Capt. E. Kartini, Nahkoda Perempuan Pertama Di Indonesia

  • Whatsapp
Capt E. Kartini, nahkoda perempuan pertama di Indonesia

Jakarta, beritalima.com |– Di perusahaan pelayaran milik negara, PT Pelni (Pelayaran Nasional Indonesia), E. Kartini adalah nahkoda perempuan pertama. Bahkan bisa dibilang, ia adalah perempuan pertama di Indonesia yang bertugas sebagai nahkoda.

Dr. Capt. E. Kartini, M.M., M.Mar, yang kelahiran Sumedang, Jawa Barat (Desember 1946), adalah lulusan Akademi Ilmu Pelayaran (sekarang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran), Jakarta. Kini, setelah pensiun sebagai nahkoda, Kartini yang telah menyandang gelar doktor (S3) dari Universitas Negeri Jakarta, mengajar di sekolahnya dahulu (STIP).

Berikut ini petikan wawancara beritalima (BL) dengan E. Kartini (EK):

BL. Apa yang melatarbelakangi ibu memilih profesi sebagai nahkoda

EK. Saya menjadi pelaut adalah pilihan untuk masa depan yang lebih baik. Karena semula saya memilih AIP ( Akademi Ilmu Pelayaran ) pada tahun 1965 saat itu adalah sekolah kedinasan. Dan saya saat itu berikatan dinas dengan Departemen Perhubungan Laut, Namun saat lulus dapat memilih dan mencari kerja sendiri sehingga saya masuk di PT Pelni tahun 1971.

BL. Dalam keluarga ibu, apakah sebelumnya sudah ada yang bekerja sebagai nahkoda?

EK. Belum ada

BL. Berapa tahun ibu menjalani profesi sebagai nahkoda?

EK. Diangkat menjadi nakhoda setelah melewati jenjang yang panjang, setelah melalui jabatan mualim, mulai dari jabatan mualim IV (31 Januari 1971) dan baru mejadi Nakhoda pada 1976.

BL. Bagaimana keluarga (suami dan anak) menilai profesi ibundanya?

EK. Suami sangat mendukung karena kami satu profesi pelaut yang lulusan AIP juga. Satu Angkatan, mengerti bahwa kenaikan jabatan  harus diikuti peningkatan ijazah laut. Mendapatkan  ijazah peningkatan harus memiliki masa berlayar, setiap tingkat harus punya masa berlayar selama dua tahun. Untuk tujuan tersebut saya fokuskan cari masa berlayar sampai mendapatan ijazah terakhir  MPB I, ANT I. Kebetulan anak saya baru satu. Dengan dicapai ijazah terakhir, saya sudah tidak mengejar lagi target masa berlayar dan memohon ke PT Pelni untuk ditempatkan di darat sambil sesekali  menggantikan yang cuti atau ada tugas lain yang harus meninggalkan keluarga. Sehingga kami tidak  mempunyai masalah dengan keluarga,.

BL. Adalah pegalaman yang paling sulit dilupakan selama menjalani profesi nahkoda?

EK. Saya mendapat tugas dari PT Pelni untuk mengawasi pembangunan kapal baru di Jerman sebagai Owner Surveyor  yaitu KM Tidar  pada 1988. Saat peresmian kapal  betemu dengan mantan Dosen di AIP  Bapak Fanny Habibie (nama aslinya JE Habibie, adik kandung Presiden Ketiga RI BJ Jabibie), yang menjabat sebagai Duta Besar di Belanda diundang  menghadiri  peresmian KM Tidar. Saat ketemu beliau , Pak Fanny meminta kepada Meteri Perhubungan  agar saya ditunjuk menjadi  nakhoda di KM Awu, kapal Pelni ke X  pada 1990. Dengan  pengalaman di dua kapal  sebagai OS dan  kemudian sebagai nakhoda, saya pernah berlayar  melewati  Afrika Selatan dan Mandagaskar dengan KM Tidar pelayaran 30 hari. Lalu dengan KM AWU melewati Terusan Suez  lama pelayaran  29 hari 9 jam dilaut  menempuh 9900 mil laut. Berikutnya di Indonesia dengan KM Awu membuka jalur- jalur baru untuk kapal penumpang.

BL. Apa pesan ibu kepada generasi muda untuk juga bisa mengikuti jejaknya?

EK. Memang kehidupan dilaut cukup keras alamnya, kondisi kerjanya. Masalah keluarga bagi perempuan banyak tantangannya. Kalau kita jalani dengan penuh kesadaran dan komitmen, memohon kepada yang diatas,  Insya Allah  kita dapat mengatasinya.

BL. Bagaimana ibu menilai Pendidikan ilmu pelayaran di tanah air dulu, kini dan kedepan?

EK. Memang waktu kami masuk pada 1965 kami berikatan dinas dan berlaku sistem DO (drop out). Kalau kita tidak lulus langsung keluar. Sistem orientasi kami jalani penuh disiplin, hukuman berlaku, tahanan komplek, push up, lari, berbaris beberapa jam. Tapi tidak ada hukuman kekerasan fisik. Hal hal ini membawa akibat kepada kita, takut dihukum jadi kita disiplin. Berguna untuk kedepan terutama  kerasnya hidup dikapal.

Saya berpendapat  belajar disiplin tetap kita jalani. Tapi tidak ada kekerasan fisik yang dilakukan seniornya. Pembelajaran  cukup memadai karena sudah sesuai STCW (Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Pengawasan Pelaut). Hanya daya tangkapnya harusnya lebih baik lagi karena  peralatan dikapal  sudah canggih.

Jurnalis: Abriyanto

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait