Moch Efendi SH ketika mengawali wisata religinya di Makam Syekh Jumadil Kubro di Trowulan, Mojokerto, terus ke makam wali lain di Tuban, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. (dok).
SURABAYA, Beritalima.com – Keikhlasan dan doa dari orang-orang terdekat sebelum melangkah menjalankan niat baik itu hal utama bagi Moch Efendi SH. Untuk itu, begitu putra asli Madura ini ditetapkan sebagai Calon Legislatif DPR RI dari Partai Perindo, ia silaturrahmi ke sanak keluarga, kerabat dan tokoh masyarakat untuk mengabarkan itu, sekaligus memohon doa restu.
Ke sanak saudara, Efendi mengawali silaturrahmi ke kakak kandungnya yang tertua, Drs H. Moh Adnan Harjono, pengganti kedua orangtuanya yang telah tiada.
Dia anak nomor 7 dari 9 anak pasangan Almarhum H.Moh.Arief dan Almarhumah Hj.Mirati yang dikenal pedagang di pasar Panempan Kangenan Pamekasan, Karena itu, setelah dari kakak tertuanya, dia terus ke saudara-saudaranya yang lain.
Sebagai rasa syukur, Efendi kabarkan sekaligus minta ijin kalau dirinya telah dipercaya sebagai Caleg DPR RI Dapil Jatim XI Madura Nomor Urut 2 ini. Dia mohon doa mereka.
Selanjutnya, dia pun ke familynya, saudara orangtuanya. Dan saudara dari almarhum ibunya yang tinggal hanya seorang, yakni Amir, pensiunan Kantor Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Pamekasan.
“Alhamdulillah… walaupun usia Om Amir sudah di atas 75 tahun, tapi masih sehat dan bisa memberikan semangat pada saya, bahkan bisa membantu mensosialisasikan niatan saya,” ucap Efendi bersyukur. “Terimakasih ya Om Amir,” tambahnya.
Sedangkan saudara dari almarhum bapaknya, yang masih ada tinggal H. Fauzi, pensiunan PT Telkom Pamekasan.
H.Fauzi saat ini usianya sudah di atas 80 tahun. “Beliau adik dari bapak saya,” jelas Efendi.
Efendi juga menyebutkan kalau bapaknya adalah adik almarhum Abah Halil. “Saudara tertua bapak saya adalah Almarhum Abah Halil yang cukup dikenal di Kabupaten Pamekasan.
Saat sungkem pada Abah Fauzi, Efendi diberi berbagai petuah, disamping diajak ke petilasan Kiai Raba.
“Nak majuu entar ka makammah Kiai Raba, arowa mbah buyutmu, jek kaloppaeh,” ucap Abah Fauzi pada Efendi, yang artinya, “Nak, ayo ke makam mbah buyutmu Kiai Raba. Jangan dilupakan.”
Dari kediaman Abah Fauzi, pamannya itu, Efendi ingin berziaroh ke makam Kai Raba, namun karena ada hal yang perlu diselesaikan dan menemui konstituennya, efendi menunda ziarohnya.
Kiai Raba. Abah Fauzi menegaskan, keponakannya ini, yakni Moch Efendi, bukan hanya keponakan Abah Halil, tapi juga buyut Kiai Raba.
Kisah-Kisah Di Petilasan
Kisah kedatangan Kiai Abdurrahman di kawasan Raba, Desa Sumedangan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, ini diukir dengan tinta emas dalam ingatan sejarah kuna Madura.
Saat itu tidak seorang pun warga Pamekasan yang mengetahui secara pasti kapan Kiai Abdurrahman mulai menempati kawasan Raba. Kedatangan beliau justru tercium berkat isyarat langit.
Syahdan, di suatu masa di jaman pemerintahan Panembahan Ronggosukowati, salah satu Raja Pamekasan, di kota yang kini berjuluk Gerbang Salam ini mengalami musim kemarau panjang. Konon hingga tujuh tahun tidak pernah hujan. Kondisi paceklik berkepanjangan ini membuat Pamekasan meranggas.
Sang raja yang dikenal sakti mandraguna, pemilik keris bertuah Joko Piturun pun tidak bisa berbuat banyak. Beliau hanya bisa berdoa dan menjalani laku khusus demi berharap belas kasih Sang Kuasa.
Hingga suatu malam beliau asopenna (bermimpi) didatangi petunjuk berupa suara. “Selama ini Pamekasan tidak hujan karena ada dua orang Wali Allah di Alas Raba yang tidak memiliki tempat tinggal untuk berteduh dari guyuran hujan. Ucapkan salam begitu sampai di sana,” pesan suara di tengah mimpi Ronggosukowati.
Selepas mendengar suara itu Ronggosukowati terbangun. Keesokan harinya beliau langsung memanggil patih Pamekasan dan diajaknya ke Alas Raba.
Sang Patih terkejut mendengar titah Raja. Tanggap bahwa patihnya diselimuti ragam tanya, Ronggosukowati menceritakan mimpinya. Banyak yang kuatir akan kepergian raja dan patih ke Alas Raba. Karena, jangankan manusia, hewan pun, kecuali bangsa ular, tak ada yang berani mendekati kawasan tersebut.
Sampai di Alas Raba, sesuai petunjuk, sang raja menguluk salam pertama. Dan anehnya, terdengar jawaban dari sebuah arah namun ketika didatangi tak ada seorang pun di sana. Terus, diucapkannya salam kedua, yang langsung mendapat jawaban dari arah lain.
“Uluk salam raja itu hingga tujuh kali, dengan jawaban yang datang dari arah berbeda-beda,” kisah Bindara Abdul Hamid, salah satu penerus estafet yang melestarikan situs Kiai Agung Raba.
Tujuh kali salam itu tercermin pada tujuh kali belokan pada jalan menuju Pesarean Kiai Agung Raba. Sekitar kurang lebih 1 km dari jalan utama desa untuk sampai ke titik situs. Konon berkat karomah Kiai Abdurrahman, saat itu ratusan binatang buas menyingkir memberi jalan pada rombongan raja Pamekasan.
Setelah bertemu Kiai Abdurrahman yang saat itu tengah bertapa bersama anak keponakannya yang bernama Kiai Abdullah (ayah Bindara Saut, Raja Sumenep), Ronggosukowati menuturkan maksudnya.
Dialognya kurang lebih begini. “Apa maksud kedatangan Baginda menemui hamba?,” tanya Kiai Abdurrahman.
“Saya meminta bantuan Kiai agar sudi memohon pada Allah supaya Pamekasan diberi hujan,” kata Ronggosukowati.
“Insya Allah. Namun seperti yang mulia baginda tahu, hamba dan putra hamba tidak memiliki tempat berteduh seandainya nanti hujan turun,” kata sang Wali.
“Kalau kanjeng kiai bersedia, saya akan membangunkan sebuah rumah atau langgar untuk ditempati,” tawar sang Raja.
Kiai Abdurrahman setuju. Saat itu juga dikerahkan punggawa keraton untuk membangun sebuah bilik sederhana tepat di tempat Kiai Abdurrahman dan Kiai Abdullah duduk bertapa. Dan, subhanallah, atas ijin Allah, bersamaan dengan tertutupnya atap bilik tersebut, hujan turun dengan deras.
Pamekasan bersuka cita. Sang raja meluapkan kegembiraannya dengan tak henti-hentinya berterima kasih pada Kiai Abdurrahman. Namun sang Kiai menolaknya, beliau menganjurkan raja agar bersyukur saja kepada Allah SWT.
Hujan turun sesuai yang diharapkan. Namun masalahnya, hujan tak mau berhenti. Tujuh hari tujuh malam, Pamekasan diguyur hujan deras. Rahmat Allah itu pun menjelma banjir.
Pamekasan tergenang air hujan. Rakyat panik, begitu pun juga Raja. Akhirnya Ronggosukowati kembali menemui sang Wali. Kiai Abdurrahman lantas bertanya apa keperluan raja kembali menemuinya.
“Hujan tidak mau berhenti. Keadaan tambah parah. Banjir tak bisa dicegah,” ucap Raja.
“Lalu bagaimana?,” tanya sang Wali sambil tersenyum.
“Saya harap kiai bersedia memohon agar hujan berhenti,” pinta Raja.
“Aduh, bagaimana hamba bisa. Nanti Allah malah murka. Tidak hujan diminta turun. Begitu diturunkan, lalu diminta berhenti. Akhirnya malah bisa tak akan pernah lagi diberi hujan,” kata Kiai Abdurrahman.
“Kalau begitu saya minta didoakan agar diturunkan hujan yang sedang-sedang saja. Dan memberi banyak manfaat,” mohon sang Raja.
Kiai Abdurrahman lalu bermunajat. Tak lama kemudian, atas ijin Allah, hujan turun sedang. Lalu berhenti. Setelahnya hujan turun seperti biasa, mengikuti alur musim. Pamekasan pun bebas dari paceklik. Rahmat turun berkat doa Kiai Abdurrahman.
Kisah Kiai Abdurrahman dan Santrinya
Sejak peristiwa hujan tersebut, karomah Kiai Abdurrahman terdengar seantero Pamekasan. Bahkan sampai keluar wilayah kekuasaan Ronggosukowati. Hal inilah kemudian yang menarik banyak orang untuk mendatangi Raba. Mulai dari ingin bertemu Kiai Abdurrahman, meminta ijin untuk tinggal di dekat beliau, hingga permintaan untuk menjadi santri Kiai Abdurrahman.
Keinginan untuk ikut menempati Alas Raba tidak bisa ditolaknya. Apalagi kawasan itu sudah dihadiahkan pada beliau oleh Ronggosukowati.
Namun lain halnya dengan keinginan untuk nyantri. Kiai Abdurrahman dengan rendah hati mengakui jika bukanlah orang ‘alim di bidang agama, dan tidak bisa mengajar. Tapi di luar dugaan, kerendahan hati beliau membuat keinginan banyak orang untuk nyantri tambah kuat.
Tidak ingin mengecewakan mereka, Kiai Abdurrahman meminta waktu beberapa hari untuk mengambil keputusan. Pesannya yang lain, beliau malah meminta mereka yang ingin ngaji itu membawa bekal kitab yang dimiliki untuk dipelajari lebih dulu sebelum mengajar.
Tumpukan kitab warga yang ingin nyantri hampir memenuhi ruangan bilik beliau di Raba. Sontak, Kiai Abdurrahman tambah bingung. Beliau memang merasa bukanlah orang alim yang bisa mengajar kitab-kitab klasik bertuliskan arab gundul itu.
Hingga di tengah kebingungannya itu beliau tertidur, dan asopenna didatangi Rasulullah SAW bersama keempat sahabatnya, Sayyidina Abubakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali Radliyallahu ‘anhum. Rasul pun bersabda pada Kiai Abdurrahman.
“Hai Abdurrahman, buka mulutmu lebar-lebar. Aku akan memberimu ilmu,” perintah Kanjeng Nabi.
Kiai Abdurrahman lalu mengikuti Rasul. Setelah membuka mulut, Rasul meludah ke dalam mulut Kiai Abdurrahman itu. Setelah Beliau SAW, keempat sahabat juga melakukan hal yang sama.
Begitu air ludah Rasulullah dan keempat sahabatnya itu ditelan dan sampai ke perut, Kiai Abdurrahman terbangun. Hingga keesokan harinya beliau menelaah makna mimpinya itu.
Pagi harinya, warga yang ingin nyantri berbondong-bondong lagi mendatangi Kiai Abdurrahman. Sang Kiai tak lupa menceritakan mimpinya. Beliau menyimpulkan bahwa selain memperoleh kemuliaan mimpi tersebut, Rasul mengisyaratkan bahwa beliau harus memenuhi permintaan warga yang ingin nyantri.
Para calon santri itu tak terlukiskan senangnya mendengar mimpi sekaligus kesediaan Kiai Abdurrahman menerima mereka. Hari itu juga sang Kiai mutola’ah kitab. Beliau langsung morok (mengajar) dengan lancar, jelas, fasih dan mendalam.
Pemahaman dan cara memberi pemahaman pada santri sangat luar biasa. Nama Kiai Abdurrahman semakin masyhur, dan santri terus berdatangan dari segenap penjuru.
Kiai Abdurrahman lantas dikenal dengan sebutan Kiai Raba atau Kiai Agung Raba. Kiai Agung bermakna kiai terbesar, karena setelah beliau hingga beberapa generasi juga menyandang sebutan Kiai Raba.
Kisah Lingkar Anjing dan Lidi Dari Sampang
Kiai Abdurrahman atau Kiai Agung Raba berasal dari Madura Timur atau Sumenep. Beliau memang berasal dari keluarga ulama yang sekaligus berdarah biru. Dari garis ayah beliau adalah putra Kiai Abdullah alias Kiai Sendir ke-III yang berasal dari Sendir, Lenteng, Sumenep.
Desa Sendir memang dikenal sebagai kawasan ulama di jaman kuna. Pertama kali yang membabat Sendir ialah Kiai Rahwan (dalam catatan lain ditulis Kiai Rawan atau Irawan), cucu Pangeran Bukabu.
Kiai Rahwan berputra Kiai Kumbakara atau Kumbasari (Kiai Sendir ke-I). Kiai Kumbasari berputra Kiai Abdurrahim (Kiai Sendir ke-II), yaitu ayah dari Kiai Abdullah (Kiai Sendir ke-III).
Sejak kecil Kiai Agung Raba sudah memiliki keistimewaan, tidak seperti anak-anak seusianya. Setiap beliau berucap langsung terjadi sesuai kata-katanya. Seperti misalnya berkata sebentar lagi hujan, maka dalam sekejap hujan turun.
Melihat hal yang luar biasa pada diri putranya, Kiai Abdullah khawatir, sehingga Kiai Agung Raba lebih sering di dalam rumah dan tidak dibiarkan bermain bersama teman-temannya.
Hingga kemudian beranjak dewasa beliau dititipkan pada Kiai Imam, di desa Pandian Sumenep, salah satu ulama besar Sumenep di masanya yang juga diyakini sebagai wali besar.
Anehnya, kebiasaan Kiai Agung Raba tidak seperti santri lainnya. Ia tidak mengaji malah suka mengadu anjing.
Mengetahui itu, Kiai Imam yang waskita meminta Kiai Agung Raba agar melepas kebiasannya itu, karena kelak dirinya akan menjadi teladan besar bagi umat.
Kiai Agung Raba menurut. Kawanan anjing yang biasa dijadikan permainan untuk diadu dilepasnya di tempat yang kini menjadi desa Muangan, Kecamatan Saronggi.
Kawanan anjing itu menyebar dan membentuk peta lingkaran imajinatif, mulai dari Muangan ke arah timur dan berputar ke arah utara hingga kembali ke barat. Hingga kini daerah itu dikenal dengan istilah lengker pate’ (lingkaran anjing).
“Di jaman kuna dulu, daerah lengker pate’ itu tidak boleh dijadikan tempat tinggal atau dibangun rumah. Karena diyakini tidak berkah,” kata R B Deny Fahrurrazi, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Setelah itu Kiai Agung Raba diperintahkan Kiai Imam ke Sampang untuk berguru pada Kiai Aji Gunung. Di sana Kiai Agung Raba diperintahkan Kiai Aji Gunung mencari cincin isterinya yang hilang karena masuk ke dalam jamban.
Patuh, Kiai Agung Raba menguras isi jamban dan menghaturkan cincin. Senang dengan kepatuhan Kiai Agung Raba, Kiai Aji Gunung bertitah sembari melempar sebatang lidi ke arah barat.
“Cari di mana lidi ini nanti menancap, lalu menetaplah di sana,” perintah Kiai Aji Gunung pada Kiai Agung Raba.
Atas ijin Allah, lidi itu melesat hingga ke daerah Pamekasan dan menancap di alas Raba.
SITUS Raba hingga saat ini masih lestari. Berupa kawasan pasarean Kiai Agung Raba dan isteri beliau. Kiai Agung Raba tidak memiliki keturunan. Konon beliau lebih sering menghabiskan waktu untuk bersujud daripada menikmati kehidupan duniawi.
“Bahkan ada yang bilang beliau bersujud hingga 40 tahun. Hingga santri datang silih berganti, dan banyak yang sudah menikah dan memiliki anak,” kata R P Mohammad Mangkuadiningrat, salah satu pemerhati sejarah lainnya di Sumenep.
Kiai Agung Raba mengambil dua orang keponakannya sebagai anak. Yaitu Kiai Abdullah Batuampar atau Entol Bungso atau Bindara Bungso, dan kakaknya, Kiai Adil. Keduanya adalah putra Nyai Asri dan Kiai Abdul Qidam, Arsoji. Nyai Asri bersaudara dengan Kiai Agung Raba.
Sepeninggal Kiai Agung Raba, Kiai Adil tetap di Raba dan mendapat julukan Kiai Raba ke-II. Lokasi pasarean Kiai Adil di sebelah utara pasarean Kiai Raba.
Situs Raba bertarikh pertengahan kedua di kurun 1700-an. Yang membangunnya ialah Panembahan Sumolo, Raja Sumenep, dengan batu nisan yang bercorak khas Asta Tinggi Sumenep. Ayah Sumolo, Bindara Saut, adalah cucu keponakan Kiai Agung Raba.
Selain pasarean, bekas bilik atau langgar Kiai Agung Raba masih ada, namun sudah mengalami beberapa kali pemugaran. Saat ini yang merawatnya ialah Bindara Hamid, salah satu narasumber di atas.
Ada kisah menarik. Konon jika ziarah ke Asta Raba ada pesan kuna agar jangan sampai membawa senjata pusaka atau sajam biasa. Dulu ada yang melanggarnya. Begitu masuk ke kawasan itu, senjata pusaka yang dibawa tiba-tiba terbelah dua.
Disamping itu juga ada pesan kuna lainnya, dianjurkan jika ingin shalat berjamaah jangan di bilik Kiai Agung Raba, namun sebaiknya di masjid dekat pasarean Agung.
“Takut ekasokane,” kata Mohammad Mangku, yang diiyakan oleh Abdul Hamid.
“Kalau di jaman kuna dulu orang yang melanggar pesan dengan menggelar shalat jamaah di situ tak mau pulang dan bahkan sampai meninggal di sini. Ada juga yang hilang secara ghaib,” lanjut Hamid.
“Pernah yang saya tahu dulu secara langsung waktu abah saya masih hidup, ada salah satu kiai yang tidak percaya, kiai itu langsung rubuh dan hingga akhir hayatnya kurang sehat,” pungkasnya. (rr)