Catatan Akhir Tahun (7) : ‘Nasionalism’

  • Whatsapp

Catatan Akhir Tahun (7) :

Nasionalism

Saya takjub, sekira 30 tahun lalu, seorang kiai kampung yang alim nan sarungan, berkisah: Ia yang yatim piatu, di zaman penjajahan dulu, hidup dan diasuh oleh Kiai Abdul Azis yang masih kerabatnya, seorang alim dan tokoh Desa Bira Tengah, Sokabanah, Kabupaten Sampang. Desa itu dikenal sebagai basis ‘Sabil’ yang paling ditakuti tentara Belanda di bagian utara Madura. Ia masih remaja. Perannya, kala itu, sebagaimana orang-orang dewasa pada situasi sabil; mengangkut bambu-bambu runcing, dan senjata-senjata tajam terbuat dari besi dan baja, membantu dapur-dapur umum untuk para pejuang, dan mengirim surat-surat rahasia dari Kiai Abdul Azis kepada tokoh-tokoh lain di sekitar Sampang. Ia juga sebagai tiliksandi meskipun tidak banyak tahu rahasia perjuangan. Dalam catatan singkat, ia ikut melakukan perlawanan terhadap penjajah. Situasinya, untuk Indonesia merdeka, sampai Jepang datang, dan Bira masih sebagai basis sabil.

Di akhir kisah, saya baru meneteskan air mata. Tapi tidak lagi takjub, sebab ini jauh melampaui batas luar biasa. Ketika Pemerintah Orde Baru giat-giatnya mendata veteran perang, Desa Bira menjadi sasarannya. Pemerintah merasa perlu memberi tanda jasa berupa pensiun bulanan veteran kepada anggota sabil. Dan, Kiai Abdul Azis yang kelak sebagai kepala desa seumur hidup berpesan kepada rakyatnya, “Rakyatku, siapa pun kalian, haram hukumnya menerima pensiun veteran. Pahala sabil kalian terhapus karena uang pensiun.” Rakyat Bira tunduk, dan menolak didata oleh petugas Kodim Sampang untuk mendapatkan gaji pensiun veteran. Sekali lagi, saya meneteskan air mata. tapi tidak lagi takjub, sebab ini melampaui batas luar biasa. Dan, kiai alim nan sarungan yang berkisah itu adalah Kiai Ahmad Dahlan.

Kisah di atas disampaikan kembali oleh Pak Sakerah di forum ‘resmi’ di sebuah pesantren bertajuk “Nasionalisme dalam Pesantren’. Ia, tokoh fenomenal yang dianggap bisa berjenaka dan membuat orang terpingkal karena sindirannya. Maka, kali ini ‘dianggap’ sebagai nara sumber, meski kadang sumber informasinya tidak terlalu kuat.

Di lain kisah, Bung Karno harus dipenjara karena perlawanannya terhadap Belanda. Lahir “Indonesia Menggugat”—pembelaan yang dibacakan di depan persidangan di landraad, Bandung pada tahun 1930. Soekarno bersama tiga rekannya, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan Hindia Belanda. Sebuah keniscayaan, sebab ia dengan rekan-rekannya sedang menuntut haknya sebagai pemilik negeri ini. Tapi Bung Karno tidak melarikan diri, bersembunyi, atau apapun bentuknya, meski kemudian ia harus dipenjara, yang berpindah-pindah. Ia, bersama rekannya, menghadapi konsukuensi dari perjuangannya.

Sebagaimana Bung Karno, Buya Hamka dijebloskan ke penjara di zaman Orde Lama. Mestinya, jika mau, Buya Hamka bisa dengan mudah menghindari ancaman Pemerintah Orla, bersembunyi di Mekah, atau negeri lain, agar bebas dari intaian pemerintah, atau agar tidak masuk penjara. Ini tidak dilakukan Hamka, sebab baginya Indonesia adalah tanah airnya. Kisahnya, seperti Bung Karno dengan Hindia Belanda, dan menjadi menarik karena kali ini Buya Hamka dengan Bung Karno. Dan dengan jiwa besar, jika memang bersalah ia harus menerima hukuman, meskipun ia benar-benar dipenjara meski tidak bersalah. Buya Hamka menunjukkan kepada dunia internasional sebagai sosok yang bernasionalisme; menghadapi konsukuensi hidup di negeri yang carut-marut, dan tidak mau meninggalkan tanah airnya hanya untuk menghindari hukum.

Kiai Hasyim Asy’ari, deklarator NU, bersejajar sempurna dengan Bung Karno. Tangan Kiai Hasyim Asy’ari harus berdarah-darah karena menentang Saekeire ketika ia dipenjara. Jepang. Ia berani menolak Saekeire karena hal itu dianggap jalan menuju murtad. Dan cintanya kepada tanah air, meski harus menerima hukuman sebagai konsukuensi dari penentangannya terhadap penjajah, ia hadapi. Sebuah sikap nasionalisme, yang jika mau bisa saja Kiai Hasyim bersembunyi di Mekah, atau di pesantren lain, agar tidak serta-merta menerima kekerasan Jepang, ditunjukkan kepada dunia. Ia sosok yang bertanggung jawab, dan sikap nasionalisme adalah bagian dari iman. Berkali-kali mendapat siksaan karena dianggap mau menggulingkan Hindia Belanda, dan juga Jepang—tapi ia tetap merasa Indonesia sebagai tanah airnya.

Sosok lain yang bisa disejajarkan kecintaannya terhadap negeri ini adalah Andi Mappetahang (A.M.) Fatwa—bangsawan Bone. Ia menentang tiran, meskipun kemudian harus masuk penjara. Kritik pedasnya terhadap tiran dianggap membahayakan, tapi A.M. Fatwa tidak mau bersembunyi dari ancaman hukuman penguasa. Ia dipenjara oleh pemerintah yang dianggap tiran. Dalam bentuk lain, perlawanan terhadap sistem dilakukan Gus Dur, yang berani mengritik Suharto, yang kala itu sangat sensitif, di Australia. Gus Dur, sehabis mengritik Pemerintah, berani pulang ke tanah air, padahal dunia internasional menyiarkan kritiknya. Dan tokoh lain seperti Amien Rais harus petak-umpet dengan ‘antek-antek’ penguasa ketika ia gencar mengibarkan bendera reformasi. Tokoh-tokoh itu tetap di tanah air, dan mereka siap dengan segala konsuensi dari perjuangannya: dipenjara, disiksa atau dibunuh.

“Maka,” kata Pak Sakerah menutup ceramahnya, “ayo kita bangun Indonesia dengan perjuangan, dan kita hadapi sederet konsukuensinya. Berjuang, artinya tetap mencintai tanah airnya, sebagai bentuk sikap nasionalisme. Dalam kesempatan ini, saya ajak Habieb Riziq untuk pulang ke tanah air. Tidak perlu bersembunyi, dan tokoh-tokoh di atas perlu diteladani. Hadapi hukum di negeri ini, karena ini konsensus dari terbentuknya NKRI. Sampean harus bertanggung jawab terhadap konsukuensi hukum di tanah air. Pulanglah, jadilah tokoh yang sejati. Jangan takut!”

“Lo, belum pulang ta Kang?” Komat tersentak, tapi tidak takjub.

“Masih sembunyi di Mekah ta?” Kamit sangat penasaran.

Pak Sakerah hanya tersenyum tipis. Kali ini, ia tidak menitikkan air mata karena sama sekali tidak takjub.

Em Saidi Dahlan — endydahlan@ymail.com 29122017

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *