Catatan Akhir Tahun (1) :
Bulan Kemarahan
Sakit itu tidak serta-merta lawan dari sehat. Ada kalanya dalam keadaan sehat, makhluk ciptaan Tuhan menjelma menjadi sakit, atau berperan ganda: sakit sekaligus sehat, atau sehat tapi sakit. Tapi sakit, kata Shahibul Hikayah, itu anugerah Tuhan, meski kadang diminta atau dibuat agar menjadi sakit. Orang-orang sufi lebih menghendaki sakit agar lebih dekat kepada Tuhan, dari pada sehat tapi malah menjauhi-Nya. Dan, kata Pak Sakerah dalam sebuah jamuan tak resmi, orang yang menganggap Setya Novanto yang tiba-tiba membuat dirinya ‘sakit’ itu menghindari proses hukum korupsi: salah besar. Sebab, kata tokoh fenomenal Madura itu, ia membuat sakit untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan ini tidak bisa dibantah, toch suara hati tdak bisa diukur. Paling, menurut orang yang biasa meneliti, suara hati bisa ditelusuri dengan indikator. Indikator mendekatkan diri kepada Tuhannya; misalnya tidak suka bohong, mau mengakui kesalahannya, tidak mencuri, dan sederet perbuatan baik yang bermakna berserah diri kepada Tuhan. Maka, apa yang dilakukan Setya Novanto tidak salah, meskipun tidak serta-merta benar.
Tesis di atas sebenarnya pendapat Pak Sakerah, tokoh fenomenal Madura, yang tidak penting Anda baca. Jika sudah ‘kadung’ dibaca, itu tidak masalah. Toch akan menambah pengetahuan Anda tentang tokoh-tokoh yang membuat kisruh di belahan planet bumi ini.
“Jumat pekan lalu, muncul Hari Kemarahan,” Pak Sakerah memulai diskusinya. Dalam diskusi yang tidak boleh dikatakan resmi itu berderet tokoh partai politik, partai tapi tidak berpolitik, ormas, pengawas sekolah, pegawai kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), dan 2 rekan Pak Sakerah tentunya, Komat dan Kamit. Mereka antusias mengikuti dikusi itu. Mereka berkumpul dalam rangka merefleksi akhir tahun.
“Bukan Hari Kemarahan, Bang,” Komat meluruskan pendapat rekannya, “Tapi Bulan Kemarahan,” tambahnya sambil di bibirnya terukir seulas senyum.
“Lo?” mereka melongo.
Menurut Shohibul Hikayah, banyak tokoh marah dengan berbagai kejadian di planet ini. Beberapa waktu lalu misalnya, Pak Jokowidodo menyentil kementerian LHK. Kira-kira beliau berkata begini: “Anggaran penghijauan di Kementerian LHK semuanya habis, yang hijau mana?”—dan Bu Menteri tidak bisa jawab itu. Dan pertanyaan Presiden itu sebenarnya kalimat (tidak) marah, tapi lembut kedengarannya. Coba yang ditanya Pak Sakerah, maka jawabnya barangkali seperti ini, “Pak Presiden, kami tidak menanam tumbuhan hijau, tapi yang berdaun merah, ungu, atau kuning. Kami tidak menghijaukan hutan yang meranggas, tapi memerahkan hutan itu. Jadi, yang kami tanam pucuk merah, yang berdaun merah.”—jika ini jawaban yang diajukan kepada Pak Jokowidodo, pasti presiden kita ini tertawa-tawa. Dan dalam hati beliau akan berkata, “Dasar tidak becus kerja!”
Gurauan Pak Sakerah di atas jangan diambil hati, toch itu tidak penting. Bagi kita, yang penting, program pemerintah jalan, dan apa yang disentil Pak Jokowidodo menjadi pemicu agar kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk negeri ini. Meski sentilan itu berlanjut di UGM pada acara puncak Dies Natalis UGM, “Yang ditanam semilyar pohon, tapi yang tumbuh hanya 6 batang pohon,” kata Pak Jokowidodo sambil tersenyum. Terserah Anda memaaknai senyum Pak Jokowi, marah atau jengkel. Terserah Anda!
Beberapa pekan sebelum Pak Jokowidodo menyentil Kementerian LHK, tokoh-tokoh Golkar marah dan menggerutu, tapi tak jelas marahnya untuk siapa. Jika ditelisik, beliau-beliau yang berkomentar ‘miring’ di berbagai media itu, marah kepada orang-orang yang memilih Novanto sebagai Ketum Golkar. Kira-kira gerutunya begini: “Kok bisa-bisanya orang bermasalah dengan Papa minta Saham dipilih jadi Ketum. Apa tidak ada tokoh yang lebih baik di tubuh Parpol besar itu?”—tapi sekali lagi, ini tidak penting dipanjang-panjangkan. Toch itu hanya gerutu dalam hati, yang belum sempat diucapkan. Tapi sebenarnya, kemarin lalu itu, banyak tokoh marah karena tiang dan pakpao dianggap menjadi sebab Pak Setnov masuk rumah sakit. Tapi siapa yang bisa menuntut tiang listrik, yang sampai saat ini tetap berdiri tegak? Dan penjual pakpao terus menjajakan dagangannya seakan tanpa dosa dengan berucap, “Pakpao..pakpao anget-anget!”
Tesis soal Golkar rasanya tidak perlu dipanjang-panjangkan, toch pengganti Pak Setnov sudah diaklamasi. Dan Airlangga Hartarto, tokoh yang selama dianggap bersih di tubuh partai berlambang pohon beringin itu, terpilih sebagai Ketum.
Jauh sebelum itu semua, Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden RI dicerca habis-habisan karena hendak membuka jalur diplomatik dengan Israel, yang artinya membuka Kedubes Israel di Jakarta, Kedubes RI di Tel Aviv, dan kantor konsulat di berbagai kota besar di Indonesia dan Israel. Semuanya berontak, dan menganggap saraf Gus Dur ada yang tidak nyambung. Dan dianggap masuk di akal sehat jika kemudian Gus Dur dianggap ‘tokoh’ Zionis. Seorang kiai muda, cerita Pak Sakerah, bertanya maksud Gus Dur, dan beliau kira-kira menjawab, “Selama ini untuk meluruskan langkah Israel, kita hanya mengandalkan Amerika. Padahal kita butuh bicara langsung secara resmi dengan Presiden Israel. Kalau hanya dengan Amerika, apa keluh-kesah kita didengarkan? Makanya kita perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel.”
Dan ternyata, kata Shahibul Hikayah, Trump hanya terpingkal-pingkal ketika melihat orang di seantero dunia berdemo di depan Kedubes Amerika. “Bulan kemarahan,” ujar Trump dengan wajah belum cuci muka. endydahlan@ymail.com –20122017