Ahmad Dhani; Menghina atau Terhina (?)
Artis, sekaligus, calon wabup Bekasi, Ahmad Dhani, tersandung kasus ‘penghinaan’ terhadap simbol negara. Beberapa kelompok masyarakat, atau organisasi, mulai melaporkan Ahmad Dhani. Mereka, mungkin, tidak terima, atau (mungkin) bisa juga sebagian dari sensasi politik. Itu sah-sah saja sebagai warga megara. Bisa dipahami, siapa pun orangnya, dan dari mana pun kewarganegaraannya, tentu tidak terima jika kepala negaranya, atau rajanya, dihina, atau diolok-olok. Kepala negara, dalam hal ini, Presiden merupakan refleksi dari warga negara seluruhnya dalam suatu negara. Dan ia sebagai simbol kedaulatan sebuah negara.
Anda jangan terkejut dulu, sebab kata penghinaan itu harus diterjemahkan ke dalam definisi hukum, atau definisi ‘ilmu alat’—yang dalam bahasa Arab sebagai media untuk memahami sesuatu hal dari konteksnya. Artinya, kata ‘hina’ itu bisa tidak hina, atau memang terhina. Dalam hal ini, kata ‘hina’ menjadi ambigu ketika dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Dan ia akan melahirkan banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Baik dari sisi hukum, mau pun dari teori guyonan atau dagelan.
Apa yang dilakukan Ahmad Dhani pada demo 4 Nopember kemarin lalu itu, ditengarai sebuah penghinaan terhadap simbol negara, yang dalam hal ini Presiden. Ditengarai, ia berkata kotor terhadap Presiden, yang kala itu Dhani tidak sedang berhadapan langsung dengan Jokowidodo. “Ini Broo, yang perlu kita angkat sebagai bahan diskusi,” Komat berujar kepada rekan-rekannya di sebuah gardu di sudut kampung mereka.
Pak Sakerah terkekeh, “Matdhani kok didengerin.” Matdhani yang dimaksud di sini adalah Ahmad Dhani, sebagaimana orang Madura menyingkat nama seseorang. Sakerah paham betul, artis-penyanyi, atau orang-orang yang bekerja dalam dunia seni, atau penggiat seni, (seringkali) benar-benar menghargai kemerdekaan kata. Setiap kata memiliki makna, yang kalau dideret, sampai ratusan bahkan ribuan makna dan tujuan, bahkan definisi. Sutarji CB sudah lama membebaskan kata-katanya dalam puisi, sehingga menjadi kredo. Maka seorang pekerja seni tidak lagi terkoptasi pada kata yang diselubung makna denotatif dan konotatif, tapi lebih dari itu, memiliki maknanya sendiri. Oleh karenanya, kata Pak Sakerah, Tuhan Allah hanya memulai pengislaman dunia itu dengan kata iqra’—bacalah. “Persoalannya sekarang, apakah Matdhani sedang menggelar seni ya?” tanyanya yang diajukan kepada para sahabatnya.
Maka, dari sidang tak resmi di sebuah gardu kampung itu, muncul berbagai pertanyaan dari sebuah kosa kata ‘hina’ atau ‘penghinaan;’ atau ‘menghina’ simbol negara. “Kalau Matdhani dianggap menghina,” kata Kamit, karib Pak Sakerah, “Maka harus ditanya siapa yang dihina.”
“Jelas, itu Presiden, Broo!” Komat menyahut. “Itu kok ditanya. Matdhani itu dianggap menghina presiden,” sambungnya.
“Pertanyaan berikutnya,” kata Kamit lagi tanpa mempedulikan karibnya, “Apakah Presiden itu terhina?”
Sebuah pertanyaan cerdas untuk mengungkap definisi kosakata ‘hina’. Tentu, kosakata ‘hina’ akan berbeda definisinya pada setiap orang jika masih dipanjangkan pada objek yang dihina: apakah terhina atau tidak.
“Jika aku mengatakan kamu jelek karena tidak suka mandi, apakah kamu terhina?” tanya Kamit yang diajukan kepada rekannya, si Komat. Tentu saja Komat tidak segera menjawab, meski dalam hati ia merasakan wajahnya memang benar-benar jelek dan faktanya memang tidak suka mandi. “Dan apakah aku dianggap menghina?”
“Bisa iya, bisa juga tidak,” jawab Komat.
“Artinya, makna hina itu ambigu ya lek?” Pak Sakerah menengahi.
“Bukan hanya ambigu, Bang,” kata Kamit. “Faktanya saudara kita ini apa memang ganteng? Faktanya juga ia tidak suka mandi ‘kan?”
Mereka lalu tertawa lepas.
“Sekarang aku nanya,” kata Komat, “Jika di sebuah perjamuan aku berkata: ‘Kamu bertubuh kurus kering kerontang seperti kurang gizi.’ Apakah kamu terhina?” tanyanya kepada Kamit.
Kamit diam beberapa saat. Lalu katanya, “Itu kalimat yanfg menghina. Sayangnya, aku dikuat-kuatkan untuk tidak terhina.”
Mereka tertawa lepas.
“Itu sih kalimat yang tidak ekstrem. Biasa saja. Tapi kalau mengatakan, kamu anjing, kamu babi, dan kamu kayak celeng. Apakah kamu tidak terhina?” kali ini Komat yang bertanya.
“Jawabnya sama.”
“Maksudmu?”
“Bisa iya, bisa tidak. Ambigu!”
Maka, kata Pak Sakerah, di sini perlunya membicarakan beberapa masalah. Pertama, definisi kosakata ‘hina-menghina’ dalam hukum positif kita harus jelas. Jika memungkinkan bisa diperjelas, maka kata ‘hina-menghina’ seharusnya tidak mengundang penafsiran, yang setiap orang, setiap elemen masyarakat, dan setiap penguasa memiliki tafsir yang berbeda. Jika kosakata itu tetap liar mengundang berbagai makna, maka penguasa akan lebih mudah menggunakan kekuasaannya untuk menjerat pihak lain, yang tidak disuka dengan komentar atau kosakata yang sederhana ityu.
Kedua, jika terdapat penafsiran yang berbeda, maka perlu mendatangkan saksi ahli. Dalam urusan kosakata ‘hina-menghina’, rasanya perlu didatangkan ahli bahasa untuk mengetahui sejauhmana dan dalam kondisi apa kosakata ‘hina-menghina’ itu memiliki makna meremehkan, menjelekkan, atau misuni pihak lain. Juga perlu psikolog untuk memeriksa kejiwaan seseorang apakah terhina atau tidak, dan bagaimana psikhisnya, pada saat tertentu ketika ia ‘dihina’ atau ‘terhina’. Sebab bisa mungkin, dalam psikhis yang tidak stabil, mendengar kata yang tidak ia suka dianggap menghina.
“Perlu juga didatangkan Badan Meteorologi dan Geofisika, Bang,” Komat menyela.
“Lo, kok?” Kamit heran.
“Untuk mengetahui cuaca pada hari penghinaan itu terjadi. Apakah cuaca itu memengaruhi kejiwaan seseorang, ataukah tidak. Iya kan, Bang?” jelas Kamit.
“Tentunya perlu juga mendatangkan ahli perbintangan,” Kamit juga mengusulkan. Tentu saja, Komat bertambah heran. “Perbintangan yang tahu, jika ia berbintang cancer hubungannya dengan bulan taurus misalnya, bagaimana nasibnya, rejekinya, dan asmaranya…”
“Dan ketika cancer ketemu scorpion, apakah sensitif terhadap orang lain? Artinya, apakah ia mudah terhina, gitu?” Komat menyambung.
Mereka tertawa. Tentu, kata Pak Sakerah jika diperdebatkan, kata tersebut tidak akan ada habisnya, dan akan melahirkan banyak arti. Maka, menurut tokoh yang satu ini, Pak Jokowidodo perlu belajar dari pemimpin sebelumnya. Gus Dur misalnya, ketika menjadi presiden pernah dihina karena tunanetranya oleh seorang pelawak di televisi. Organisasi pemuda yang membekengi Gus Dur mau berdemo, dan akan melaporkan kasus tersebut, sebab dianggap penghinaan terhadap simbol negara. Tapi kata Gus Dur, “Sudahlah, ndak apa-apa. Jika setiap kata dan kalimat dari ucapan orang yang tidak saya suka diproses secara hukum, atau dipaksa ke ranah hukum, akan jadi apa negeri ini,” begitu sikap kenegarawanan presiden.
Pernah juga, seorang wanita paro baya—yang menurut ukuran umum memiliki wajah di bawah rata-rata—mengaku dilecehkan secara seksual oleh Gus Dur. Beberapa media massa saat itu menjadikannya sebagai konsumsi berita yang menarik. Meskipun lebih banyak media yang tidak tertarik memublikasikannya lantaran tidak percaya. Tapi yang jelas, Gus Dur, menurut beberapa pihak, terhina, sebagai presiden. Perempuan itu, kata orang, telah menghina simbol negara. Ketika berbagai lapisan mau melaporkan penghinaan itu, Gus Dur malah berkata, “Saya ini buta, dan diabetku tinggi. Tidak usah dilaporkan, nanti jadi pembelajaran yang tidak baik bagi pers kita. Kasihan pada wanita itu…”
“Pertanyaannya sekarang,” kata Komat sok cerdas, “Jika posisimu sebagai Gus Dur, apakah kamu membiarkan penghinaan itu?” tanyanya menyodok. Pertanyaannya kali ini diajukan kepada karibnya, si Kamit. Mereka yang hadir dalam sidang tak resmi itu terdiam.
“Melaporkan ataukah membiarkan?” tanya Pak Sakerah membuyarkan lamunan mereka.
“Melaporkan!” tegas sekali Kamit menyahut.
“Lo, ‘kan?”
“Melaporkan kamu yang membicarakan penghinaan di forum ini…”
“Ha?” lepaslah tawa mereka.
Persoalannya sekarang, setiap episode dalam orde permasalahannya tidak akan pernah sama. Sebab, zaman yang terus berkembang, yang setiap orang mengatakan semakin maju. Meskipun, kata ustadz di kampung itu, malah semakin mundur. Ketika era digital dan tetek bengek komunikasi semakin maju, malah moral di negeri ini semakin tidak karuan.
Maka, “Menurutmu, apakah Matdhani perlu diproses secara hukum?” tanya Komat kepada sidang musyawarah saat itu.
“Perlu,” seorang ustadz menyahut, “Agar setiap orang menjaga omongannya. Dan ini pembelajaran bagi semuanya,” katanya dengan nada meninggi.
“Sangat perlu, Bos,” kata seorang tetangga di pojok gardu, “Nanti kalau tidak dilaporkan malah menjadi-jadi omongannya. Misalnya, kemarin bilang anjing, besok malah bilang ayahnya anjing. Nanti, kalau simbol negara di bilang anjing, maka seluruh rakyat Indonesia layak dikatakan anjing. Maka aku mendukung dilanjutkan ke ranah hukum,” katanya berapi-api.
“Menurut Pak Sakerah?” seorang laki-laki paro baya yang duduk di pojok gardu bertanya, “Apa perlu dilaporkan tengara penghinaan itu?”
“Tergantung Presiden Jokowidodo.”
“Maksudmu, Bang?” tanya Komat.
“Apakah Pak Jokowi itu merasa terhina?”
“Kalau tidak?”
“Berarti tidak ada unsur pidananya. Itu saja.”
“Lalu?”
Pak Sakerah terkekeh. “Jangan-jangan, ketika Matdhani rame-rame dilaporkan ke Polisi karena dianggap menghina simbol negara, malah Matdhani balik melaporkan Pak Jokowidodo.”
“Lo, kok bisa?” musyawirin semakin heran alur pikiran Pak Sakerah.
Pak Sakerah menatap satu per satu peserta sidang saat itu. Lalu, katanya, “Matdhani melaporkan Pak Jokowidodo atas dugaan penghinaan. Menurut Matdhani, ini yang saya takuti di negeri ini, Pak Jokowi telah menghina Matdhani karena meninggalkan istana ketika berlangsung demo 4 Nopember lalu. Matdhani kecewa, dan ia merasa terhina…”
Mereka terdiam beberapa saat. “Lalu?” seorang di antara jmereka menyeletuk.
“Matdani sebaiknya minta maaf.”
“Terus?”
“Bernyanyi di istana, agar semua orang merasa tidak terhina, dan terhibur.”
“Hehehe…” tawa Kamit, “Diskusinya orang-orang yang kurang kerjaan.”
(Em Saidi Dahlan, endydahlan@ymail.com 09112016)