Catatan Akhir Tahun (6) : ‘Boikot’

  • Whatsapp

Catatan Akhir Tahun (6) :

Boikot

Mungkin masih segar di ingatan kita, seorang Zaskia Gotik, penyanyi ‘bebek nungging’, yang kepleset lidah melambangkan salah satu sila dari Pancasila sebagai bebek nungging. Kepleset atau memang di-plesetkan, itu masih belum jelas. Sebab, belum pernah digelar penadilan untuk ‘bebek nungging’. Ramai di media, dan malah ada sekelompok orang yang hendak memboikot penyanyi ‘genit’ itu agar dilarang manggung, distop kariernya sebagai artis, dst. Tapi dasar orang bejo, Zaskia malah ‘diangkat’ menjadi Duta Pancasila, yang mengampanyekan Pancasila ke seantero Nusantara dengan alasan: ia sudah hafal Pancasila.

Kisah yang hampir sebangun, seorang anak perwira polisi menempar seorang Polwan karena berani-beraninya si Polwan men-tilang anak perwira tadi karena dianggap melanggar lalin. Si Polwan tidak tahu, ia anak seorang perwira Polisi yang dengan dalih apapun bisa mencopot karier pe-tilang sebagai polisi. Kedapatan narkoba di mobilnya? Oke. Tapi sekian bulan setelah peristiwa itu, anak perempuan perwira itu diangkat sebagai Duta Narkoba. Ramai di media siar dan medsos, tapi siapa peduli?

Jauh sebelum itu, di awal tahun 2015, cicak-buaya ber-‘sengkulat’ kembali, setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Negeri ini terombang-ambing oleh ketidakpastian hukum; iya. Budi Gunawan yang lolos uji kelayakan sebagai calon Kapolri diusik kemulusannya ke jenjang Kapolri. Budi Gunawan tak kalah akal. Ia membawahi institusi yang jauh lebih besar dari pada KPK—ibarat cicak-buaya: sebangun dan serupa tapi tidak sebanding. Dan hebatnya, Budi Gunawan menang dalam praperadilan. Ia lolos dari tuntutan KPK. Budi tidak bisa diadili dengan tuduhan apapun, termasuk tuduhan korupsi. Sebab, dalam hal ini, KPK ‘salah’ dalam hukum acara. Maka, tidak sedikit komunitas yang mencintai hukum mempertanyakan: “Salah pada penetapan sebagai tersangka, tapi bukankah kasus ‘inti’ dari persoalan belum diapa-apakan?” Dan saya harap, kata Shahibul Hikayah, Anda tidak perlu memperpanjang kasus ini, toch semuanya sudah ‘dianggap’ selesai.

Di zaman Bung Karno, ‘sengkulat’ cicak-buaya ditunjukkan sang Proklamator kepada Presiden Amerika John F. Kennedy. Bung Karno punya tahanan Alan Pope, tentara bayaran CIA (AS) untuk membantu Permesta/PRRI, dan hendak dibarter dengan bantuan Kennedy, agar ikut menyelesaikan persoalan Irian Barat. Jika peristiwa itu terjadi tahun ini, cicak-buaya benar-benar bersengkulat kembali. Amerika sebuah negara, dan Indonesia juga. Sama-sama negara demokrasi dengan bentuk republik. Bedanya, Amerika negara kaya, dan Indonesia negara yang masih ngutang sana-sini. Jangan khawatir, nama Bung Karno saat itu jauh melampaui luas wilayah Indonesia, sebagaimana Lee Kuan Yew di Singapura di abad 20.

Kasus Malari 1974 adalah bentuk boikot demonstran pada produk Jepang, Jakarta saat itu diselimuti asap mengepul dari hasil pembakaran produk Jepang. Bangkai produk Jepang berupa ratusan buah mobil dan motor, dan beragam elektronik menjadi pemandangan yang melelahkan mata di Jakarta. Jika Anda mempertanyakan lebih jauh dari kasus itu; siapa yang rugi? Jepang-kah? Dan ini berbeda dengan boikot yang dilakukan Bung Karno terhadap Amerika, dengan membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pengganti Olimpiade. Dan boikot berhasil, Amerika membantu menyelesaikan Irian Barat, dengan cara ‘menggertak’ Belanda, bahwa Indonesia akan terus berperang jika Irian Barat tidak diserahkan. Tapi boikot terhadap produk Jepang yang sudah diuangkan oleh saudara kita, tidak mendapatkan ganti apapun dari negeri sakura itu.

Beberapa pekan lalu, setelah Donald Trump mengisyaratkan Yerussalem sebagai ibukota Israel, viral di medsos dan ramai di media cetak-siar, Indonesia diharapkan memboikot produk Amerika, lebih-lebih Israel. Wapres Jusuf Kalla sempat menanggapi, apakah kita siap untuk tidak menggunakan produk Amerika? Perlu diingat, geogle atau microsoft saja buatan Amerika. Dunia maya kita sebenarnya telah dikuasai oleh orang luar. “Sayangnya, kita tidak bisa melihat sms yang beterbangan di atas kepala kita,” kata Pak Sakerah membanyol, “padahal, ketika orang hendak memboikot produk Amerika, mereka malah tertawa-tawa yang ditulis dalam sms yang terbang kesana-kemari, di atas kepala kita.”

Pekan ini, atau dua pekan sebelum ini, FPI khabarnya akan mempromosikan pengganti aplikasi facebook, WhatsApp, dan geogle. Jika itu benar, maka ada satu kemajuan anak bangsa, meski itu masih bersifat meniru, tidak grees dan aktual sebagai aplikasi penemuan anak negeri. Ini sebuah langkah yang perlu diacungi jempol. “Tapi saya harap,” kata Pak Sakerah kepada rekan sedaring-nya, “jangan buru-buru memboikot tiga aplikasi yang lagi boming itu. Jangan-jangan, malah sebaliknya, aplikasi yang dianggap gress produk anak negeri, hanya mengganti tut-tut perintah dari bahasa Inggris menjadi bahasa Indonesia, atau malah bahasa Madura. Padahal laman dan ruang aplikasi itu masih milik aplikasi lama: facebook, WhatsApp, dan geogle.”

“Jangan buru-buru memboikot produk apapun,” kata Komat menimpali. “Sebab kita tidak bisa hidup individualis; kita butuh pihak lain dan bersosialisasi, meskipun negeri ini bukan negeri sosialis.”

“Setuju Kang,” kata Kamit sambil mengangkat jempol kanannya. “Meskipun kita petani kapas, tapi kita tidak bisa serta-merta memakai baju sendiri. Sebab, kita masih butuh tukang tenun untuk memental benang, dan tukang potong untuk membuat baju.”

Maka, kata Shahibul Hikayah, Indonesia adalah negeri yang nyata dan kaya, tapi ia memendam seribu-satu cerita, sebagaimana negeri seribu-satu malam yang di dalamnya hidup seorang tokoh jenaka Abunawas dan Raja al-Harun al-Rasyid. Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com – 28122017

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *