Catatan Akhir Tahun (3) : ‘Kelahiran’

  • Whatsapp

Catatan Akhir Tahun (3) :

Kelahiran

Kemarin lalu, tiga hari sebelum hari ini, diperingati Hari Ibu: 22-12. Sebuah hari, yang orang-orang ramai mengucapkan sesuatu, merangkai kata-kata indah, dan puisi-puisi ‘asal jadi’, mencari padanan nash pada kitab-kitab fiqh, atau mencari sesuatu pada kitab-kitab suci, atau kitab-kitab klasik karangan ulama-ulama masyhur dan filsuf-filsuf ternama; yang kesemua itu ditujukan kepada kemulian ibu. Karena itu, hari ibu—yang oleh sebagian banyak orang dianggap hari berkata-kata, atau bernostalgia dengan orang yang melahirkannya ke muka bumi ini.

Saya tidak merayakannya, begitu Pak Sakerah berkisah tiga hari setelah orang ramai merayakannya. Menurutnya, peringatan hari yang berhubungan dengan sosok perempuan terlampau banyak. Bayangkan, ada hari perempuan yang jatuh pada 8 Maret, hari Kartini yang jatuh pada 21 April, hari ibu pada 22 Desember, Maulid Nabi Muhammad pada 12 Rabi’ul Awal, Maulid Nabi Isa pada 25 Desember, Natal Krsten Kokpit pada 7 Januari, dan bahkan sering terancang hari isteri, hari perkawinan, hari ‘malam pertama’, dan seterusnya yang semakin tidak menarik diikuti.

“Apa hubungannya Maulid Nabi Muhammad dan hari ibu?” Komat mencoba membuka dialog.

“Hari Maulid, dan Natal, adalah hari yang berhubungan langsung dengan ibu,” kata Pak Sakerah menjelaskan. “Maulid adalah kelahiran, begitu juga Natal. Hanya beda istilah. Maulid dipakai orang Islam, sementara Kristiani menggunakan istilah Natal. Keduanya, sama-sama kelahiran—yang biasanya mendapatkan ucapan ‘selamat’ itu yang melahirkan. Siti Khadijah, mestinya mendapatkan ucapan selamat dan aneka kata-kata indah, karena darinya lahir seorang laki-laki yang kelak menjadi kebanggaan dunia. Juga Bunda Maryam, atau menurut orang Kristen Bunda Maria, harusnya mendapat banyak pujian dengan kata-kata indah nan puitis, yang karenanya lahir sosok panutan umat Kristen,” Pak Sakerah menjelaskan agak panjang.

Tapi peringatan hari bagi ibu-ibu di udik itu, kata Shahibul Hikayah, tidak penting. Peringatan hari ibu, atau sejenisnya, hanya milik komunitas urban, atau sosialita, yang darinya materi sudah datang sendiri, tanpa dikejar sampai lelehan keringat membasahi tubuhnya. Bagi ibu-ibu di udik, jadwal makan besok siang tidak berubah, itu sudah rahmat Tuhan. Tidak usah berornamen-ornamen memeringati segala macam hari, yang darinya meski tidak diberi hadiah kata-kata indah nan puitis, tetap melahirkan anak generasi masa depan. Entah penting untuk negara, generasi yang dilahirkan itu, atau hanya pengisi dunia, atau pemenuhan kolam neraka, yang kelak dipermainkan hukum negara atau simbol keadilan untuk semua.

Jelasnya, kata Pak Sakerah di depan mahasiswa yang sedang melakukan serangkaian KKN, peringatan hari-hari yang dianggap berhistoris itu, adalah milik kalangan sosialita, atau laki-laki yang tak pernah melepas dasinya di siang hari. “Saya tidak penting mengucapkan itu. Toch ibu saya sudah wafat lebih seratus hari. Andaipun ibu masih ada, paling-paling yang mengucapkan selamat itu adalah paman-paman saya kepada ibu, ‘Selamat natal yang ke-51 untuk anak sulungmu. Sekarang jadi orang, sudah doktor, sudah berpenghasilan tetap meski tidak cukup dimakan sebulan, sudah bisa baca kitab klasik meski tidak alim, sudah menjadi motivator yang bisa memotivasi sahabat dekatnya.’—tapi ibu saya biasanya hanya tersenyum, tanpa kata-kata. Jika orang lain yang menyampaikan ucapan itu, biasanya ibu menutup ceramah orang lain dengan kata ‘Saya tidak tahu, apakah Tuhan meridloi pilihannya’. Jika didebat, ibu tidak jengkel, hanya ia berkata ‘Apakah anak saya bisa masuk syurga?’. Dan beliau tersenyum tipis, entah setuju dengan ucapan orang itu atau memang tidak suka.”

“Kemarin,” kata Kamit hendak melengkapi cerita Pak Sakerah, “saya menyampaikan ucapan selamat hari ibu kepada emak saya. Juga saya sampaikan, karena hari ini Natal, bersamaan dengan bulan Maulid Nabi: Selamat merayakan Natal Muhammad, dan Maulid Nabi Isa.”

“Lalu, bagaimana kata emakmu” mereka ingin tahu.

“Emakku hanya tersenyum,” kata Kamit. Lalu katanya, “Hutang rokok dan kopi di warung sebelah sudah kamu bayar? Kambing dan ayam sudah kamu beri makan? Apa ayam kampung yang kemarin piara milik tetangga sudah bertelur?”

“Apa hubungan pertanyaan emakmu dengan ucapan yang kamu berikan?” mereka semakin penasaran.

Maka, jelas tidak perlu dihubung-hubungkan ucapan dan pertanyaan, yang tidak serasi antara emak dan anak itu. Bagi perempuan udik, ucapan yang hanya ‘milik’ sosialita itu tidak penting didengar, apalagi ditanggapi. Jika ucapan itu berhubungan dengan ibadah, barangkali patut direnungkan: apakah itu boleh menurut fiqh, atau ada ikhtilaf ulama antara boleh dan tidak. Dan, jikalau terlalu jauh terlibat pada ornamen ibadah yang bersifat ‘ubudiyah, tentu menjurus pada kemurtadan, dan yang ini tentu tidak boleh.

Oleh karena itu, jika semua orang, semua tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh Parpol, atau negarawan memiliki pikiran seperti ibu-ibu udik itu, tentu gereja-gereja tidak perlu dijaga polisi dan tentara, apalagi Banser, yang dengan ketatnya menjaga keamanan dan ketenangan saudara-saudara Kristiani dalam menjalankan ibadah Natal, sore ini. Biarkan mereka menjalankan ibadahnya, meski ibu-ibu dari udik itu tidak sepaham dalam hati, sebab mereka berbeda haluan dan keyakinan. Biarkan tenang, damai di langit, dan di bumi.

Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com 25122017

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *