beritalima.com | Majelis Ulama Indonesia (MUI) D.I. Yogyakarta menilai bahwa kerukunan umat harus terus-menerus dijaga. Diibaratkan kecantikan yang tidak hanya sekali dipoles, melainkan harus terus-menerus dijaga agar kecantikan tetap awet. Oleh sebab itu, MUI DIY melalui Komisi Ukhuwah dan Kerukunan, menyelenggarakan seminar dan lokakarya dengan tema “Memayu Hayuning Sasama dalam Menjaga Harmoni Umat Berbasis Masjid”.
“Kita di sini membicarakan tentang kerukunan, memayu hayuning sasama. Hayu itu tidak dilakukan dalam sekali waktu, melainkan dilaksanakan terus-menerus. Hayu itu keadaan yang menyenangkan, penuh bahagia, cantik, dan lain sebagainya. Yang cantik dijaga dengan cara terus-menerus mempercantik. Demikian pula dengan rukun, tidak bisa hanya sekali diusahakan, tetapi harus diupayakan terus-menerus, diawasi, dan dirawat,” kata ketua MUI DIY Prof. Dr. Machasin, M.A. menjelaskan tema seminar pagi itu di Aula Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Provinsi D.I. Yogyakarta pada Sabtu (17/12).
Merespon tema tersebut, selaku pembicara, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyinggung tentang pengelolaan masjid di masyarakat kita. Menurutnya, perlu adanya beberapa evaluasi. Dalam hal ini, Kementerian Agama diminta untuk memberikan edukasi yang cukup.
“Thaharah harus menjadi fokus utama. Kita meminta Kementerian Agama tidak hanya fokus pada arah kiblat, tetapi juga diperhatikan kesucian dan kebersihan masjid. Masih ada masyarakat kita yang semangat membangun masjid, tetapi tidak memperhatikan tentang kesuciannya. Demikian juga masjid-masjid di rest area-rest area tol. Kita membutuhkan perhatian dan pengawasan Kementerian Agama dalam menjamin pelaksanaan ibadah,” kata anggota Komite I DPD RI tersebut.
Evaluasi lainnya, menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut adalah terkait kenyamanan. Gus Hilmy mendorong agar bangunan masjid mempertimbangkan sirkulasi udara sehingga tidak mengandalkan AC. Ia mengusulkan konsep go green, sebagaimana ditunjukkan oleh arsitek masa lalu ketika membuat Masjid Demak atau masjid-masjid Kagungan Dalem Keraton Ngayogyakarta, yang tetap adem meski tanpa AC. Semestinya arsitek modern bisa lebih canggih.
“Selanjutnya adalah kita membutuhkan masjid yang ramah. Ramah untuk anak, perempuan, orang tua, dan juga penyandang disabilitas. Mereka kita hitung sebagai jamaah tetapi kita sering tidak memenuhi hak-hak mereka. Maka perlu dipertimbangkan untuk akses dan fasilitasnya, baik pintu masuk, tempat wudhu, kamar mandi, maupun lainnya,” ujar pria yang juga Ketua Komisi Ukhuwah dan Kerukunan MUI DIY dan anggota MUI Pusat tersebut.
Di sisi lain, kata Gus Hilmy, masjid yang juga merupakan tempat untuk dakwah dan pergerakan umat, semestinya dibuat nyaman dan terbuka untuk semua orang.
“Kalau masjid itu tempat mulia, rumahnya Allah, maka tidak ada yang boleh membuat larangan. Kalau alasannya untuk keamanan atau kebersihan, harus ada pintu masuk agar pelayanan jamaah tetap bisa 24 jam,” kata salah satu pengasuh Pondok Pesantren Krapyak tersebut.
Tak luput dari evaluasi Gus Hilmy terkait pengelolaan masjid adalah tentang pengumpulan dana dari jamaah. Jutaan dana terkumpul, tetapi dalam laporannya, kerap ditemukan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan masjid.
“Dana yang terkumpul itu seharusnya tidak hanya untuk maintenance masjid, penggunaannya juga bisa digunakan untuk membantu jamaah. Di antaranya seperti membantu jamaah yang terkena musibah, pemberian santunan, pemberian beasiswa, dan lain sebagainya,” terang Gus Hilmy.
Pemberian beasiswa, menurut Gus HIlmy, bisa menjadi upaya untuk mengikat anak-anak muda dengan masjid. Mereka akan selalu teringat bahwa masjid di sekitarnya tidak hanya mengajari Qiraah, tetapi juga memberikan pengetahuan yang lebih luas.
Terkait tema harmoni umat, Gus Hilmy menyatakan bahwa menjaga kerukunan umat menjadi perintah yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan diperjelas kembali dalam beberapa hadits.
“Dalam al-Qur’an disebutkan, sesama mukmin adalah saudara. Di dalam hadits, diibaratkan sebagai bangunan yang saling menopang atau sebagai bagian dari anggota tubuh yang saling melengkapi. Dengan demikian, sesama muslim semestinya tidak saling menzalimi, menipu, mengecilkan yang lain, tidak memberikan stigma buruk pada yang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang jauh dari ajaran kita,” kata anggota Komite I DPD RI tersebut.
Gus Hilmy, panggilannya akrabnya, merasa prihatin sebab membicarakan keburukan atau memberikan stigma buruk masih kerap terjadi. Tidak hanya terjadi dalam forum-forum, melainkan juga di media sosial, grup-grup media komunikasi.
Hadir pula dalam kesempatan tersebut sebagai pembicara adalah Raden Riyo Dipo Harjoso mewakili Pengageng Kawedanan Ageng Pengulon Keraton Ngayogyakarta KRT. Joyoningrat dan Kepala Biro Bina Mental Setda DIY Djarot Margiantoro S.T.P., M.Sc. Masing-masing menyampaikan materi tentang Sejarah Peradaban Keraton dan Masjid Kagungan Dalem dalam Menjaga Harmoni Umat; dan Aktualisasi Makna Filosofis Kearifan Lokal Yogyakarta dalam Menjaga Harmoni Umat.
Keduanya menyinggung tentang peran Keraton Ngayogyakarta dan Pemerintah Daerah DIY dalam menjaga kerukunan di Yogyakarta melalui pengelolaan dan pemeliharaan masjid-masjid milik Keraton.