“Cari Aman” Soekarwo Dukung Jokowi Padahal SBY Koalisi dengan Prabowo

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

GONJANG-ganjing politik di tanah air menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, kembali menghangat dan menjadi topik berita di mediamassa. Saat ini sudah dipastikan muncul dua nama calon presiden yang akan memperebutkan RI-1. Figurnya masih sama dengan Pilpres 2014 lalu, yakni antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.

Belum kelihatan calon alternatif atau poros ke tiga, selain Jokowi dan Prabowo. Justru yang ramai saat ini adalah perbincangan bakal calon Wapres (Wakil Presiden). Baik Cawapres Jokowi, maupun Cawapres Prabowo.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menjadwalkan pendaftaran pasangan Capres-Cawapres tanggal 4 sampai 10 Agustus 2018 ini. Kelihatannya, partai politik (Parpol) koalisi pendukung Capres Jokowi, maupun Parpol koalisi pendukung Prabowo, sama-sama menunggu hari-hari terakhir pendaftaran.

Kendati banyak nama yang disebut sebagai bakal Cawapres Jokowi, semua masih “dirahasiakan”, berdalih hak prerogatif Jokowi sebagai Capres. Hal yang sama juga terjadi di kubu Prabowo. Tentu, kita hanya bisa menunggu dalam waktu sepekan ini, tanggal 4-10 Agustus 2018. Parpol koalisi pendukung masing-masing Capres kelihatannya sudah solid. Jokowi didukung koalisi PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura, PKB dan PPP. Sedangkan Capres Prabowo didukung Partai Gerindra, PKS, PAN dan “menyusul” Partai Demokrat.

Nah, karena Partai Demokrat “hijrah” dari kubu sebelah ke koalisi barunya kubu Prabowo, maka terjadi peristiwa yang menarik. Semula Partai Demokrat “dianggap” berada di kubu Jokowi, ternyata kini “meloncat” ke kubu Prabowo. Pertemuan mesra antara Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jokowi, tinggal kenangan. Sebab, SBY akhirnya beralih ke kubu Prabowo.

Loncatan SBY ke kubu Prabowo, ternyata mengakibatkan terjadinya “perpecahan” di tubuh Partai Demokrat. Saat SBY berada di kubu Jokowi, beberapa tokoh PD sudah “bermesraan” dengan Jokowi. Bahkan, secara terang-terangan berikrar akan mendukung dan memenangkan Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang.

Kejutan pertama dilakukan oleh Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat) Muhammad Zainul Majdi. Tokoh yang bergelar Tuan Guru Bajang (TGB), dengan berani menyatakan mundur dari Partai Demokrat dan mendukung Capres petahana Jokowi.

Sikap yang sama, tetapi “malu-malu kucing” juga dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur, Dr.H.Soekarwo. Pria berkumis yang akrab dengan sapaan Pakde Karwo itu, menyatakan bahwa sebagian besar kader dan pengurus Partai Demokrat Jatim mendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 nanti.

Langkah Pakde Karwo ini memang tidak sejalan dengan DPP Partai Demokrat dan SBY yang sudah resmi merapat ke koalisi Prabowo. Soekarwo mengakui dukungan Demokrat Jatim itu, saat berada di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018. Soekarwo menyadari hasil tersebut berbeda dengan langkah organisasi. Namun dia menilai setiap individu memiliki penilaiannya sendiri. “Ya kalau struktural pengurus digerakkan ke sana. Tetapi kalau pribadi kan punya pendapat lain,” katanya.

Soekarwo juga berdalih, dia tidak bisa tanya pribadi mereka. “Harus ngopi dan rokokan dulu, harus panjang ceritanya,” ujarnya. Walaupun demikian, kata gubernur Jatim dua periode ini, hingga sekarang dia masih bertahan di Partai Demokrat. “Kalau tanya pilihan ya jadi urusan pribadi masing-masing,” ulas Pakde Karwo.

Menanggapi perbedaan dukungan Pilpres 2019, memunculkan isu, Pakde bakal mundur dari Partai Demokrat. Namun Pakde Karwo dengan tegas membantah. Sampai sekarang masih tetap di Partai Demokrat. Dari pihak DPP Partai Demokrat sendiri, juga tidak ada ketegasan. Para pengurus DPP, memang belum rapat sehubungan dengan beralihnya Partai Demokrat ke kubu koalisi pendukung Prabowo.

Ketua DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahean, menyatakan walaupun Soekarwo bersikap demikian, dipastikan “tidak ada sanksi” karena mendukung Jokowi. Partai Demokrat member ruang demokrasi, di mana itu hak individual yang diatur konstitusi. Namun ada mekanisme internal partai yang wajib dipatuhi.

Sebenarnya, saat SBY merapat ke Jokowi, selain mambawa nama AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), nama Jokowi juga ada yang menyebut cocok disandingkan dengan Soekarwo. Jargon singkatan Jokowi-Soekarwo juga sudah masuk dalam trending topit twitter dengan nama tagar #JokowiKarwo. Meme yang memuat foto Jokowi-Soekarwo itu disingkat “Jowo”.

Kasus Soekarwo yang mendukung Jokowi itu, memang belum dibahas, ujar Sekjen DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan. Usulan Ketua DPD Jawa Timur Soekarwo agar Demokrat mendukung Jokowi hanya aspirasi pribadi. Jadi bukan keputusan majelis tinggi Partai Demokrat.

Soekarwo memang menghadapi dilematis soal dukungan kepada Jokowi itu. Sebab, saat Pilgub Jatim sebelumnya, Partai Demokrat berada pada koalisi mendukung Khofifah Indarparawansa yang berpasangan dengan Emil Elistiato Dardak. Lawannya, Saifullah Yusuf wakil Gubernur Jatim yang dua periode bersama Pakde Karwo. Namun Gus Ipul atau Saifullah Yusuf yang berpasangan dengan Puti Guntur Sukarno itu diusung oleh koalisi PDIP bersama PKB.

Di sini, sampai-sampai Pakde Karwo tidak ikut kampanye. Secara pribadi dia sudah sangat dekat dengan Gus Ipul, tetapi secara politik dia harus mendukung Khofifah.
Di sini Khofifah menang, kemudian menyatakan mendukung Jokowi dalam Pilpres mendatang. Apakah tidak dilematis? Tanya Pakde Karwo.

Manuver Soekarwo itu direaksi oleh kader senior Partai Demokrat di Kota Surabaya, Sachiroel Alim. Ia memprotes kebijakan DPD Demokrat Jatim yang melakukan voting dan akhirnya mengusulkan nama Jokowi sebagai capres ke DPP Partai Demokrat. Sikap DPD Partai Demokrat Jatim bikin blunder. Selama belum ada instruksi dari Ketua Umum SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), seyogyanya tidak ada yang boleh bermain di tikungan.

Mantan anggota DPRD Kota Surabaya 2009-2014 dari Fraksi Demokrat ini meminta kepada pengurus yang ikut voting seyogyanya mundur semua. “Kami meragukan loyalitas mereka ke Partai Demokrat, “ ujarnya. Bahkan, lebih tegas lagi menyatakan, manuver Soekarwo dengan membuat voting dukungan DPD Demokrat Jatim kepada Jokowi pada Pilpres 2019 nanti, jelas merupakan upaya politik untuk menggiring SBY agar merapat ke Jokowi.

Di balik permasalahan politik itu, ada dugaan bahwa saat ini situasi keamanan pribadi para pejabat di Jawa Timur sedang “terancam”. Sudah sekian orang Kepala Daerah dan Kepala Dinas, beserta stafnya yang terindikasi “korupsi”. Bahkan, Pakde Karwo sendiri selalu dibayang-bayangi intaian “keterlibatan”, karena jabatannya sebagai atasan.

Pakde Karwo mengakui, dapat informasi bahwa di sekitarnya tidak kurang ada 14 titik yang berusaha melakukan “penyadapan” komunikasi yang dilakukannya. Untuk menghindari itu, Pakde Karwo sampai-sampai tidak “berani” mengaktifkan telepon selular yang biasa dipergunakannya.

Sumber Pepnews.com. malah menyiarkan berita, bahwa paska lengser dari Gubernur Jatim, awal tahun 2019 nanti, Soekarwo berharap bisa menjadi Mendagri di Kabinet Kerja, jika Jokowi terpilih kembali menjadi Presiden pada Pilpres 2019 mendatang. Kabarnya pula, jika bukan Mendagri, ia mengincar posisi Dubes Australia.

“Di Ausie, Soekarwo punya ranch (peternakan) sapi perah dan duit yang disimpan di sana,” masih ungkap sumber Pepnews.com. Makanya, Soekarwo lebih memilih mengincar jabatan Dubes Australia. “Di sana kan aman,” ujarnya.

Kecuali itu, manuver Soekarwo yang membawa-bawa DPD Demokrat Jatim ini lebih kepada “cari aman” terkait dengan beberapa kasus yang sedang diinvestigasi KPK. (***)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *