, karena itu pasti punya persoalan tentang kelompok yang memberi dukungan hampir tidak terbatas, untuk kepentingan-kepentingan di luar kepentingan bangsa tapi kepentigan kelompok, tutur Ahmad Farhan. (ar)