Bukan Sosialisasi UU Ciptaker, Jamiluddin Ritonga: Pemerintah Harus Banyak Dialog

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com- -Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih yakin, penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) disebabkan misinformation. Karena itu, pemerintah merasa perlu memperbanyak sosialisasi terkait dengan UU yang banyak mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat tersebut.

Hal tersebut, kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Rabu (29/10) mengatakan, apa yang dilakukan Pemerintah itu tentu layak untuk diperdebatkan.

Soalnya, kata laki-laki yang akrab disapa Jamil tersebut, karena berbagai elemen masyarakat menolak UU Ciptaker bukan semata-mata disebabkan misinformation. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, mahasiswa, buruh dan kelompok lain menolak karena terkait pada substansi UU tersebut.

Kalau persoalannya pada substansi UU Ciptaker, lanjut Jamil, tentu tidak relevan bila Pemerintahan Jokowi memperbanyak sosialisasi karena pendekatan ini bersifat searah dan tidak setara di mana pihak pemberi sosialisasi (Pemerintah-red) diasumsikan lebih tahu dan paham tentang UU Ciptaker daripada elemen masyarakat yang menolak UU tersebut.

Jadi, lanjut Jamil, sosialisasi lebih cocok bila ada pihak yang lebih tahu dan di pihak lain ada yang kurang atau belum tahu. Bisa juga karena ada yang lebih tahu, sementara ada pihak yang belum cukup informasi.

Dalam kondisi demikian, sosialisasi UU Ciptaker dalam ketidaksetaraan dan satu arah kiranya masih dapat diterima akal sehat. Pihak yang tidak tahu akan lebih banyak mendengarkan celoteh dari pihak yang lebih tahu.

Pihak yang tidak tahu atau kurang informasi juga lumrah bila lebih banyak bertanya dalam sosialiaasi. Sementara pihak pemberi sosialisasi dengan sendirinya akan lebih banyak menjawab pertanyaan peserta sosialiasi.

Hanya saja, penolakan terhadap UU Ciptaker lebih disebabkan kepada subtansi isinya yang dinilai banyak merigikan elemen yang melakukan penolakan. Karena itu, posisi penolak UU tersebut dan Pemerintah setara. Kedua belah pihak sama-sama tahu dan paham substansi UU Ciptaker. Namun mereka berbeda dalam melihat konsekuensi bila UU tersebut dilaksanakan.

Contohnya, pihak Pemerintahan Jokowi sangat yakin UU Ciptaker bakal dapat menarik investor sebanyak-banyaknya sehingga dapat mengatasi pengangguran. Pihak penolak melihat UU Ciptaker hanya menguntungkan investor, tapi tidak berpihak pada pekerja. Bahkan UU Ciptaker dinilai berpeluang merusak lingkungan.

Dalam kondisi seperti itu, tentu sosialisasi sangat tidak pas digunakan. Pihak-pihak yang merasa setara tentu tidak akan sudi dicekoki informasi tentang UU Ciptaker agar memahami alur pikir si pemberi sosialisasi.

Mereka juga dengan sendirinya akan menolak komunikasi satu arah. Apalagi komunikasi satu arah itu diembel-embeli dengan stigma negatif terhadap pihak penolak UU Ciptaker.

Untuk mengatasi perbedaan tersebut, jelas penulis buku Perang Bush Memburu Osama ini, komunikasi dua rah yang dialogis dinilai paling pas. Melalui dialog prinsif kesetaraan dapat dipenuhi, sehingga memberi ruang untuk masing-masing pihak menyamakan persepsi dari setiap perbedaan diantara mereka.

Melalui prinsif kesetaraan tersebut pula, pihak Pemerintah serta penolak UU Ciptaker dapat saling berbagi informasi untuk mencari kesepakatan. Tentu saling berbagi informasi dalam situasi nyaman dan aman, tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Kalau prinsif tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka gelombang demonstrasi menolak UU Ciptaker dapat diminimalkan. Pihak penolak UU akan merasa dimanusiakan dengan diberi ruang untuk berdialog dalam kesetaraan.

“Tentu dialog itu akan produktif bila masing-masing pihak mau memberi dan menerima dengan pikiran jernih. Hanya dengn begitu, peluang titik temu dapat diperoleh bagi pihak-pihak yang setara.

Masalahnya, apakah pihak pemerintah mau duduk bersama dalam kesetaraan dengan pihak penolak UU Ciptaker, khususnya dengan mahasiswa dan buruh? Jawabnya, hanya Pemerintah yang tahu,” demikian Muhammad .Jamiluddin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait