Cak Nun Yang Sedang “Kesambet” Fir’aun

  • Whatsapp

Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Alumni IAIN Sunan Kalijaga dan Santri PP Wahid Hasyim Yogyakarta)

Sebagian isu ‘penting’ nitizen terkini ialah seputar pernyataan ‘Mbah Nun’ terhadap presiden Joko Widodo. Potongan video salah satu ceramahnya di suatu tempat dianggap sangat kontroversial. Dalam video itu sang budayawan kondang itu menyebut Jokowi sebagai Firaun, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Haman dan Anthony Salim sebagai Qarun. Pernyataannya yang sangat tendensius itu dapat diklasifikasikan sebagai pernyataan ‘level tinggi’ karena yang menjadi objek gunjingan, salah satunya, adalah orang nomor satu di negeri ini. Pada zaman orde baru dulu, pembuat pernyataan demikian, tanpa harus menunggu laporan masyarakat, secepat kilat sudah diciduk oleh ‘petugas khusus’ untuk diamankan. Pada hari berikutnya dia akan mengalami hari-hari panjang ‘dengan aman’ dalam sel militer dan menghadapi interogasi khusus dengan berbagai ‘bunga-bunganya’.

Yang lebih berbahaya ialah ketika dalam pernyataan itu jelas-jelas bernuansa rasis. Saat negara kini sedang berjuang dengan jargon pluralisme, pernyataan itu seolah sebagai kutu kayu yang membuat pilar-pilar rumah yang berdiri kokoh menjadi kropos. Di tengah bangsa besar dengan multi kultur, ras, dan agama, pernyataan apa pun yang berbau rasis tentu sangat membahayakan dan oleh karenanya harus dihindari oleh siapa pun. Sebuah laman menulis, bahwa konon pendukung Jokowi juga pernah menyebut Anis Baswedan sebagai Fir’aun. Terlepas benar atau tidaknya, ucapan itu tetap harus dibedakan dengan kasus ucapan Budayawan yang juga dikenal sebagai “Kiai Mbeling” ini. Pertama, Anis bukan seorang presiden tetapi Jokowi saat ini sedang menjadi ‘simbol’ negara. Kedua, yang menyebut Anis Fir’aun hanyalah rakyat biasa. Sedangkan kali ini ucapan itu keluar dari seorang tokoh yang menjadi selebritisnya budayawan. Bobot ucapannya tentu juga akan ‘bernilai’ lebih dibandingkan ucapan masyarakat biasa.

Semula saya memang tidak tertarik untuk “nimbrung” ikut-ikutan bekomentar. Apalagi, di samping saya bukan termasuk basis politik pendukung Joko Widodo, yang lebih penting, secara langsung juga bukan ranah profesi saya. Pasti sudah ada para ‘petugas lapor’ yang secara khusus mengadukannya kepada pihak berwajib. Petugas khusus dimaksud ialah para pendukung fanatik mantan wali kota kurus dari Solo ini. Tetapi para pendukung tersebut tentu akan berfikir ulang untuk mengambil tindakan ketika Mas Gibran, sang “putra soleh” presiden sendiri telah memaafkan dan tidak melapor-laporkan pemimpin Kiai Kanjeng ini. Tetapi sikap Mas Gibran tentu membuat saya trenyuh dan justru membuat saya bersemangat untuk memberikan komentar pernyataan tidak cerdas Cak Nun yang, kata seorang penulis tertentu, para jama’ahnya sudah ada yang ‘menuhankannya’. Alasan lain mengapa saya harus ‘berpartisipasi’ untuk urun rembuk, agar dapat ikut menjadi saksi sejarah peristiwa penting dan pada saat itu diketahui di mana saya berdiri.

Fir’aun yang dalam bahasa Inggris disebut “Pharaoh” sebenarnya hanyalah sebuah gelar umum yang sekarang digunakan untuk menyebut raja-raja Mesir kuno dinasti pertama, yaitu l.k 3150 SM-30 M, saat terjadi aneksasi terhadap Mesir oleh Kekaisaran Romawi. Kata Fir’aun atau Pharaoh tidak pernah menjadi gelar formal raja-raja Mesir pada masanya. Penggunaannya populer setelah disebut dalam Al Kitab (Ibrani) dan Al Qqur’an secara khusus menyebut Fir’aun. Rentang waktu usia kerajaan yang panjang, tentu pernah ada lebih dari satu Fir’aun. Yang mana Fir’aun yang disebut Al Qur’an atau Fir’aun yang disebut Cak Nun itu, bukan dalam kapasitas saya untuk memastikannya. Biarlah ahli sejarah dan para arkeolog menelitinya.

Akan tetapi, yang pasti orang Islam memang hanya mengenal satu Fir’aun (termasuk Haman dan Qarun) yaitu yang diantagoniskan dengan Musa, salah satu dari rasul Allah yang dalam Al Qur’an sangat melegenda. Ketika nama Fir’aun disebut, asosiasi umat pasti tertuju kepada sosok seorang raja bengis nan jahat yang menjadi musuh terdepan dakwah Nabi Musa as. Kejahatan Fir’aun disebut Al Qur’an memang luar biasa, seperti melakukan pembunuhan dan penyiksaan yang kesemuanya dilakukan di luar batas kemanusiaan. Dalam bahasa sekarang tidak hanya melakukan kriminalisasi tetapi secara langsung dapat ‘mencomot’ siapa pun yang tidak sehalauan dengannya untuk dihabisi. Para muballig bisanya bisa sangat dramatis sekaligus horor ketika menceritakan kejahatan Fir’aun. Akan tetapi, di antara semua kejahatan Firaun yang ada, sebagaimana di tulis Al Qur’an, dia merupakan satu-satunya manusia di muka bumi yang dengan lantang mendeklarasikan diri sebagai Tuhan (ana rabbukumul a’la). Kejahatan demikian tentu melebihi pezina, kaum jahiliyah, bahkan binatang sekali pun. Sebab, pezina yang tobat dengan sungguh Allah pasti mengampuninya. Kaum Jahiliyah pada akhirnya banyak menjadi ahli surga karena telah beriman dan dengan setia mengawal dakwah Nabi SAW. Konon, seekor anjing pun konon ada yang bisa masuk surga. Berbeda dengan Fir’aun. Mungkin karena itulah Fir’aun menjadi satu-satunya manusia yang taubatnya diabadikan dalam Al Quran tidak diterima. Dengan kata lain, Firuan memang boleh disebut sebagai simbol manusia sekaligus penguasa jahat di muka bumi, sehingga perlu dijadikan ‘gunjingan’ di banyak halaman dalam Al Qur’an.

Secara lebih dramatis, Cak Nun pasti tahu stigmatiasi Fir’aun tersebut. Ketika itu, orang dilabeli Firuan berarti disamakan dengan orang yang paling jahat di muka bumi. Presiden Jokowi, dari pergaulannya dengan banyak Kiai pasti juga tahu siapa Fir’aun. Tetapi syukurlah beliau sebagai kepala negara dengan sejumlah tugas besarnya, merasa tidak perlu maladeni orang yang konon merasa “sedang kesambet” itu. Yang demikian tentu semakin membuat banyak orang kagum kepada mantan pengusaha mebel itu. Dari sisi agama, gunjingan Cak Nun, tentu dapat mengurangi dosa beliau. Sebaliknya ucapan yang bernuansa kedengkian itu, kalau tidak segera di sadari tentu akan menggerogoti ‘amal soleh’ Cak Nun sendiri. Sebagai seorang “sufi” Cak Nun pasti tahu hadits rasulullah SAW, bahwa hasud (dengki) itu bisa menyantap kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar”. Banyaknya, pemuja Cak Nun yang kini ‘murtad’ dari lingkaran cara berfikir Cak Nun jangan-jangan menjadi salah satu buktinya. Mereka diam-diam hengkang, akibat ucapan-ucapan Cak Nun yang sering keluar dari habitatnya dan cenderung bernuansa politis nan penuh kedengkian itu serta ada gejala partisan.

Selama ini memang banyak orang memberikan komentar tentang 3 sosok manusia asal Jombang, yaitu Cak Nur (Nurcholis Madjid), Gus Dur ( K.H. Abdurrahman Wahid) dan Cak Nun (Muhammad Ainun Najib). Yang pertama, terkenal karena keintektualannya dengan sejumlah gagasan segar ilmiahnya, yang kedua, karena pemikiran futuristiknya dan yang ketiga karena kebudayawannya. Akan tetapi, hampir semua orang sepakat bahwa ketiga orang ini hadir sebagai sosok yang sangat “nyleneh” dengan dunianya masing-masing. Tetapi yang dua orang kini telah wafat dan telah ‘khusnul khatimah’ berkat kenyelenehannya. Sebagai sesama manusia, kita tetap patut mendoakan agar suami Novia Kolopaking–yang dulu pernah dekat dengan penyanyi Neno Warisman– ini, bisa khusnul khatimah pula menutup karir kebudayawanannya. Jika ucapannya yang “salah” disebabkan karena dia merasa kesambet—dan dengan cara menyebalkan pula sudah minta maaf–maka agar tidak kesambet ulang, jangan hanya tinggal di tengah hutan belantara nan “wingit” (sepi). Hutan belantara itu ialah para pembenci pemerintah yang selalu apriori di tengah hiruk pikuk capaian pembangunan yang tentu dengan segenap kekurangan yang ada. Hendaknya juga bergaul dengan orang-orang yang sedang berkuasa. Tujuannya, agar “Punggawa Pengajian Padhang Mbulan” ini juga bisa melihat segenap “thethek mbengek” racikan bumbu pembangunan yang sedang digodok di dapur pemerintah. Toh, mereka semua ‘umat’ Cak Nun juga. Rasanya tidak adil ‘menghakimi’ orang hanya berdasarkan ‘informasi sepihak’.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait