LAMONGAN – Lamonganoise merupakan titik kumpul kepala-kepala batu yang atas nama seni dengan segala kerendahan hati bisa menjadi satu. Teaterawan tak akan sungkan bersua dan menyapa seorang metalhead. Seorang Grunge dengan ramah sekali bisa merangkul musisi yang memegang teguh tradisi.
Juga pelukis, penyair, penari, pelaku film indie, dan beberapa pelaku seni lain bisa berkumpul, berbagi unek-unek, permasalahan kehidupan, serta gagasan tentang kesenian di era informatika dalam balutan festival dengan semangat kolektifan alias iuran.
Dengan semangat gotong-royong seniman independen mengusung asas DIY (Desain It Yourself) berkumpul dan bersenang-senang. Lamonganoise secara tidak langsung mampu melakukan pencarian persamaan dalam segala macam perbedaan.
Mereka berhulubis kuntul baris untuk memberikan sajian kesenian yang indah dan tidak biasa-biasa saja. Parikan Jawa ‘wit gedhang awoh pakel, omong gampang nglakoni angel’ dilabrak dengan laku gotong royong serta memberi bukti bahwa mereka tidak sedang bertongkosong nyaring bunyinya.
Menurut Ismail, kenapa acara ini dinamakan Lamonganoise karena hanya sekedar Iseng, “kelihatannya keren saja karena Lamongan kan berakhiran N jadi seirama saja dengan Noise yang berawal N. hehe. Makna dari Lamonganoise adalah keinginan membuat sesuatu yang “noise” alias berisik lewat karya seni,” ujarnya. Selasa, (02/10).
Acara Lamonganoise yang pertama berhasil terlaksana pada tanggal 16 April 2017. Pada saat itu hanya menampilkan band-band indie pop, rock, hardcore, metal, pembacaan puisi, dan MC dari anak teater. Karena responnya bagus maka pada edisi ke-2 coba ditambah bidang kesenian lain.
Segala yang disebut seni bisa ditampilkan dalam acara ini. Meliputi seni rupa, musik, teater, puisi, tari, dan sebagainya. Seni disuguhkan tidak hanya untuk satu segmen saja, jadi ada 1 panggung pertunjukkan yang dikelilingi oleh beberapa pameran seni rupa.
Hajatan Lamonganoise kini sudah menginjak pada bagian ke-3. Pada edisi kali ini, mengusung tema ‘Nandur Kulinan’. Nandur Kulinan yang berarti menanam kebiasaan memiliki makna bahwa semoga Lamonganoise yang ke-tiga ini bisa konsisten, istiqomah, terus berlanjut dengan konsep yang lebih baik dan tema yang lebih menarik.
Masih sama seperti pada Lamonganoise yang sebelumnya, seni yang ditampilkan adalah seni pertunjukkan, pameran seni rupa, dan screening film. Bedanya pada hajatan kali ini adalah dimunculkannya workshop. Workshop kali ini berupaya memunculkan upaya saling belajar dan berinteraksi dari pemateri dan penonton.
Acara yang memiliki akun instagram @lmgskrg ini digelar selama 2 hari di Sadar Coffe dan berlangsung sangat meriah. Berbicara mengenai sumber dana, acara ini diperoleh secara kolektif, ngamen, dan jualan merchandise.
“Karena awalnya memang ditujukan untuk bersenang-senang, jadi lewat uang kita sendiri-sendirilah kita bikin pagelaran itu. Siapa saja boleh menyumbang untuk acara ini. Tapi kita pantang untuk mengemis!” ujar slametniko.
“Harapan untuk Lamonganoise selanjutnya semoga bisa merespon keadaan Lamongan yang nampak sedang tidak baik-baik saja, lewat seni tentu saja. Karena melalui seni semuanya terasa indah dan menyenangkan. Jika pesan yang kami sampaikan tidak bisa merubah keadaan itu tidak apa-apa,” ucap Niko.
Karena awalnya memang untuk menginisiasi acara seni dengan semangat kolektifan yang belum pernah ada di Lamongan dan bagaimana berjejaring dengan kawan-kawan baru.
“Kami yakin dengan lingkaran kecil yang kelak akan menjadi besar nantinya akan memberi perubahan baru. Kami yang dimaksud disini adalah mereka yang merasa masih muda, menyukai seni, dan tidak diam melihat Lamongan yang tidak sedang baik-baik saja,” pungkasnya.
“Tidak semua dari kami adalah kalangan seniman, tapi kami menyepakati bahwa lewat seni kami hendak mengutarakan sebuah pesan. Sebuah pesan tentang keinginan melihat Lamongan yang berkeadilan, bersih, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, dan baik-baik saja. PANJANG UMUR KEKANCAN KESENIAN!” tegasnya. (arianto)