BUDAYA DIGITAL : Memperalat atau Mempertuhankan ?

  • Whatsapp

Pada hari Selasa, 19 Mei tepatnya pukul 13.00-15.00 WIB saya mengikuti diskusi online yang di selenggarakan oleh BPK Gunung Mulia. Topik dalam diskusi online adalah “Budaya spiritualitas ketika dirumah aja”. Adapun peserta diskusi online yang bergabung kurang lebih 32 anggota dan yang menjadi narasumber dalam diskusi ini adalah Ang Wie Hay (Praktisi IT & teknologi dari Singapura).

            Waktu ke waktu teknologi selalu berubah-ubah dan tuntutan jaman selalu berbeda menyesuaikan perubahan yang terjadi. Jadi generasi-generasi dituntut untuk mengikuti perubahan yang terjadi sehingga menjadi kebiasaan dan budaya yang berubah-ubah sesuai tuntutan jaman yang dihadapi saat ini. Ang Wie Hay mengatakan, meskipun jaman boleh berubah-ubah dari jaman batu, jaman api, jaman besi, jaman industry, jaman modern, dan jaman digital saat ini, tapi Tuhan tidak pernah berubah. Dia selalu sama sepanjang jaman dan masa. Sehingga orang yang percaya akan DIA harus hidup di segala jaman, generasi yang berubah, dan budaya yang berbeda pula, tandas Ang Wie Hay.

Budaya digital yang sangat berkembang, mempengaruhi faktor kehidupan kita zaman now. Apakah manusia menciptakan Tuhan digital? Hal ini sangat mungkin terjadi apabila keluarga lambat menyadari dampak digital berlebihan pada kehidupan. Kita sangat mengakui ditengah situasi pandemic covid-19, aktivitas serba digital, rapat online, pesan makan online, ibadah online, sekolah online dll. Memang ketika melakukan teknologi digital dan serba online seluruh aktivitas kita akan semakin ringan dan praktis. Tapi apakah ini menandakan kita bahwa pekerjaan manusia akan lebih santai atau sibuk ? dengan kehadiran digital membantu kita melakukan aktivitas pekerjaan manusia, sadar tidak sadar manusia akan semakin sibuk. Penggunaan handphone media sosial whatsapp, google, youtube akan mendorong kita bekerja 24 jam nonstop online. Secara tindakan untuk bergerak memang kita berkurang, akan tetapi mata dan otak kita dituntut untuk tetap bekerja, yang akhirnya menyebabkan kurangnya interaksi pada kehidupan keluarga dan orang-orang yang dikasihi sekitarnya. Kejadian ini akan mengingatkan realita yang terjadi pada kehidupan kita, seperti anak-anak bermain game online yang tidak ada batasnya dan menyebabkan aktivitas serta kegiatan lainnya menjadi korban yang berdampak pada penggunaan waktu yang tidak efektif dan mentuhankan teknologi digital yang menjadi keutamaan dalam hidupnya.

BUDAYA DIGITAL : Memperalat atau Mempertuhankan ?

Cara berpikir teknologi, berarti cara berpikir memperalat. Bagaimana manusia dapat menciptakan alat dari teknologi untuk membantu serta mempermudah kinerja-kinerja manusia. Kita bisa melihat beberapa contoh dari negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura. Negara Jepang sudah sangat mendukung untuk menciptakan teknologi seperti robot, dan alat-alat otomotif serba teknologi lainnya yang diproduksi. Singapura seluruh sarana prasarana sudah dilengkapi dan menggunakan teknologi canggih dalam mempermudah dan menjawab aktivitas masyarakat mereka, tandas Ang Wie Hay. Akan tetapi seperti Jepang dengan memiliki kemajuan dan kesuksesan pada masyarakat, tidak menjamin kebahagiaan hidup mereka. Menurut Ang Wie Hay berdasarkan salah satu jurnal yang pernah di baca menyatakan orang yang beragama, hanya 0,8% ini menandakan sangat sedikit dan hampir tidak ada yang beragama dari sekian banyak masyarakat mereka di negara Jepang. Sehingga tingkat bunuh diri tinggi. Menurut Ang Wie Hay, padahal mereka secara duniawi, kesuksesan mereka sudah sangat sukses dengan memiliki serta menghasilkan uang dan mendapatkan pekerjaan. Yang perlu diketahui bahwa negara Jepang tidak memiliki sumber daya alam yang menjadi pengelolaan utama untuk pendapatan negara, akan tetapi yang membuat menjadi negara maju adalah karakter dan budaya mereka yaitu kedisplinan, kerja, keras, dan tanggung jawab. Begitupun dengan negara tetangga kita Singapura, memiliki kedisiplinan, menjaga kebersihan, dan taat pada pemerintah.

GLOBAL DISRUPTION : Digital Disruption VS Corona Disruption

Kehadiran teknologi revolusi industri 4.0 sudah berkembang keseluruh dunia dan menerapkannya. Adapun yang dialami oleh negara-negara maju, menciptakan dan sebagai inisiator atas perkembangan industri teknologi yang diciptakan oleh negara maju. Hal ini akan menjadi permasalahan serius bagi negara berkembang dan bahkan negara tertinggal lainnya. Faktor yang mempengaruhi lambatnya menyesuaikan dan menerapkan kemajuan teknologi di daerah berkembang dan tertinggal adalah kurang pemahaman serta penguasaan akan teknologi pada sumber daya manusia, dan sarana fasilitas yang kurang mendukung dengan keterbatasan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa suatu negara belum siap secara serius menghadapi perkembangan serta kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Di tengah kondisi pandemi covid-19 yang memberikan dampak hampir ke seluruh negara, secara khususnya di Indonesia yang mengalami krisis. Mendorong daerah-daerah tertinggal untuk dipaksa menyesuaikan keadaan yang terjadi. Tidak bisa dipungkiri, seluruh elemen masyarakat harus beraktivitas melaksanakan kinerja dengan mengoptimalkan teknologi digital.

#DIRUMAHAJA

Ditengah pandemi covid-19 yang dialami seluruh manusia dianjurkan untuk stay at home. Rumah menjadi pusat pembinaan karakter dan menciptakan budaya yang baik bagi seluruh anggota keluarga. Dimana terdapat bapak sebagai kepala rumah tangga sebagai penentuan dalam pembinaan anggota keluarga untuk masa depan dan bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Rumah adalah sekolah pertama anak dan orang tua sebagai guru sejati seumur hidup bagi anak. Sehingga keluarga merupakan organisasi terkecil yang berperanan besar dan tempat utama pembinaan anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga harus menciptakan rumah yang kokoh dengan dasar budaya hadir, budaya sehat, budaya kondusif, budaya mendengar & melakukan, budaya hati yang gembira, serta kedisiplinan dan keteladanan, sehingga keluarga melakukan berulang-ulang yang akan menjadi kebiasaan sampai ke anak dan cucu. Suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh keluarga, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Contoh budaya Jepang, budaya bersih, budaya antri, dan budaya terima kasih sebelum makan, tandas Ang Wie Hay.

KELUARGA : SUKSES dan BAHAGIA

Sukses adalah ….?

Bahagia adalah…?

Sukses mendahului Bahagia…?

Bahagia mendahului Sukses…..?

Kata-kata atau kalimat ini sering dipertanyakan atau bingung oleh manusia! Kesuksesan yang di maksudkan oleh banyak orang melihat dari kemapanan dalam hidup, ketika mendapatkan pekerjaan dan uang yang membuat mereka menjadi kaya akan harta. Tapi apakah itu substansi dari kesuksesan yang dimaksud, ketika mendapatkan pekerjaan dan uang? Kalau ya, mengapa orang sukses tidak menjadi kebahagiaan?

Mengutip Albert Schweitzer “Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful”.

Demikian hal ini, akan membuka cakrawala berpikir kita bahwa awal dari segalanya adalah bagaimana kita mampu menciptakan kebahagiaan dasar dari segala kesuksesan. Bahwa Bahagia dari tindakan, pikiran, dan suasana hati yang mampu memancarkan sukacita dan kegembiraan bagi anggota keluarga dan orang sekitar kita. Ketika manusia mampu mengelola hati dengan menciptakan kebahagiaan, maka kesuksesan akan mengikuti dan menyesuaikan keadaannya. Kesuksesan manusia tanpa kebahagiaan maka akan menciptakan frustasi seperti yang terjadi di Jepang tingkat bunuh diri tinggi, dan broken home (masalah keluarga)

Budaya Lockdown, jika dunia digital membuat kita super sibuk, maka corona mengajar kita untuk lockdown.

(Grandy Umbu Endalu Radandima, Universitas Kristen Satya Wacana)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait