Ahok (Ternyata) Orang Madura
Warga di Kampung Pacinan, sebuah kampung kecil yang berdekatan dengan Kampung Pakotan, Desa Pasongsongan, Sumenep geger. Gara-garanya, Kong Haielon, sesepuh di kampung itu mengeluarkan maklumat singkat: “Basuki Tjahaja Purnama, yang kalian kenal dengan nama Ahok, yang membuat geger warga muslim Indonesia, yang kemarin lalu didemo sampai ke Istana Negara, yang kalian selalu melihat wajahnya di tivi-tivi, yang bicaranya ceplas-ceplos, adalah orang Madura”.
Sebagian orang mungkin mengira, wong hanya omelan kecil Kong Haeilon ditanggapi. Siapa sih Kong Haeilon? Sebenarnya ia bukan siapa-siapa di desa kami. Kong Haeilon itu bukan tokoh agama, bukan klebun yang punya otorita birokrasi di desa, bahkan juga bukan warga yang ditokohkan. Kong Haeilon hanya seorang warga peranakan Cina yang paling sepuh di antara warga lainnya. Maka cerita tentang masa lalu tentang apa saja yang keluar dari mulut Kong Haeilon dianggap shohih. Sebab ia mewakili beberapa generasi, dan beberapa orde. Dari generasi setelah Abah Agung Ali Akbar yang menetap di Pakotan, pamanda Panembahan Sumolo, yang membangun Masjid Agung Sumenep bersama Lauw Pia Ngo, sampai generasi sekarang. Dari Orde Kolonial sampai Orde Jokowidodo. Artinya, Kong Heilon—sebutan aslinya Ah-Kong, sebutan kakek luar warga Cina tempo dulu—mewakili zaman.
Persoalannya menjadi luar biasa, meski hanya dari seorang Kong Haeilon ketika maklumat itu dianggap shahih. Memang hanya sederet maklumat sederhana, tetapi persoalannya menjadi ‘kalang-kabut’ orang Madura, sebagaimana Ahok yang ‘hanya’ nyentil Alquran surat Almaidah, dan menjadi bumerang bagi karier politik Ahok. Bukan karena maklumat sederhana itu disiarkan di loudsepeaker milik Kong Heilon—ia memang orang satu-satunya yang mempunyai alat siar yang bernama loudspeaker. Tetapi, maklumat singkat itu sudah merasuk ke hati bahkan menjalar ke ubun-ubun masyarakat Madura, wabil khusus warga Pacinan. Sebegitu garangkah orang Madura?
Maka berdatanganlah kiai-kiai salaf ke rumah Ah-Kong itu untuk mengklarifikasi maklumatnya. Ada Kiai Rahwini, kiai yang tidak pernah bersentuhan dengan percaturan politik. Ada Kiai Ahmad Dahlan, kiai kampung yang suka sarungan. Ada Kiai Abdul Hamid, mantan penghulu yang terkenal dengan kesalehannya. Ada Kiai Ahmad Syarqawi yang dikenal alim di bidang fiqh. Juga Kiai Bahrudin yang dikenal dengan ilmu kalamnya. Termasuk kiai-kiai muda ikut mendampingi mereka. Dan yang perlu diingat, Pak Sakerah, seorang tokoh Madura yang mewakili berbagai disiplin komunikasi ikut serta di dalamnya. Malah, tokoh fenomenal Madura itu didapuk menjadi juru bicara di rumah Ah-Kong.
“Apa benar maklumat Ah-Kong itu?” begitu kalimat pembuka klarifikasi kedua pihak di rumah Kong Haeilon. “Sebab,” kata Pak Sakerah melanjutkan, “Setahu kami, tidak seorang pun warga pribumi Madura beragama selain Islam. Tidak seorang pun orang Madura yang tidak mengenal tahlil, tahmid, dan wiridan. Tidak seorang pun orang Madura yang tidak mengenal marhabanan, hadrah, dan kidung shalawatan. Kami terkejut, sebab tiba-tiba Ahok yang menjadi tokoh terhujat saat ini didapuk, atau memang sebagai, orang atau warga Madura. Benarkah itu Ah-Kong?”
Mendengar pertanyaan semacam itu, Kong Heilon terkekeh-kekeh, dan sebagaimana biasanya sebelum bicara ia berkata, “Hayya, apalagi yang hendak ditanyakan Kiai-kiai ini hingga repot-repot bertamu ke rumah kami?”
Satu per satu dari mereka mulai berkomentar. Intinya: mereka tidak setuju jika (kira-kira) Ahok didapuk atau setidaknya dijadikan warga kehormatan Madura. Mereka tidak setuju jika ada orang Madura yang menghujat atau setidaknya menista Alquran. Mereka tidak mau mendoakan keselamatan akhiratnya jika ada orang Madura yang tiba-tiba memeluk agama lain, selain Islam. Lalu, bagaimana jika Ahok memang benar-benar orang Madura? Sebab, kata Kiai Rahwini, mengaku-aku kekerabatan pada urutan nisab, hukumnya haram. Kiai Rahwini mengajukan dasar dari kitab Sullamut-Taufiq yang melarang pengakuan nisab kekerabatan. Akhirnya, mereka terlibat debat di antara mereka di depan Kong Haeilon. Sementara, Ah-Kong hanya bisa terkekeh, lalu berujar, “Hayya!”
Pak Sakerah merasa perlu menghentikan debat para kiai itu di depan Kong Haeilon. Lalu buru-buru ia berujar kepada Kong Heilon, “Mohon klarifikasi Ah-Kong!”
Kong Haeilon memperbaiki posisi duduknya, lalu ia berkata, “Maklumatku, tidak ada maksud sedikit pun untuk menista Suku Madura. Coba kalimat saya cermati secara seksama, dan jangan dipotong. Ini kalimat asli dari saya, sedangkan yang kalian tonton di You Tube itu sudah ada yang ngedit. Saya tidak pernah meminta seseorang untuk mengunggah ke You Tube. Saya hanya menyiarkan lewat media komunikasi saya, dan tidak juga menggunakan loudspeaker milik masjid atau mushola,” Kong Haeilon berapi-api menjelaskan. “Hayya, jika orang terganggu dengan saya punya maklumat, salah sendiri mendengarkan mereka punya telinga.”
Piuss, para kiai tersentak kaget dengan kalimat terakhir Ah-Kong tadi. Ada kecongkaan pada diri Ah-Kong, dan ia tidak menghormati hak-hak orang lain, pikir tamu-tamu Kong Haeilon itu. “Apa sampean tidak terganggu kalau saya memukul bel gereja keras-keras di dekat daun telinga sampean?” seorang dari mereka agak geram. Sayangnya, Ah-Kong itu hanya tersenyum tipis, tidak terlalu mempedulikan.
“Apa benar Ahok orang Madura, Ah-Kong?” Pak Sakerah mengulang klarifikasinya. Maksud Pak Sakerah agar pertemuan saat itu tidak melenceng dari tujuan awalnya.
“Iya,” jawab Kong Haeilon tegas.
“Dari mana sampean berkesimpulan seperti itu?”
“Orang mengenal orang lain pertama dari tubuh, lalu gaya bicaranya, lalu rasa kemanusiaannya, lalu cita-citanya, lalu pengakuannya. Jika unsur-unsur itu terpenuhi maka seratus persen orang itu benar. Jika unsur-unsur itu tidak lengkap prosentasenya dikurangi. Itu saja,” kata Kong haeilon.
Pada intinya penjelasan Kong Haeilon begini: wajah Ahok tidak jauh beda dengan Sam Tua Lang, Komandan Pasukan Tartar yang bertempur melawan Jokotole. Ia dikalahkan oleh Jokotole, dan sisa-sisa pasukan Tartar menetap di Pasongsongan. Dari garis keturunan itulah nisab kekerabatan Ahok. Hanya saja, buyut Ahok pindah ke Belitung dan memeluk Kristen, sedangkan peranakan Cina di Pasongsongan memeluk Islam. Bahkan banyak di antara mereka memiliki sebutan ‘Ki’ sejak berguru ke Sunan Ampel Surabaya. Dari silsilah ini, Kong Haeilon tidak ragu mengatakan Ahok sebagai orang Madura.
Sedangkan gaya bicara Ahok, menurut Kong Haeilon tidak jauh beda dengan kebanyakan orang Madura. Orang Madura dikenal tegas, lugas dan tidak setengah-setengah dalam mengambil keputusan. Suku Madura dikenal dengan filsafat “Mon ba’na bagus pabagas, mon sogi pasoga’, mon kerras akerres”. Artinya, jika Anda baik maka jujurlah, jika kaya membantulah, dan jika keras maka berilmulah. Dan tentu, karena filosofi semacam itulah yang membuat orang Madura terkenal tegas dalam mengambil keputusan. Apa yang mereka katakan, itulah keadaan hati yang sesungguhnya. Juga rasa kemanusiaan dan cita-citanya, yang menurut Kong Haeilon tidak jauh beda dengan Ahok. “Hanya sayangnya, Ahok kadang omongannya sembarangan, ngawur dan ndak karuan,” begitu Kong Haeilon mengakhiri penjelasannya.
“Hanya karena itu Ah-Kong menganggap Ahok asli orang Madura?” tanya Pak Sakerah dengan nada meninggi. “Ahok yang tetap Chaines, Kong!”
“Siapa bilang Ahok asli orang Madura? Saya hanya bilang, Ahok orang Madura, itu karena kerabatnya sudah lama di Madura. Orang Madura kan tidak harus buyutnya Madura? Dan orang Madura juga tidak harus tinggal di Madura? Makanya, jika dalam satu deret kalimat ada kata yang hilang atau bertambah, makanya bisa berubah,” Kong Haeilon menampik.
“Jadi?”
“Ahok tidak seratus persen orang Madura. Toch bisa dikurangi menjadi sekian persen, karena tidak memenuhi semua unsur yang saya jelaskan tadi.”
Pak Sakerah sedikit geram. Giginya bergeratak, menahan marah. Ia ingin memarahi Kong Haeilon, tapi ia sungkan pada kiai-kiai yang hadir dalam pertemuan itu. “Sok!” hanya itu yang keluar dari mulut Pak Sakerah.
Kong Haeilon menangkap ketidaksukaan Pak Sakerah. Lalu ia berkata, “Jangan dikira loh orang Cina tidak berjasa terhadap negeri ini. Anda tahu, arsitektur Masjid Agung Sumenep dengan gaya Cina-Eropa itu adalah Lauw Pia Ngo, cucu Lauw Kate. Arsiteknya itu masih Ah-Kong-ku, keturunan Tartar-Mongolia. Juga Keraton dan Taman Pemandian Puteri Sumenep. Termasuk Pemakaman Raja-raja Sumenep. Lihat saja gaya arsitekturnya.”
“Jadi Ahok itu orang Madura?” tanya Pak Sakerah tanpa mempedulikan penjelasan Kong Haeilon.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Asli orang Madura itu kamu…”
“Ha?” Piyur.. Buyar lamunan Pak Sakerah. Ternyata kiai-kiai itu tidak di sampingnya. (Em Saidi Dahlan, endydahlan@ymail.com 06112016)