Catatan Em Saidi Dahlan: ‘Hari Film Tanpa Film’

  • Whatsapp

Hari Film Tanpa Film

Pada Maret ini, tepatnya hari 30—atawa tanggal 30, (mestinya) dirayakan Hari Film Nasional. Sebuah hari, dalam sejarah pefilman nasional, yang menyosialisasikan karya kreatif anak bangsa, tentunya lewat sinematografi. Gedung bioskop, atau dalam bahasa lain sineplek—misalnya sineplek 21, biskop ‘misbar’ yang dipendekkan dari gerimis bubar, atau setara dengan layar tancap, jarang sekali kita temukan. Sineplek 21 tidak seramai dulu di era 90-an. Dan misbar atawa layar tancap, jarang sekali memamerkan kegigihannya menyediakan hiburan untuk rakyat. Kecuali, sosialisasi Program KB dengan 2 anak cukup, dan kata Pak Sakerah, “Tema film itu klise. Mengapa tidak menyosialisasikan 2 isteri cukup?”

Juga—yang mungkin tidak klise—penayangan biskop keliling kampung dengan tema “Hindari Narkoba-Sabu” dst, dst. Lho, orang kampung diceramahi begitu, tahu apa tentang sabu, kalau sawo sih iya, tapi sabu? Wong untuk beli sembako saja harus ngutang sana-sini, apalagi sabu yang harganya selangit, seharga emas 24 karat. Gencar sekali mereka menyiarkan plus memutar film tema narkoba-sabu itu, meski kadang petugasnya sendiri mengomsumsi sabu dengan alasan menahan kantuk yang sampai 3 hari-malam keliling kampung.

Persis, seperti yang dilakukan Rhoma Irama, sang Raja Dangdut tanpa istana itu, yang gencar memerangi narkoba, meski di balik itu Ridho sendiri mengomsumsinya. Itu sih mending Bang Haji, wong putra Nabi Nuh saja masuk Neraka gara-gara menentang dakwah ayahnya, ndak mau numpang kapal Made In Nabi Nuh. Si putera Nabi Nuh itu lebih memilih tenggelam mengap-mengap, dan Tuhan menenggelamkannya langsung ke Neraka. Kasus iIni tentu bukan salah Bang Haji yang Ridho nekat begitu, dan bukan keliru Nabi Nuh yang puteranya memilih Neraka. Bang Haji, hebatnya, cerdas berkomentar di TV, Ridho sebagai korban yang hanya pemakai dan bukan pengedar, katanya. Sementara Nabi Nuh belum sempat berkomentar di TV karena banyak hal.

Kembali pada pembicaraan awal: Dulu, kata Shahibul Hikayah, pada era 90-an dunia sinematografi Indonesia tergolong maju—dalam segi apapun. Meski tidak semaju Hollywood, tapi pancang tiang kemajuan itu bisa dilihat betapa kokohnya Panca Tunggal Perfilman Indonesia kala itu. Ada PARFI yang merupakan persatuan artis film Indonesia, GPBSI merupakan tempat pengusaha bioskop berdiskusi, PPFI adalah wadah pengusaha film, KFT merupakan Komisi Film dan Televisi, GASFI yang merupakan gabungan sutradara flm Indonesia. Mereka memiliki perannya sendiri-sendiri demi satu tujuan: perfilman Indonesia.

Mereka menyatu, dan membentengi film Indonesia dari kompetitor film manca, dan diharap film Indonesia berkualitas edar yang menakjubkan. Jika film itu ‘bengkok’, misalnya dari segi konten dan menyinggung SARA, BSF (Badan Sensor Film) akan segera ‘mengguntingnya’. Maka, film itu tersensor dengan baik, dan memenuhi budaya bangsa. Meski kadang—perlu diakui juga—BSF sering kebobolan oleh film yang tiba-tiba ketika dilempar ke pasar menjadi penyebab ‘resah’. Lainnya lagi, jika film yang beredar di bioskop tidak memenuhi target penonton, dalam waktu tertentu film itu dicabut dalam peredaran.

Untuk meningkatkan kerja seninya, artis film itu menyatu dalam Parfi. Untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyutradarai film, Gasfi yang berupa gabungan Sutradara Film itu yang berperan. Dalam hal ini, Panca Tunggal Perfilman Indonesia bekerja melawan budaya luar yang hendak disusupi ke dalam tontonan. Meskipun kemudian yang menonjol dalam perfilman Indonesia masalah bisnisnya: mencari untung di balik tontonan, dan sering pula mengabaikan tuntunan.

Itu resume pidato Pak Sakerah di sebuah Perguruan Tinggi Prodi Bukan Perfilman. Peserta seminar itu berjubel, memenuhi aula yang layak dikatakan masjid. Pesertanya pun dari berbagai kalangan: pejabat kampus, dosen, guru, ibu karyawan dan rumah tangga, bahkan pengemis pun membaur di dalamnya. Ingat, ini rahasia yang tidak boleh didengar siapa pun: tokoh Madura itu bukan pengamat film, apalagi artis atau sutradara. Ia hanya suka mengamat-amati film di era 70-an sampai 90-an—lalu membincangkannya dalam diskusi tak resmi yang tempatnya di mana-mana. Tokoh yang satu ini kalau berbicara film, semalam suntuk tak kenal kantuk, dan bicaranya terus mengalir bagai air bah. Hebat!

Belakangan ini, kelanjutan resume pidato Pak Sakerah, Indonesia sepi film. Sedikit sekali produser yang memproduksi film layar lebar. Ada beberapa alasan yang mendasari itu. Pertama, sejak stasion TV tidak sentral TVRI, sinema elektron (sinetron) lebih populis. Orang Indonesia latah, dan jauh lebih suka menonton (visual) dari pada membaca. Sinetron yang diproduksi oleh Production House (Rumah Produksi) jauh lebih marak dari pada produksi film layar lebar. Meski tema Sinetron kita sering tidak ‘manusiawi’. “Masa, tukang bubur naik haji saja sampai diputar tahunan belum selesai. Bahkan ada sinetron yang penayangannya setiap hari, dan itu pun dalam enam tahun belum tamat. Sampai cucu saya wajahnya mirip saya,” kritik Pak Sakerah yang disambut ‘gerrrr’ oleh peserta seminar.

Kedua, umumnya film itu fiksi, diangkat dari cerita fiksi. Dan kadang meski dukomenter, seperti film ‘Gerakan 30 S PKI’ masih difiksikan atau setidaknya latar ceritanya masih dipertentangkan kebenarannya. Jika, pada era 90-an, film itu diangkat dari cerita aslinya (real) yang tanpa konflik, lekukan, suspen, dan ending, tentu tidak menarik. Maka, diperlukan cerita fiksi, atau kalau tidak rekaan, perlu difiksikan. Artinya, film itu harus ‘bohong’ dan tidak real.

“Itu sih dulu,” kata Pak Sakerah. Tapi sekarang, film itu tidak akan menarik lagi ditonton kalau hanya mengandalkan cerita fiksi. “Karakter orang sekarang itu lebih fiksi dari pada fiksi,” sekali lagi Pak Sakerah mengritik. Dan itu benar, kebohongan orang belakangan ini jauh lebih bohong dari pada kebohongan cerita film. Maka, orang Indonesia belakangan ini kebanyakan tidak tertarik menikmati film yang fiksi itu, dan mereka lebih tertarik melihat sesamanya yang pintar berbuat bohong.

Ketiga, sejak CD bisa merekam gambar dan menggantikan klise plastik film, orang lebih mudah membuat film sendiri. Malah, mohon maaf, adegan cinta dalam kamar suami-isteri yang halal menurut syar’i saja direkam secara pribadi. Artinya, membuat film itu gampang. Bahkan, tugas akhir anak SMA/SMK belakangan ini membuat film, setidaknya profil tentang sekolah. Ada banyak anak SMA/SMK yang membuat film sangat menarik, temanya benar-benar fiksi melebihi fiksi yang ditulis Cerpenis Seno Gumira Aji Dharma atawa Shoim Anwar, yang mereka potret dari kehidupan sehari-hari.
“Itu yang terjadi pada sinematografi kita ini,” kata Pak Sakerah mengakhiri ceramahnya. “Maka, selamat hari film…”

“Interupsi,” kedua sahabatnya, Komat dan Kamit yang mendampingi Pak Sakerah mengacungkan telunjuknya. “Tidak layak kita mengucapkan selamat hari film Indonesia. Tapi…” kata Komat.
“Selamat hari menonton film asli…” sambung Kamit.
“Haa??”
(endydahlan@ymail.com – Sumenep, 28032017)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *