SURABAYA, beritalima.com|
Akhir-akhir ini, masyarakat ramai memperbincangkan tentang stockholm syndrome. Hal itu dikarenakan pencabutan laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh satu satu tokoh publik di Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Tri Kurniati Ambarini MPsi Psikolog yang biasa dipanggil Rini menjelaskan seputar stockholm syndrome.
Apa Itu Stockholm Syndrome ?
Rini menyebut bahwa stockholm syndrome adalah respon psikologis yang terkait dengan situasi penahanan atau pelecehan. Respon itu merupakan bagian dari mekanisme koping ketika orang mengalami trauma seperti ancaman terhadap kesejahteraan fisik atau psikologis agar tetap bisa bertahan dalam situasi tersebut.
“Orang dengan stockholm syndrome ini mengembangkan hubungan positif dengan pelaku,” terang Rini.
Hubungan positif inilah yang membuat korban merasa beruntung ketika pelaku tidak melakukan kekerasan padanya dan tidak menyakiti dirinya secara fisik. Sehingga hal inilah yang memunculkan stockholm syndrome yaitu upaya untuk keluar dari situasi berbahaya dengan cara melakukan kerja sama dengan pelaku.
Rini juga menjelaskan bahwa stockholm syndrome sendiri sebenarnya belum diakui sebagai gangguan mental karena belum tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (SDM-5).
“Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Karan dan Hansel pada 2018 menyatakan bahwa sindrom ini juga dapat dialami oleh orang-orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ataupun korban perdagangan manusia,” jelasnya.
Gejala Stockholm Syndrome
Gejala utama dari stockholm syndrome yang disebutkan Rini yaitu korban merasakan kebaikan atau kasih sayang dari pelakunya. Selain itu, korban juga mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku. Korban juga setuju dengan cara pandang dan ideologi yang dimiliki pelaku.
“Korban juga merasa kasihan terhadap pelaku sehingga menolak untuk meninggalkan pelaku bahkan ketika diberi kesempatan untuk melarikan diri. Korban juga cenderung memiliki persepsi negatif terhadap aparat penegak hukum, keluarga, teman, dan siapa pun yang memungkinkan membantu mereka melarikan diri,” jelas Rini.
Selanjutnya, Rini juga menjelaskan bahwa korban dengan stockholm syndrome cenderung menolak menuntut pelaku dan setelah dibebaskan mereka akan terus memiliki perasaan positif terhadap pelaku. Terakhir, korban dengan stockholm syndrome dimungkinkan juga mengalami flashback, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Diagnosis Stockholm Syndrome
Rini memaparkan bahwa kepentingan dilakukan diagnosis stockholm syndrome diutamakan jika ada potensi berbahaya bagi orang yang diduga mengalaminya. Hal ini dikarenakan sindrom ini mungkin terkait dengan gangguan lain yang lebih parah. Sehingga penting untuk dilakukan diagnosis khusus oleh ahli baik psikolog maupun psikiater.
Pencegahan Stockholm Syndrome
Menurut Rini, stockholm syndrome dapat dicegah dengan sesi konseling bersama psikolog ataupun psikiater. Selain itu, dukungan dari lingkungan sekitar maupun dukungan dari lembaga sosial dan pemerintah juga dibutuhkan.
“Korban kekerasan lebih sering tidak mampu keluar sendiri dari situasi tersebut jika tidak ada bantuan dari orang lain,” tutupnya.(yul)