Catatan Akhir Tahun (4) :
Politik
Seorang kakek di udik yang hidup di 3 zaman, bertanya tentang arti ‘politik’ kepada salah seorang cucunya yang sarjana sospol. Sang cucu berpikir sejenak, mencari jawaban yang pas agar kakeknya bisa paham, dan tentunya tidak melanjutkan tanyanya. Tapi ia bingung, kakeknya bertanya definisi atau padanan kata. Sebab jika dijawab definisi, pasti pertanyaan lanjutan akan panjang, sepanjang benang layang-layang. Dan jika dijawab padanan kata, apa bisa pas dengan pemahaman yang akan diterima kakeknya. Wong politik itu, gumamnya, seperti lingkaran setan, yang tak ada ujungnya; dan hanya memenuhi kejengkelan pendengarnya. “Kamu tentu tahu,” desak si kakek tadi, “di bangku kiliah makna politik jadi makanan sehari-harimu.”
“Politik itu strategi dan taktik,” sang cucu berharap kakeknya tidak bertanya lagi. Tapi sang kakek ternyata melanjutkan tanyanya tentang arti demokrasi. Maka sang cucu hanya menjawab: “Kekuasaan.” Jika diperpanjang, kata sang kakek tadi: politik demokrasi itu bermakna strategi untuk mencapai kekuasaan. Sang cucu diam: tidak membenarkan atau menyalahkan. Sebab, praktek demokrasi di negeri ini tidak pernah dia pelajari di bangku kuliah. Ketika kuliah, mahasiswa hanya disuguhkan pemahaman normatif tentang demokrasi. Tidak pernah ada kajian ‘demokrasi’ yang sedang dipahami pemimpin negeri ini dari semua tingkatan. Tak pernah muncul kajian ilmiah tentang politik bagaimana mendulang suara rakyat—dirayu atau dikibuli; sebagaimana orang-orang pesantren yang enggan meneliti kebenaran ‘Shahih Buhari’ atau ‘Shahih Muslim’. Menurut orang-orang udik, pemimpin adalah konstelasi Tuhan yang tidak bisa dibantah, harus dipercaya sebagai takdir; sebagaimana ‘Shohih Buhari’ dan ‘Shohih Muslim’ yang pasal-pasalnya pasti dari Nabi, meski kitab hadits itu ditulis setelah 5 abad wafatnya Sang Nabi.
Cerita di atas, cuplikan dari kisah yang disampaikan Pak Sakerah dalam sebuah pertemuan Tim Sukses. Ia diundang salah satu tim untuk memberikan ceramah politik, meski ia sendiri bersikap netral dari dukung-mendukung calon pimpinan daerah tahun depan.
Sang Kakek, analisis Pak Sakerah, adalah seorang dari sekian juta orang udik yang berusaha memahami politik. Seorang tukang sayur, tidak bisa dijamin tahu konsukuensi dari pilihannya ketika di balik suara pada Pilkada nanti. Pilihan bagi mereka adalah kebersamaan, ketika seorang tokoh yang dipercaya mengarahkan pilihannya. Maka, suara rakyat adalah suara tokoh panutan. Jorgan Romawai Kuno bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, telah dipelintir oleh kepentingan aliran.
Anda mungkin harus berpikir sejenak mendengar ceramah politik Pak Sakerah, sebagaimana saya, kata Shahibul Hikayah, yang juga bingung, sebab tidak biasanya tokoh yang satu ini berbicara agak serius soal politik. Tokoh fenomenal Madura ini agak jengkel melihat keadaan politik di negeri ini. Negeri, yang katanya berbhineka, yang ternyata politik ‘aliran’ dipaksa-paksa disepakati, diikuti petuah para tokohnya, yang menyebabkan—mohon maaf—agama sering dianggap bengis, sebagaimana orang-orang Eropa yang menganggap Islam adalah ISIS.
Tahun ini, tahun yang dianggap planing politik, dan tahun depan sebagai kontestasi suara rakyat, tokoh-tokoh yang bersikutan menganggap rakyat semakin bodoh. Buktinya, mereka semakin kenceng membeli suara rakyat. Dan, tukang sayur di udik itu tidak tahu konsukuensi yang terjadi ketika pilihannya diputuskan di bilik suara. “Ini yang tidak akan Anda temukan di bangku kuliah,” kata Pak Sakerah kepada Tim Sukses tadi. “Maka saran saya kepada kalian sebagai Tim Sukses, berilah pemahaman politik kepada rakyat di udik sana. Pertunjukkan program Anda kepada mereka. Sebab, meskipun Anda kalah, Anda tetap sebagai Tim yang Sukses!” Mendengar ceramah itu, Komat dan Kamit, sahabat sejati Pak Sakerah, hanya senyum-senyum.
Semestinya, kata Shahibul Hikayah, orang yang berkompetisi di Pemilu nanti harus melewati serangkaian persyaratan, semisal guru GTT saja harus sarjana pendidikan, memiliki moral pendidik yang memadai, dan tetek bengek yang berhubungan dengan edukasi, meski honor mereka tidak jelas.
Oleh karena itu, kata Pak Sakerah, ia mengajukan sejumlah persyaratan menjadi pemimpin atau wakil rakyat di semua tingkatan, yang nantinya akan diajukan kepada Pak Jokowidodo: Satu, calon adalah terpelajar, terdidik, dan ilmuwan. Minimal sarjana, sebagaimana GTT TK saja yang harus sarjana pendidikan. Dua, beragama. Jika Islam misalnya, bisa membaca Alquran dengan baik dan tartil. Diutamakan hafal 30 juz. Menunaikan rukun Islam, kecuali ibadah haji karena masih ada daftar tunggu. Jika Kristen, biasa membaca Injil, dan diutamakan hafal naskah 2 perjanjian. Tiga, bermoral tinggi. Ini harus dilihat curriculum vitae, catatan kepala desa, kepala sekolah, kepolisian, tentang perjalanan hidup sang calon. Jika ditemukan kenakalan, meski masih kanak-kanak, maka calon tadi bisa digugurkan. Sayangnya, apakah kepala desa, kepala sekolah dan kepolisian mau jujur dengan keterangannya? Empat, kaya raya. Ukurannya, kekayaannya bisa memberi makan 1000 orang miskin dalam lima tahun. Maka, jika calon kaya raya, dalam kompetisi meraup suara rakyat tidak dikarenakan mau kaya ketika menjadi pemimpin atau wakil rakyat, sebab ia sudah kaya-raya lebih dulu, sebagaimana Trump, Presiden AS, yang sudah kaya ketika mencalonkan diri menjadi presiden.
“Syarat kelima, dan seterusnya,” kata Pak Sakerah, “kalian susun sendiri, sehingga kita memiliki pemimpin yang benar-benar sesuai harapan rakyat. Sebab, orang-orang udik sana berharap banyak, meski mereka tahu sedikit.”
“Lalu?”
“Itulah politik.”
Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com 26122017