Cari Solusi Climate Change, Wagub Emil Apresiasi Diskusi Panel CRIC

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com | Masyarakat akan menjadi yang paling terdampak saat membicarakan isu perubahan iklim atau climate change. Jika selama ini banyak sekali pihak yang masih berpikir bahwa perubahan iklim hanya sekedar isu yang didiskusikan kaum intelektual. Padahal, perubahan iklim membawa efek langsung bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Di masyarakat kita, masih banyak yang mengira kalau climate change itu isu akademis, isu internasional. Mereka tidak sadar kalau sebenarnya merekalah yang paling terdampak climate change,” ujar Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak saat membuka Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) Panel Discussion di Hotel Grand Dafam, Surabaya, Kamis (2/3).

Emil menyebut, banyak sekali aspek yang akan langsung mengubah kualitas hidup warga jika perubahan iklim terus terjadi secara signifikan. Seperti kontaminasi air akibat bercampur air laut di kawasan pesisir ataupun maraknya hunian yang rawan terkena bencana.

“Selain itu, hujan sekarang ini turun untuk jangka waktu yang pendek namun dengan debit air yang lebih tinggi. Untuk daerah dengan daya serap kecil seperti perkotaan yang trennya adalah pembetonan, peluang banjir jadi lebih tinggi,” jelasnya.

Untuk itu, Emil mengapresiasi diskusi panel Climate Resilient and Inclusive Cities (CRIC) Panel Discussion yang diadakan oleh United Cities and Local Government Asia Pacific (UCLG Aspac) dan didukung oleh Uni Eropa. Diskusi tersebut diharapkan dapatmenghasilkan solusi dan sumbangsih pemikiran terhadap isu yang ada, utamanya climate change.

“Saya juga berharap diskusi dengan pakar-pakar luar negeri ini bisa melihat dari berbagai macam perspektif. Termasuk dari kacamata kepala daerah atau politisi. Ini penting untuk menentukan kenapa secara akademis suatu gagasan itu bagus, tapi tidak bisa dijalankan,” pungkas Emil.

Lebih jauh, mantan Bupati Trenggalek itu menyarankan, gerakan penanganan climate change ini harus dimulai sejak dini. Itu artinya, intervensi sebaiknya dilakukan pada anak-anak usia sekolah.

“Salah satu yang bisa dipertimbangkan adalah kurikulum pendidikan yang ada di depan mata. Kaitannya bukan hanya bagaimana kita menyikapi climate change, tapi juga bagaimana kita bertahan atau mencegah,” imbuhnya.

“Jadi apa yang diajarkan di sekolah, diharapkan dapat berdampak ke rumah. Seperti mematikan listrik di ruangan yang sedang tidak dipakai, hal-hal sederhana semacam itu. Kalau 13,5 juta rumah di Jawa Timur punya pandangan yang sama, bayangkan dampaknya pada penghematan listrik,” tutup Emil.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal UCLG Aspac Bernadia Irawati Tjandradewi mengatakan, isu iklim ini merupakan isu yang sudah sangat mendesak. Di mana, Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap krisis iklim.

“Di setiap tempat, ada perubahan iklim yang kita rasakan. Mulai dari tingginya air laut dan curah hujan yang menyebabkan banjir. Bahkan, data dari BMKG tahun 2022 menyebutkan, bencana hidrometeorologi lain akibat perubahan iklim di Indonesia mencapai hampir lebih dari 95%,” ujarnya.

Dirinya menerangkan, perkotaan menyumbang hampir 2/3 polutan energi dunia yang menjadi sumber dari 70% emisi.

“Itulah mengapa, kota-kota di Indonesia dan seluruh dunia perlu melakukan aksi yang nyata,” tuturnya.
(red)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait