JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Undang-Undang ( RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang lagi dibahas antara DPR RI, DPD RI serta Pemerintah secara tidak sadar sedang menciptakan kewenangan super sentralistik.
“Jelas, kalau semua dipusatkan akankah mampu karena sekarang saja rentang kendali pengawasan belumlah berjalan maksimal,” ungkap Wakil Ketua Komite II DPD RI, Bustami Zainudin dalam rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Juanda dan Kepala Bidang pada Badan Penanggulangan Bencana Dawrah (Kabid BPBD) Provinsi Sumatera Barat, Rumainur.
RDP yang digelar di Ruang Rapat Majapahit Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/7) tersebut membahas RUU tentang Cipta Kerja khususnya bidang Perdagangan dan industri. “Kalau semua dipusatkan akankah mampu, karena sekarang saja rentang kendali pengawasan kita belum berjalan dengan maksimal,” jelas Bustami.
Pada acara yang sama, Anggota DPD RI Dapil Provinsi Yogyakarta, M Afnan Hadikusumo mempertanyakan faktor utama kelemahan dari produk hukum yang ada, sehingga perlu untuk dilakukan pengaturan lintas sektor dan mencabut atau membatalkan ketentuan yang bertentangan, yakni melalui konsep Omnibus Law.
“Sebenarnya yang salah itu undang-undangnya atau aparaturnya sehingga perlu diatur payung hukum baru bagi beberapa produk hukum. Rentang kendalinya yang sangat panjang, sehingga menjadikan perizinan semakin sulit,” ujar Afnan.
Guru Besar IPDN menyampaikan beberapa catatan kritisnya terkait RUU Cipta Kerja di antaranya mengenai wewenang pemerintah daerah yang banyak dipangkas dan dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Menurut dia, perlu dilakukan kajian mendalam dan proporsional, karena kewenangan sentralistik dinilai tidak linier dengan visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin membangun daerah.
“Izin usaha ditarik menjadi sentralistik, ini harus dikaji, perlu argumentasi, apakah dibawa menjadi kewenangan pusat atau daerah. Kalaupun daerah selama ini terkesan berbelit-belit dalam memberikan perizinan. Yang perlu diperkuat adalah kontrol dari pusat. Bagaimana daerah akan berkembang jika semua ditarik ke pusat,” ujar Juanda.
Pakar Hukum Tata Negara ini melihat pentingnya peranan DPD RI dalam pembahasan setiap produk hukum sehingga pasal-pasal yang terdapat di dalamnya tidak mereduksi kewenangan daerah. Dimana ada kewenangan DPD RI dalam pembahasan RUU antara lain yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah.
“Saya belum melihat ada hubungan yang clear dan tegas antara DPD RI dengan daerah. Padahal daerah membutuhkan DPD RI dan DPD RI merupakan representasi dari orang-orang daerah. Perubahan produk hukum yang berkaitan dengan kemajuan daerah harus diperjuangkan DPD RI, bagaimana supaya tidak mereduksi kewenangan daerah,” tambah dia.
Sedangkan Rumainur menjelaskan, fakta yang terjadi dalam kaitan dengan regulasi di Indonesia adalah banyaknya aturan yang tumpang tindih antara pusat dan daerah sehingga perlu segera diselesaikan. Salah satunya adalah UU No: 7/2014 tentang Perdagangan. Yang perlu dilakukan harmonisasi dengan UU No: 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Konsep penyusunan norma RUU Cipta Kerja seharusnya bertujuan melakukan sinkronisasi. Namun, sistem pemusatan kekuasaan berpotensi memperlambat perizinan,” kata dia.
Rumainur menilai, seharusnya Pemerintah Pusat bertugas sebagai supervisi. Daerah akan sulit berkembang karena tidak menjalankan UU yang ada karena telah dikembalikan ke pusat. (akhir)