Catatan Akhir Tahun (8) :
Nelayan
Sebuah paradoks historia nelayan; tulis seorang doktor yang menyusun disertasinya tentang nelayan tahun 2013, ikan yang melimpah ruah, dan tanpa tiket untuk mengambilnya, tanpa harus izin kepada malaikat yang menjaga lautan, atau tidak harus takut pada dedemit yang bermukim di laut lepas, tidak dibatasi waktu dan jarak untuk mendulangnya; tidak diikuti oleh kesejahteraan nelayan. Nelayan tetap miskin, kumuh, dan tak terpelajar. Dan tidak pernah lepas dari titelnya: ‘kemiskinan yang abadi’. Pada sesi selfie sehabis ujian terbuka, sang doktor mendapat pujian dari semua guru besar yang mengujinya. Sebuah persetujuan, bahwa paradoks historia nelayan memang tidak terbantahkan.
Tidak sedikit nelayan yang tidak kenal Bu Susi, sang menteri yang mengurus ikan dan lautan, sebagaimana petani cabe keriting yang tak kenal Menteri Pertanian, atau si abang becak yang tak kenal Menteri Perhubungan, dan pedagang lontong balap keliling yang juga tak kenal Menteri Perdagangan. Mereka tidak pegang HP layar sentuh yang bisa intenetan, hanya HP netnot untuk komunikasi dengan darat tentang suasana laut. Jadi, mereka tidak tahu Youtube yang menampilkan Bu Menteri menenggelamkan belasan kapal. Ketika di darat, saat mereka tidak melaut, para nelayan itu menonton tivi yang menyiarkan drama kolosal dan keluarga. Bukan berita tentang Bu Menteri yang mengampanyekan ‘masyarakat gemar makan ikan’. Mereka hanya tertarik pada tayangan orang bisa terbang, atau cerita orang kaya yang berdasi, bermobil mercy dengan tampang yang menawan. Mereka hanya bermimpi: paradoks historia tentang mereka tetap istiqomah.
Bu Susi berhasil mengamankan kekayaan laut, itu kata pengamat. Padahal kata si Komat, nelayan yang sampai di wilayah NKRI itu tidak mencuri. Tapi hanya mengejar ikan dari lautnya yang masuk wilayah Indonesia. Itu sama, sebagaimana nelayan kita yang mengejar ikan sampai ke Malaysia. Gus Dur pernah berseloroh, orang Malaysia tidak bisa menuntut kita karena udara yang tercemar oleh hutan yang terbakar. Sebab, katanya, mereka tidak pernah berterima kasih ketika menghirup udara segar dari hutan kita ketika masih hijau. Sebangun, semestinya, kata Pak Sakerah, Bu Susi tidak perlu memikirkan nelayan asing dan menenggelamkan kapalnya. Jika mereka mengejar ikan dari laut miliknya, “Mengapa harus disalahkan?”—sebuah anekdot yang tak penting didiskusikan.
Sang doktor merekomendasikan kemiskinan struktural nelayan, di antaranya kepada instansi di daerah yang mengurus laut dan perikanan. Masyarakat nelayan perlu diurus keberadaannya, atau didengar keluhannya. Tapi yang terjadi, ketika disertasi itu disusun, masyarakat nelayan tidak pernah kenal apa itu Dinas Perikanan dan Kelautan. Mereka tidak pernah melihat orang-orang bersepatu dan celana necis datang ke pesisir, sekedar berdiskusi atau berbincang dengan nelayan. Yang mereka kenal hanya bakul, tengkulak atau pengepul, dan petugas kredit candak-kulak yang menagih cicilan model lintah darat. Birokrat perikanan tidak pernah tahu tentang nelayan kita: melarat atau sekarat. Mereka tidak paham, hutang di pundi-pundi ingatan nelayan terus bertambah, dan bunganya terus menumbuhkan bunga-bunga baru.
Mestinya, kata Pak Sakerah mengutip disertasi itu, Kepala Daerah yang mempunyai wilayah pesisir dan masyarakat nelayan menelisik, di mana PNS yang mengurus laut dan ikan itu ngabsen; dan berapa kali kepala dinas itu datang ke pantai. Ataukah mereka membuat miniatur laut di kantor dinasnya? Lalu, mereka berlama-lama duduk menghadap miniatur itu sambil berenung: kapan gaji ke-13 dan THR keluar. Pertanyaan lain, dari mana sumber statistik perikanan disusun dinas itu. Sejauh ini, hampir di seluruh Indonesia, statistik perikanan yang disusun Dinas Kelautan dan Perikanan menampilkan angka-angka kuantitatif yang menarik, dan simpulannya: pendapatan nelayan meningkat. Meski kenyataannya, nelayan seperti petani cabe keriting, yang harganya dipermainkan tengkulak, dan kadang tidak nyucuk dengan biaya petik.
Pak Sakerah dan kerabatnya tidak ambil pusing, sebab mereka bukan nelayan tulen. Hanya saja, ia bisa menjawab semua pertanyaan sang doktor itu: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan datang ke pesisir pada hari Sabtu dan Minggu; tujuannya mengantar isterinya entah yang keberapa untuk membeli ikan; tidak pernah berdiskusi dengan nelayan kecuali hanya menawar ikan yang hendak dibelinya; kadang tidak tahu nama pesisir yang didatanginya; statistik perikanan disusun oleh operator yang bukan PNS dengan honor cukup untuk membeli tiga bungkus rokok; absen anak buahnya cukup satu kali sebab sekali absen langsung 24 kali; penyuluhan dilakukan oleh petugas KB di pesisir dengan menayangkan film 2 anak cukup; nelayan tidak tahu bahwa ada dinas yang mengurus nasibnya; setiap agustusan nelayan dimintai sumbangan untuk merayakan HUT Kemerdekaan; nelayan harus pandai-pandai melihat bintang untuk tahu cuaca di tengah laut; dan seterusnya, yang kesemua itu hampir merata di Indonesia.
Jadi, paradoks historia nelayan adalah sebuah keniscayaan yang dimaknai “miskin adalah takdir Tuhan” yang tidak bisa diubah. Berbeda dengan nelayan di Korea Selatan, yang datang ke pantai dengan bercelana dan baju necis, juga mengenakan sepatu. Pekerjaan nelayan Korea, adalah pekerjaan terhormat yang menghidupi isteri dan putu; dan bank saling berebut untuk memberi bantuan. Anak dan cucunya semua kuliah, dan berpendidikan tinggi. Di Indonesia, nelayan beraktifitas menantang badai, melawan terik matahari, dengan sarung yang digulung sebesar paha, yang ketika di darat dihadang petugas kredit candak-kulak karena sudah tiga bulan belum nyicil. Hebatnya, mereka tidak menangis, sebab ini adalah takdir Tuhan.
“Lalu, enaknya dinas perikanan dibagaimanakan, Bang?” Kamit bertanya.
“Selama ini sepertinya tidak ada mamfaatnya, buang-buang anggaran. Bahkan termasuk Kementerian yang mengurus laut. Enaknya bagaimana ya, Bang?” Komat ikut mendesak.
“Dihapus!” tegas sekali Pak Sakerah berkata. Matanya nanar, senanar pantulan terik matahari yang menerpa punggung nelayan yang berkeringat dan legam.
Em Saidi Dahlan – endydahlan@ymail.com 30122017