*) Benarkah OSO Dukung Nono, Hingga Permalukan Ratu Hemas?
SAAT semua pihak di republik ini tengah bersiap menyambut pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo dengan penuh antusias, ada peristiwa lain yang memalukan terkait hal itu. Apa itu? Pencabutan secara sepihak oleh Sekretaris Jenderal DPD-RI atas undangan yang sebelumnya telah dikirimkan kepada Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Publik pun terhenyak. Apalagi surat pencabutan itu beredar di media sosial dan nyaris menjadi konsumsi publik luas. Dalam surat pencabutan itu, Sekjend DPD-RI, Reydonnyzar Moenek, atas nama pimpinan DPD-RI, menyatakan bahwa Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwana X itu sudah bukan anggota DPD-RI. Sehingga tidak layak mengikuti dan mendengarkan pidato Kenegaraan Presiden Indonesia di Gedung Parlemen.
Padahal, kenyataannya, secara cetho welo-welo, Ratu Hemas masih merupakan anggota DPD, mengingat belum ada keputusan presiden yang menetapkan pemberhentian beliau. Namun, di dalam surat pencabutan undangan itu, ditulis bahwa Ratu Hemas telah diberhentikan sebagai anggota DPD-RI oleh Badan Kehormatan DPD-RI sejak 22 Maret 2019.
Apa yang menimpa Ratu Hemas adalah tragika yang tak hanya mempermalukan beliau sebagai perwakilan sah rakyat dan melecehkan martabat warga Yogyakarta. Tetapi juga melecehkan etika berpolitik di negeri yang seharusnya menjunjung tinggi perilaku beradab. Tindakan di luar kewajaran dari Sekjen DPD terhadap Ratu Hemas juga menunjukkan betapa lembaga para senator yang terhormat itu tidak dikelola secara profesional dari sisi administrasi pemerintahan.
Banyak yang menyebut, tragika yang menimpa Ratu Hemas terjadi karena sikap otoriter sebagian pihak di DPD yang tak bisa menerima pandangan politik Ratu Hemas. Seperti kita ketahui bersama, para pimpinan DPD sempat terbelah setelah “perebutan” kepemimpinan DPD oleh Oesman Sapta Odang (OSO) pada 2017 lalu.
Sejak saat itu, dinamika politik antara Ratu Hemas dan OSO meruncing. OSO memenangkan perebutan kekuasaan DPD dengan disokong Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai wakil ketua.
Sayangnya, dinamika yang mestinya dibingkai dalam konteks demokrasi beralih rupa menjadi pertunjukan kesewenang-wenangan oleh kubu OSO. Ratu Hemas dikuyo-kuyo, dari diberhentikan dari DPD-RI melalui tangan BK DPD-RI dengan alasan yang sangat bisa diperdebatkan. Puncaknya, dipermalukan harga dirinya dengan pencabutan undangan menghadiri pidato kenegaraan Presiden Jokowi.
Tragika Ratu Hemas yang dialami jelang pidato kenegaraan Presiden Jokowi juga telah mendapat reaksi keras dari kelompok masyarakat sipil. Sejumlah aktivis perempuan dari Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Maju Perempuan Indonesia, pegiat demokrasi dan keterwakilan perempuan solidaritas serta dukunhan kepada Ratu Hemas untuk terus konsisten menyuarakan aspirasi rakyat dalam kapasitasnya sebagai Anggota DPD RI mewakili Provinsi DIY.
“Kami meminta semua pihak menghargai hak konstitusional GKR Hemas sebagai Anggota DPD RI yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Mengecam keras tindakan Sekjen DPD dan Sekjen MPR RI yang mengeluarkan surat pencabutan undangan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, khususnya berkaitan dengan asas kepastian hukum, ketldakberpihakan, kecermatan, dan pelayanan yang baik,” demikian sebagian bunyi pernyataan para kelompok aktivis.
Yang menggembirakan dari dinamika di DPD ini adalah kita disuguhkan pada keteguhan hati Ratu Hemas, permaisuri yang benar-benar menjaga kehormatan dan cara politik beradab Raja Jawa.
Sejak awal, secara terbuka, Ratu Hemas menyatakan dia ditawari “barter jabatan” oleh kubu OSO dalam rangka perebutan kekuasaan di DPD. Namun, Ratu Hemas bergeming. Baginya, politik bukan soal jabatan, tapi keteguhan memang prinsip.
Ratu Hemas, satu dari sedikit tokoh politik perempuan di negeri ini, juga lantang mengkritisi OSO. Menurut Ratu Hemas, berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi, MA tidak pernah menyatakan benar dan sah pengambilalihan tersebut. Hemas menegaskan dirinya tak sepakat dengan cara OSO yang dianggap menabrak hukum.
“Tidak boleh ada warga yang kebal hukum apalagi berada di atas hukum. Kalau saya menutup mata akan hal ini, terus buat apa saya jadi anggota DPD RI. Saya menolak kompromi politik di atas DPD,” kata Ratu Hemas seperti dikutip portal CNNIndonesia.
Ratu Hemas mengajarkan kepada kita semua tentang arti keteguhan prinsip. Juga memberi inspirasi tentang pentingnya prinsip welas asih yang memandang lawan politik sebagai pihak yang tak perlu dipukul, melainkan diajak berdialog secara sehat tanpa sikap otoriter.
Di pihak lain, kubu penguasa DPD saat ini menampilkan paras kepemimpinan yang sewenang-wenang. Yang menjauh dari adab politik publik. Kita semua, rakyat Indonesia, tentu tak ingin gaya yang sewenang-wenang itu berlanjut di kepemimpinan DPD periode 2019-2024.
Apalagi sudah santer terdengar di Senayan, pimpinan saat ini di bawah kendali OSO, terkesan ‘memaksakan’ agar Nono Sampono menjadi suksesor OSO untuk Ketua DPD-RI periode 2019-2024. Sejumlah senator incumbent dan terpilih mengaku digerilya secara aktif agar memuluskan langkah Nono Sampono yang telah dipaket dengan sejumlah nama, di antaranya senator Mahyudin. (rachmania/red)