Jakarta, beritalima.com – Upaya Pemerintah melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait pengamanan industri produk tembakau dan rokok elektronik jangan sampai merugikan masyarakat.
Mengapa? Firman Subagyo, anggota Badan Legislasi DPR RI, menekankan pentingnya kebijakan yang diusulkan tak hanya fokus pada pengurangan konsumsi rokok, tapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap petani tembakau dan industri kecil. “Kami harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan merugikan rakyat kecil dan petani tembakau.”
Adanya RPMK terkait industri tembakau, ditolak pihak industri karena dianggap tidak adil dan berpotensi merugikan. Pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak dalam menyusun kebijakan yang seimbang dan efektif untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Industri tembakau menolak kebijakan ini dengan alasan beragam, termasuk pembatasan zonasi penjualan, iklan luar ruang, dan standar kemasan polos tanpa merek.
Hal ini menjadi bahan diskusi di ruang PPID Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (12/9), digelar oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI.
RPMK memuat ketentuan kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau alternatif. Ini menimbulkan kontroversi karena beberapa pihak khawatir penerapan kebijakan akan menciptakan berbagai permasalahan baru, seperti meningkatnya peredaran dan konsumsi produk ilegal di kalangan masyarakat.
Roy Nicholas Mandey, Ketum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo) menambahkan, kebijakan kemasan polos harus dipertimbangkan dengan hati-hati agar tidak menciptakan kesenjangan pasar yang signifikan. “Kami membutuhkan waktu untuk memahami dampaknya secara menyeluruh sebelum kebijakan ini diterapkan,” sarannya.
Puluhan asosiasi lintas sektor, termasuk Asosiasi Industri Tembakau, menolak kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Mereka mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan dampak masif dari polemik PP No 28 Tahun 2024 yang telah menimbulkan kegaduhan di industri tembakau.
“Kami khawatir bahwa regulasi ini akan menciptakan konflik sosial baru dan merugikan banyak pekerja di industri rokok,” jelas Benny Wahyudi Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Jurnalis: Rendy/Abri