Citizen Reporter
Nur Hikmah
Mahasiswa Komunikasi UMI Makassar
Melaporkan dari Makassar
Dibawah sinar temaran lampu jalan. Malam itu, Raihan (10) panggilan sehari-hari Bukku kembali hadir menggelar jualannya, buah lontar yang dia bawa langsung dari kampungya dari Jeneponto.
Sosok murid SD ini, dari tatapan dan sorot matanya, kelihatan dia lelah, tetapi semangat juang agar jualannya cepat laku terlihat dari sapaan setiap kali ada pembeli yang singgah.
Jualannya berupa buah lontar itu, dihampar di atas aspal jalan hanya beralasakan kertas koran dan Bukku bersila di pinggir aspal menunggu pembeli yang datang.
‘’Dek berapa harga buah tala mu ini satu bungkus, dengan raut wajah yang memelas agar jualannya dibeli dia menjawab, Rp 5000 kak ‘’. Ketika disodorkan uang Rp. 10. 000, kembali dia katakan, kak saya tidak punya uang kecil, pembeli itu kemudian katakan sekalian saya beli dua bungkus dek’’
Transaksi dan suasana itu tersaji, Kamis malam (11/5/2017) di jalur jalan persis di depan Kantor PLTU Panaikang Makassar. Bukku sudah mulai menggelar jualan saat senja jelang malam, setelah dia melewati perjalanan jauh dari desanya di Jeneponto sekitar 80 km dari Makassar.
Setiap hari anak ini sepulang dari sekolah berangkat dari Jeneponto menuju Makassar pukul 13.00 WITA setelah makan siang. Dia tiba di lokasi tempat jualan di Makassar pukul 17.00 WITA dan ongkos transpor yang dia gunakan sebanyak dua puluh ribu sekali jalan.
Seusia anak ini di kampungnya, melewati hari-hari panjang dengan permainan masa kecil. Tetapi tuntutan ekonomi keluarga menjadikan Bukku terpaksa melepaskan kenangan kelak masa-masa indah di masa kecil, dengan bolak balik Jeneponto ke Makassar berjualan buah lontar.
Suka duka melakoni penjual buah lontar di usia anak-anak cukup banyak dialami termasuk yang paling sulit dilupakan ketika datang serombongan anak-anak punk, lantas merampas semua hasil penjualan buahnya itu.
Selain itu katanya kadang juga ada pembeli yang iba dan terharu dengan membeli harga buah tala melebihi harga yang sebenarnya. Buah yang dijual dibungkus pakai kantong kresek didalamnya ada tiga biji dijual dengan harga Rp. 5000.
Setiap kali membawa jualan sebanyak 40 kantongan, kadang semua habis tetapi kadang juga ada tersisa kalau cuaca kurang bagus seperti hujan.
Pilihan jadi penjual buah lontar di usai anak-anak, karena bapaknya Dg Rapi meninggal dunia meninggal dunia setahun yang lalu. Ibunya Dg Nabo hanya ibu rumah tangga dan kadang jadi pembantu rumah tangga.
Setelah bapaknya sudah tidak ada lagi, dia menjadi tulang punggung keluarga membantu ekonomi keluarga untuk ibu dan saudaranya Reni berusia 13 tahun. Pendapatan dari jualan buah lontar itu diserahkan kepada ibunya setelah tiba di rumahnya menjelang dini hari sekitar jam 13.00 WITA.
Pagi-pagi sekitar jam 07.00 WITA kembali menjalani rutinitas masuk belajar di sekolah. Ketika ditanya cita-citanya, dia ingin sekali masuk jadi polisi. Sosok polisi yang gagah dan berani yang setiap saat diperhatikan di sekitar lingkunganya, menjadikan dirinya berhasrat juga akan menjadi seorang polisi. ***