Catatan Akhir Tahun (5) :
Memanggil Tuhan
Tiga anak kecil, di bawah pohon kesambi dekat sekolah mereka, bercakap. Seorang berkata, “Saya ingin memanggil Tuhan, sekalian bersama Musa, agar membawa Perjanjian Lama, dan duduk bersila di trotoar Aqsa,” katanya bersemangat. Anak kedua juga berkata, “Saya juga ingin memanggil Tuhan sekalian dengan Isa dalam bentuk manusia, agar membawa Perjanjian Baru, dan ikut bersila di trotoar Aqsa,” Tak kalah ide anak ketiga berkata, “Saya juga ingin memanggil Tuhan, sekalian dengan Muhammad dan membawa Alquran, dan duduk bersila di trotoar Aqsa,” katanya sambil tersenyum tipis.
Dialog di atas diamati seorang guru agama senior GTT yang tak pernah dapat janji jadi PNS atau ASN. Tidak apa, katanya getir, toch mereka berimajinasi; memanggil Tuhan tidak ribet: gratis. Tidak seperti nasibnya, juga teman-temannya yang masih GTT, ketika Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI, datang ke Sumenep, dia dan temannya yang senasib dan sepenanggungan, ikut membiayai perjalanan politik Zulkifli Hasan. GTT di Sumenep kala itu, tahun 2017, dikenai budget sebesar Rp25 ribu—entah siapa yang bersepakat dengan biaya itu. Tidak besar memang uang segitu, tapi bagi mereka yang berduit, bukan GTT. Wong dia mengajar sebulan belum tentu dapat honor, bahkan sering membiayai kegiatan pembelajaran siswanya. Tapi, uang yang terkumpul untuk ikut nyumbang biaya perjalanan Pak Ketua MPR itu, lumayan banyak. Bayangkan, berapa ribu GTT yang ada di Sumenep. Itu sih, keluhan kekecewaan GTT yang tidak penting dibahas—toch Zulkifli Hasan dalam rangka sosialisai empat pilar kebangsaan.. Maka, sekali lagi, memanggil Tuhan tidak ribet: gratis—kembali ia berkata getir.
Kisah di atas diceritakan kembali oleh Pak Sakerah ke tengah sidang tak resmi, membahas catatan akhir tahun, di pinggir pantai Panaongan, yang tanpa pagar atau penarik retribusi, tidak ribet, dan gratis.
“Bukankah yang dituhankan Musa, Isa dan Muhammad, satu: Allah? Sebaiknya,” kata anak pertama, sebagaimana dikisahkan Pak Sakerah, “kita panggil bersama-sama: Tuhan Allah, Musa, Isa dan Muhammad. Dan mereka dipersilakan duduk di trotoar Aqsa, membuka lembaran kitab suci yang dibawa mereka masing-masing. Jika ada yang salah, biar Tuhan yang langsung mengoreksi.”
“Apa kepentinganmu memanggil Tuhan untuk duduk bersila di Aqsa?” anak kedua bertanya.
“Membahas Yerusalem: milik siapa sebenarnya negeri Aqsa yang diklaim Donald Trump itu? Adakah ayat-ayat dan pasal dalam kitab-kitab suci yang menjelaskan kepemilikan Yerussalem?” jelasnya dengan nada tenang. “Sedangkan kamu berkepentingan apa dengan Tuhan?” tanyanya menyodok pada temannya yang lain.
“Aku memanggil Tuhan dan Muhammad, agar jelas padaku: apakah Tuhan dan agamanya perlu dibela? Sebab, ada yang mengatasnamakan Kelompok Pembela Islam yang dikenal ‘garang’ membela Islam. Bahkan ada kelompok yang sering mengkafirkan pihak lain yang tidak sependapat dengannya. Sedangkan kepentinganmu dengan Tuhan apa?” tanyanya kepada anak ketiga.
“Saya ingin tahu jawaban Tuhan: apakah keadilan dan menyejahterakan umat hanya wewenang Tuhan? Sebab ada Partai Keadilan dan Sejahtera. Adakah Tuhan berkenan kepada makhluk-Nya mengidamkan sesuatu selain-Nya? Sebab ada Partai Idaman yang tak lolos ikut Pemilu 2019. Apakah sifat amanah hanya milik Muhammad? Sebab ada Partai Amanat Nasional. Apakah hari kebangkitan itu mengakhiri dunia fana ini? Sebab ada Partai Kebangkitan Bangsa,” katanya berapi-api. “Saya ingin tahu, Tuhan menjawab apa di trotoar Aqsa.”
Dialog itu, kata Shahibul Hikayah, sebangun meski tidak sama dengan apa yang disampaikan Taufik Ismail dalam Karangan Bunga : Tiga anak kecil, dalam langkah malu-malu pada sore hari mendatangi Selemba, tempat demonstrans Arief Rahman Hakim ditembak mati. Mereka meletakkan karangan bunga, karena ikut berduka. Dan, sebenarnya, mereka ingin mengeluh kepada Tuhan: “Tuhan, mengapa Engkau mengakhiri hidup Kak Arief Rachman Hakim? Mengapa peluru sang penembak jitu itu tidak berbalik arah kepadanya?”—tapi mohon maaf, ternyata Tuhan tidak melayani pertanyaan mereka, sebab sejarah memang diukir seperti itu.
Maka, kata Pak Sakerah kepada audiennya, biarkan mereka berimajinasi, sebab mereka baru saja membaca buku IPS BSE yang mengklaim Yerussalem sebagai ibukota Israel. Biarkan mereka berimajinasi berdialog dengan Tuhan, sebab keadilan dan kesejahteraan memang harus diperjuangkan, tidak sekedar diwakilkan oleh Parpol. Biarkan mereka berimajinasi, sebab Tuhan tidak perlu dibela—dan tingkah laku pemeluknya telah mencerminkan sebuah potret pembelaan, atau penolakan. Biarkan mereka berdialog dengan Tuhan, sebab sosok yang amanah tidak bisa diwakili Parpol, dan itu hanya milik nabi. Biarkan mereka mengeluh kepada Tuhan, sebab hari kebangkitan adalah rahasia Tuhan, yang tidak bisa diwakili Parpol. Biarkan mereka mengidamkan Tuhan dengan segala keputusan-Nya, sebab Parpol yang tidak lolos ‘uji’ itu tidak bisa mengatasnamakan Tuhan.
“Bagaimana kalau kita, orang-orang dewasa saja, yang memanggil Tuhan?” Komat mengajukan usul. “Kita keluhkan semua kenistaan di muka bumi ini. Tuhan kita hadirkan di atas trotor Aqsa, dan kita bersila menghadap-Nya, lalu berdialog!”
“Tidak perlu di Aqsa,” kata Pak Sakerah tenang. “Panggil saja Tuhan di rumah kita masing-masing; dan mengeluhlah!”
Em Saidi Dahlan — enydahlan@ymail.com 27122017