Oleh: HM Yousri Nur Raja Agam
RAPAT Raksasa yang juga disebut Rapat Samudera, berlangsung di Tanah lapang Tambaksari, tanggal 21 September 1945. Dua hari setelah Rapat Raksasa tanggal 19 Setember 1945 di Lapangan Ikada, Jakarta. Kebetulan di Surabaya tanggal 19 September 1945 itu terjadi peristiwa bersejarah “Insiden Bendera” di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan 65 Surabaya.
Rapat Raksasa di Surabaya yang dihadiri lebih 100 ribuan warga Surabaya itu, hilang dan dilupakan sebagai kisah perjuangan Arek-arek Suroboyo. Ternyata, memang ada kesengajaan untuk “mengubur” sejarah itu dari bumi Kota Pahlawan.
Secuplik ini penyebabnya: berdasarkan wawancara khusus saya dengan Cak Roeslan Abdulgani di tahun 1996. Cak Roeslan, menyampaikan “ketidak-sukaannya” kepada panitia penyelenggara Rapat Samudera di Tambaksari yang umumnya dari “Pemuda Minyak” (Serikat Buruh Minyak). Ini kelompok “bawah tanah” pimpinan Sumarsono. “Kamu harus tahu, sebagai Angkatan 66”, Sumarsono itu orang yang condong ke PKI (Partai Komunis Indonesia). Dia itu temannya DN Aidit.
Sumarsono yang sempat menjadi Ketua PRI (Pemuda Republik Indonesia) Surabaya itu, ternyata terlibat langsung dalam Pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Setelah pemberontakan PKI itu berhasil ditumpas APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), dia menghilang. Kemudian waktu terjadi tragedi Gerakan 30 September (G30S/PKI), dia juga terlibat dan lari ke Medan, Sumatera Utara. Bersembunyi di sana. Entah bagaimana caranya, dia kabarnya sekarang di Australia, dan sudah jadi warga negara asing (WNA) Australia.
Kisah selanjutnya ada di bagian akhir tulisan saya ini.
Rapat Raksasa
Raoat Raksasa tanggal 21 Seotember 1945 ini awalnya digerakkan oleh Pemuda Minyak yang sudah membentuk panitia sebanyak 20 orang. Begitu ada keputusan menyetujui rapat raksasa di Tambaksari, S.Kasman dan kawan-kawannya menggerakkan truk-truk pengangkut pegawai menuju Tambaksari. Bahkan di antaranya, truk tanki juga dijadikan alat angkut massa.
Rapat raksasa seperti di Surabaya ini sebelumnya dipelopori beberapa pemuda yang dikenal sebagai anggota GBT (gerakan bawah tanah). Mereka ini mempersiapkan mobil berpengeras suara, “berhallo-hallo” keliling kampung di dalam Kota Surabaya.
Para pemuda Indonesia yang sudah terbakar semangat “merdeka” setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, terus berusaha menyebarluaskan informasi itu secara langsung kepada rakyat. Walaupun kabar tentang kemerdekaan ini sudah disebarluaskan melalui mediamassa — radio dan suratkabar — namun belum semua penduduk mengetahui, sebab berita itu masih dari mulut ke mulut.
Begitu ada kabar yang disebarkan melalui mobil pengeras suara yang “berhallo-hallo” keliling kota masuk ke kampung-kampung, rakyat berduyun-duyun menuju Tambaksari. Apalagi disiarkan, dalam rapat raksasa itu akan berpidato para petinggi negeri ini. Acara rapat raksasa yang direncanakan dimulai pukul 15.00 atau jam tiga sore itu, telah ramai sejak pukul satu siang.
Pengerahan massa rakyat dilaksanakan kelompok pemuda pejuang yang bergerak “di bawah tanah”. Demikian istilah yang digunakan untuk kegiatan secara diam-diam atau tersamar. Dengan berbagai agitasi dan propaganda yang dilakukan, ternyata hal ini benar-benar menarik masyarakat untuk datang ke Lapangan Tambaksari.
Selain berjalan kaki, bersepeda, naik beca, ada juga yang naik truk yang sebelumnya dirampas dari pos dan markas tentara Jepang. Bahkan ada pula pemilik truk yang memperbolehkan truknya dipakai pemuda untuk ke Lapangan Tambaksari.
Rakyat yang datang ke Lapangan Tambaksari itu juga mendapat selebaran dan pamflet yang dibagi-bagikan melalui mobil berpengeras suara. Selebaran itu dicetak di beberapa percetakan yang biasanya mencetak suratkabar. Truk-truk yang membawa massa rakyat ke Lapangan Tambaksari juga ditempeli berbagai pamflet dan poster. Di samping itu ada pula yang ditulis dengan cat berupa kalimat yang membakar semangat.
Tidak hanya dalam Bahasa Indonesia, tulis Des Alwi dalam bukunya Pertempuran Surabaya November 1945. Ada yang ditulis dengan Bahasa Inggris, Bahasa Belanda dan juga Bahasa Perancis. Misalnya: Milik RI, Down with Colonialism, Soekarno-Hatta Yes! NICA No, Let Freedom ring all over the World. Bahasa Perancis juga ada selogan yang terinspirasi dari Revolusi Perancis, misalnya: Liberte, Egalite, Fraternite yang artinya kebebasan, persamaan, persaudaraan. Di samping disebarkan kepada masyarakat, juga banyak yang ditempelkan di dinding-dinding gedung yang sebelumnya dikuasai Jepang, kereta api dan truk maupun mobil-mobil yang ada waktu itu.
Para pemuda yang aktif sebagai panitia dalam penyelenggaraan Rapat Raksasa ini, pengurus PRI (Pemuda Republik Indonesia), antara lain: Hasan, Soemarsono, Soerjono, Dimjati, Hassanoesi, Abdoel Madjid, Pohan, Soemarno, Karjono, Abdoel Sjoekoer dan Koesnadi. Puncak keberhasilan menghimpun massa itu, salah satu yang perlu dicatat adalah inisiatif Hassanoesi yang mengerahkan turk-truk dan mobil hasil rampasan dari Jepang. Massa rakyat berebut naik truk dan mobil yang menuju Tambaksari.
Rapat raksasa itu bertujuan untuk meningkatkan semangat massa rakyat agar lebih berani berkorban demi mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Di samping itu, juga perlu dipupuk rasa persatuan dan bertekad bulat menghadapi segala kemungkinan yang akan datang. Untuk mempertahankan kemerdekaan itu, dicanangkan tekad yang berbunyi: “Merdeka atau Mati”.
Dihadiri Residen Sudirman
Tepat pukul 16.00, Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari dimulai. Acara dibuka dengan pidato pengantar oleh Ketua BKR Surabaya Abdoel Wahab. Berturut-turut kemudian pidato yang membangkitkan semangat disampaikan oleh Residen Sudirman, Soemarsono, Lukitaningsih, Abdoel Sjoekoer, Sapia dan Koenadi.
Semua pembicara mendapat sambutan sangat meriah, tulis Des Alwi. Bahkan ada seorang tokoh PRI-Simpang dengan pidato berapi-api melontarkan secara ekspresif hal-hal yang tersimpan dalam lubuk hatinya, sehingga bisa memuaskan perasaan arek-arek Suroboyo.
Sekembalinya dari menghadiri Rapat Raksasa di Tambaksari itu. semangat rakyat berkobar-kobar, berikut datangnya keberanian untuk segera bergerak mempertahankan kemerdekaan. Kesimpulan tersebut sangat tepat, karena para pemuda tersebut sebelumnya tidak pernah minta izin kepada penguasa Jepang untuk menyelenggarakan Rapat raksasa itu. Persitiwa itu bagaikan bensin, sehingga api yang sudah panas semakin membara. Sekaligus bisa memperkuat keyakinan para pemuda bahwa sisa-sisa kekuasaan pasukan pendudukan Jepang harus dibongkar sampai ke akar-akarnya.
Massa pemuda juga meningkatkan aksinya dengan merobek-robek poster Jepang berisi larangan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Gerakan protes semacam ini kemudian berkembang menjadi aksi massal. Poster-poster Jepang diganti dengan plakat buatan anak-anak muda itu sendiri.
Ditangkap Kempetai
Lukitaningsih, wartawati Lembaga Kantor Berita Antara yang juga ketua Pemuda Puteri, merupakan satu-satunya tokoh pejuang wanita yang ikut pidato dalam Rapat Raksasa di Tambaksasi 21 September 1945. Di dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45, Lukitaningsih mengungkapkan, bahwa para pemimpin pemuda dengan tegas bergantian pidato untuk membakar semangat juang. Tiada lain tujuannya, agar pemuda-pemuda dan rakyat tetap bersatu padu dan tetap mempertahankan berkibarnya sang merah-putih untuk selama-lamanya.
Selaku ketua Pemuda Puteri, ulas Lukitaningsih, ia mengetahui bahwa saat Rapat Raksasa berlangsung, pasukan Kempetai (Polisi Militer Jepang) bersenjata lengkap bersiaga di sekeliling lapangan Tambaksari. Mereka menempatkan truk, panser dan tank-tanknya. Begitu acara selesai sekitar pukul 19.00, sebelas orang yang dianggap tokoh ditangkap. “Termasuk saya, digiring masuk kendaraan Kempetai dan dibawa ke markasnya di bekas kantor Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi zaman Belanda) — yang sekarang sudah hancur dan di tempat itu didirikan Tugu Pahlawan.
Sejak ditangkap, kami yang sebelas orang itu ditempatkan di sebuah ruangan besar, kata Lukitaningsih. Kami menunggu nasib, entah mau diapakan. Yang jelas, Kempetai itu tersohor kekejamannya. Menurut cerita, jarang orang yang tertangkap di situ akan keluar hidup-hidup. Dengan penuh kesadaran akan hal itu, jiwa muda kami tidak gentar, hanya pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa. Apa yang terjadi tidak kami pikirkan lagi.
Kami menunggu sambil berbincang-bincang, bagaimana kalau kami ditembak mati, bagaimana dengan teman-teman selanjutnya.Apabila selamat bagaimana strategi perjuangan kami selanjutnya. Pokoknya kami pertaruhkan segalanya demi kemerdekaan Indonesia, kata Lukitaningsih yang kemudian dikenal dengan nama Hj.Lukitaningsih Irsan Radjamin.. Selain sebagai wartawati dan redaktur senior di LKBN Antara di Jakarta, Lukitaningsih menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Wirawati Catur Panca, yakni organisasi para perempuan pejuang kemerdekaan RI.
Sekitar tengah malam pintu ruangan tempat kami disekap dibuka. Tampak beberapa pejabat pemerintahan dan tokoh pejuang datang untuk membebaskan kami. Ternyata setelah mengetahui sebelas orang disekap di markas Kempetai, para petinggi pemerintahan dan pejuang berusaha menghubungi pimpinan Kempetai. Kepada pimpinan tentara Jepang di Surabaya dikatakan, bahwa yang disekap itu adalah pemimpin pemuda Surabaya. Apabila mereka tidak dibebaskan, maka massa rakyat dan pemuda Surabaya akan menyerbu markas Kempetai.
Peristiwa itu merupakan modal yang sangat berarti untuk lebih mempersiapkan segenap lapisan pemuda dan rakyat. Kita harus siap mengadakan perlawanan kepada siapapun yang akan menginjak-injak kehormatan bangsa, ujar menantu Radjamin Nasution — Walikota Surabaya yang pertama sejak zaman Jepang dan Indonesia merdeka itu.
Sejarah yang dilupakan
Kendati “Rapat Raksasa” tanggal 21 September 1945 ini merupakan peristiwa bersejarah yang luar biasa, namun hampir tidak pernah menjadi bahan pembicaraan dalam sejarah perjuangan arek-arek Surabaya. Padahal puluhan ribu rakyat Surabaya berduyun-duyun menghadiri acara di lapangan sepakbola yang sekarang bernama Stadion Gelora 10 November di Jalan Tambaksari Surabaya. Konon kabarnya, ada masalah politis di balik peristwa itu.
Roeslan Abdulgani yang lebih akrab disapa Cak Ruslan dalam suatu wawancara khusus dengan penulis, mengakui adanya Rapat Raksasa di lapangan sepakbola Tambaksari itu. “Saya memang tidak hadir, karena pada hari yang sama ada rapat KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan. Rapat membicarakan berbagai taktik dan cara menghadapi tentara Sekutu yang datang melucuti serdadu Jepang”. Pada hari yang sama ujar Cak Ruslan, ia mengobarkan semangat juang para pemuda dan menanamkan rasa permusuhan terhadap tentara Sekutu.
Namun lain lagi, yang diungkapkan dalam buku Hasil Survey Sejarah Kepahlawanan Kota Surabaya, 1974, pada halaman 60, disebutkan bahwa panitia mendatangi Cak Ruslan untuk memimpin rapat raksasa di Tambaksari itu. Ternyata, Cak Ruslan tidak bersedia memimpin rapat raksasa itu. Cak Ruslan khawatir, kalau rapat raksasa yang juga disebut “rapat samudra” itu dilaksanakan, terjadi bentrok dengan tentara Jepang yang sudah siaga.
Menurut S.Kasman, Cak Ruslan yang ditemui oleh Sumarsono, Kuslan dan Djamal, menyatakan ketidak bersediaan Cak Ruslan, karena menghendaki rapat raksasa itu memperoleh izin dari pihak Jepang yang masih diberi kewenangan. Ternyata para pemuda itu tidak mau minta izin dan mengambil keputusan tetap mengadakan rapat raksasa tanpa kehadiran Cak Ruslan.
Dalam buku yang diterbitkan Bapparda (Badan Pengembangan Pariwisata Daerah) Kota Surabaya itu, disebutkan saat itu semangat pemuda sudah meluap dan diarahkan kepada penguasa Jepang. Panitia Setiakawan Warga Sosialis Surabaya dalam buku In Memorium Djohan Sjahroezah, menyebutkan bahwa, waktu itu sudah ada rencana setelah rapat raksasa rakyat akan digerakkan melucuti senjata tentara Jepang.
Memang, begitu rapat raksasa selesai menjelang Maghrib, sekitar 150 ribu lebih rakyat berduyun-duyun keluar lapangan Tambaksari. Di antaranya ada yang beraksi merobek berbagai poster dan tempelan yang disebar oleh tentara Jepang. Beberapa mobil milik tentara Jepang diambilalih dan dibawa ke markas pemuda pejuang.
Nah, mengapa peristiwa besar yang disebut Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksasi tanggal 21 September 1945 itu seolah-olah lenyap dari sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya?
Saya pernah wawancara khusus dengan Cak Roeslan Abdulgani. Maaf, menurut tokoh Arek Suroboyo ini, sejarah ini “memang sengaja dikubur”. Begitu jawaban tegas dari Cak Roeslan.
Mengapa? Apa yang dimaksud dengan kalimat “sengaja dikubur” itu? Menurut Cak Roeslan, saat beliau menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia, dia menulis buku “Seratus Hari di Surabaya”. Di dalam buku itu, setelah peristiwa “Insiden Bendera” di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan Surabaya, saya fokus kepada kegiatan “Berdirinya Pemerintah RI Daerah Surabaya”.
Saya sengaja tidak menulis tentang Rapat Samudera atau Rapat Raksasa di Tambaksari, maupun di Pasar Turi. Saya tidak hadir dan tidak ikut menyaksikan. Jadi, saya memang tidak menulis itu dalam buku saya. Juga tidak menulisnya di buku-buku lain yang diterbitkan Kementerian Penerangan ujar Cak Roeslan saat saya wawancara khusus di rumah dinas Walikota Surabaya, Jalan Walikota Mystajab 61. Wawancara saya ini disaksikan Walikota Surabaya, Soenarto Soemoprawiro, yang akrab disapa Cak Narto, tahun 1996. Waktu itu, menjelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November 1996.
Pada pertemuan dengan Cak Roeslan itu, selain disaksikan Cak Narto, juga ada tiga teman wartawan tim penulis buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik”, M.Arifin Perdana dan Djoko Suud Sukahar, serta Priyo Sigit — dari PE-ES Production.
Cak Roeslan, bahkan ikut menulis di buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” itu, lima halaman di Bab V, halaman 109 sampai 113. Cak Roeslan saya wawancarai tentang “Sinoman”. Dari wawancara dan bahan yang diberikan Cak Roeslan, saya menulis 15 halaman dari halaman 117 sampai 131. Tulisan itu tentang kisah dan riwayat Sinoman, sebagai “paguyuban tertua” Arek Suroboyo.
Nah, kembali ke cerita Rapat Raksasa di Tanah lapang Tambaksari, 19 Septembet 1945 itu, berterus terang Cak Roeslan mengatakan, memang dia tidak setuju adanya Rapat Raksasa di Tambaksari itu. Dia memang diajak untuk hadir dan berpidato di sana. Tetapi Cak Roeslan tidak bisa, kebetulan ada rapat penting bersama KNID (Komite Nasional Daerah) Surabaya di GNI (Gedung Nasional Indonesia) Jalan Bubutan. Kecuali, itu ujar Cak Roeslan, dia tidak ingin terjadi bentrok fisik dengan pihak Kempetai Jepang, karena pengerahan massa itu tidak memberitahu pihak Jepang yang masih “memegang senjata”.
Namun, saat wawancara khusus itu, Cak Roeslan menyampaikan “ketidak-sukaannya” kepada panitia penyelenggara Rapat Samudera di Tambaksari yang umumnya dari “Pemuda Minyak” (Serikat Buruh Minyak). Ini kelompok “bawah tanah” pimpinan Sumarsono. “Kamu harus tahu, sebagai Angkatan 66”, Sumarsono itu orang yang condong ke PKI (Partai Komunis Indonesia). Dia itu temannya DN Aidit.
Sumarsono yang sempat menjadi Ketua PRI (Pemuda Republik Indonesia) Surabaya itu, ternyata terlibat langsung dalam Pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Setelah pemberontakan PKI itu berhasil ditumpas APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), dia menghilang. Kemudian waktu terjadi tragedi Gerakan 30 September (G30S/PKI), dia juga terlibat dan lari ke Medan, Sumatera Utara. Bersembunyi di sana. Entah bagaimana caranya, dia kabarnya sekarang di Australia, dan sudah jadi warga negara asing (WNA) Australia.
Sekarang, tentu ada kisah dan cerita lain tentang Rapat Raksasa di Tanah lapang Tambaksari, 21 September 1945 itu. Apakah layak peristiwa sejarah yang sama dengan Raoat Raksasa di Lapangan IKADA, Jakarta 19 September 1945 itu “dikubur”. Sehingga sejarah itu lenyap “ditelan zaman”, dan “dilupakan” sebagai bagian dari sejarah perjuangan Arek-arek Suroboyo. (Y)