Ide untuk memindahkan Ibukota Negara ke luar Jawa, atau luar Jakarta, yang dilontarkan Presiden Jokowidodo, menarik dicermati. Meski ide itu tidak anyar, sebab jauh sebelum itu, ketika masih Hindia, ibukota yang Batavia (Jakarta) itu sudah direncanakan untuk dipindah. Tapi tidak jadi. Dan, pada awal kemerdekaan, ibukota negara sudah tiga kali pindah ke: Yogjakarta, Bukittinggi, dan Aceh. Perpindahan ibukota itu disebabkan keamanan, dalam rangka perjuangan melawan Belanda.
Rencana, atau lebih tepat (masih) disebut ide, pemindahan ibukota ke luar Jakarta timbul tenggelam. Beberapa bulan lalu ide itu bergulir, dan tidak lama hilang. Tapi kini, ide itu muncul kembali dan mengalahkan viral pelaporan Kaesang Pangarep, putera bungsu Presiden Jokowidodo. Si Bungsu menjadi terlapor dalam vlog bertajuk ‘Ndeso’—dan dianggap melecehkan masyarakat desa, atau orang-orang desa. “Saya harap Anda tidak penasaran dengan kelanjutan kasus ini. Sebab, Anda tahu sendiri jawabnya. Dan Indonesia negeri hukum…”—sebuah kasak-kasuk klise yang tidak menarik didiskusikan.
Kasus sebangun tapi tidak sebidang pernah dilakukan Gus Dur. Ketika menanggapi ‘kegenitan’ DPR kala itu, dan “Kayak anak TK saja,”—kata Gus Dur. Kontan, anggota DPR ‘kalang-kabut’. Saya harap Anda paham, yang bilang anak TK itu presiden. Dan, tidak seorang pun yang berani menuntut Gus Dur yang konon dianggap melecehkan parlemen terhormat itu. Lagi pula, jika DPR menuntut, paling-paling presiden nyleneh itu bilang, “Mestinya yang nuntut itu anak TK karena dianggap kayak dewan, kok malah kalian yang tidak sejujur anak TK.” Hanya saja, sekali lagi saya ingatkan, Gus Dur kala itu sebagai presiden. “Saya tidak ingin mengatakan Kaesang itu keluarga presiden, toh ini kasusnya sebangun tapi tidak sebidang!” begitu Pak Sakerah berujar.
Itu sih ide yang ‘menenggelamkan’ kasus. Dan, untuk kali ini tokoh fenomenal Madura, Pak Sakerah dan dua rekannya, Komat dan Kamit, tidak tertarik membahas kasus Kaesang. Yang menarik sekarang, ide memilih Madura sebagai ibukota negara. Di mana-mana, dan oleh berbagai pihak, perseorangan ataupun kelompok, baik ormas maupun ormasy (organisasi masyarakat), semuanya membicarakan kemungkinan Madura menjadi ibukota negara. Mereka mulai membandingkan kota-kota dan daerah yang mulai bermunculan ke permukaan. Kota itu ‘diusulkan’ menjadi ibukota negara jika ibukota jadi dipindah. Kota itu di antaranya Palangkaraya, Bukittinggi, Pontianak, Malang. Daerah yang muncul adalah Madura. Maka, Pak Sakerah membentuk sebuah tim untuk menyusun proposal pembentukan Madura sebagai ibukota negara. Jika terasa mungkin,
Kalau hanya syarat sebagai ibukota negara itu luas daerah, tekstur tanah, kemandirian, bandara, pelabuhan, udara, dan sederet yang alami, maka: “Satu-satunya yang layak menjadi ibukota negara adalah Madura,” begitu Pak Sakerah berkata sambil mengangkat jempolnya.
Ada beberapa hal yang menarik dan layak Pulau Madura menjadi ibukota negara, Pertama, Pulau Madura terpisah dengan pulau lainnya. Maka kekhususan sebagai ibukota negara merupakan nilai lebih. Dan jangan lupa, gugusan pulau di sekitarnya, yang masuk wilayah Sumenep, ribuan jumlahnya. Maka selanjutnya, pengelolan wisata pulau akan menjadi tantangan yang menarik. Kedua, soal udara, jangan tanya seberapa bagus oksigen yang menghembus di Madura. Pulau Giliyang di Sumenep memiliki kandungan oksigen terbaik sedunia setelah Brasil. Dan ini bukan kabar burung. Yang meneliti kandungan oksigen itu dari LAPAN.
Dan, Ketiga, Madura memiliki bandara, dan tinggal memperluas atau mengembangkan, jika jadi ibukota negara. Juga memiliki pelabuhan besar di Kamal Bangkalan, dan Kalianget Sumenep, kargo di Pasean Pamekasan, pendaratan ikan di Pasongsongan, dan beberapa pelabuhan kelas menengah. Keempat, tekstur tanah sangat baik. Tidak pernah ada gempa karena memang terbebas dari lempengan bumi yang bergeser. Kelima, masyarakatnya agamis, tidak anarkhis,. dan gaya hidupnya sederhana. Keenam, status jalan raya di Madura, dari ujung Kamal ke Sumenep lewat jalur selatan dan utara sudah masuk jalan nasional. Dan itu pertanda bahwa jalannya pun sudah layak menjadi ibukota.
Sedangkan Ketujuh, wilayah Madura dulu pernah menjadi negara tersendiri ketika zaman RIS dulu. Dalam sejarah terpampang ‘Negara Madura’ dengan ibukota Pamekasan. Meskipun hanya berusia kurang dari setahun, tapi Hindia dulu melihat Madura memiliki potensi yang baik untuk menjadi sebuah negara. Kedelapan, jembatan terpanjang di Asia Tenggara membentang di atas Selat Madura. Dan ini bagian penting, selain sebagai akses pintu masuk melalui darat, juga sebagai monumental masuk ke daerah Madura. Sebuah pertanda, bahwa Madura terbuak untuk siapa pun. Kesembilan., Sepuluh, Sebelas, dan seterusnya akan dijelaskan lebih lanjut, kata Pak Sakerah, “Jika Bapennas berkenan memilih Madura sebagai ibukota.”
Memang, pada mulanya Madura diproyeksi menjadi Daerah Provinsi, terpisah dengan Jawa Timur. Tapi, kasak-kusuk orang Jakarta yang sudah tahu seluk-beluk Madura dan sederet karakteristik budaya dan masyarakatnya, Madura lebih baik menjadi ibukota negara dari pada sekedar provinsi baru. Dan nantinya, Madura akan menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Madura. Apakah ini sebuah mimpi?
Tapi yang menarik apa yang dikatakan Komat, “Saya tidak tertarik membicarakan itu. Menurut saya, ibukota negara kapan pun akan tetap.”
“Apa karena biayanya besar? Bagaimana jika hasil kajian Bapennas menunjuk Madura sebagai ibukota negara? Bukankah ibukota sudah tiga kali pindah?” Pak Sakerah menyoal. Dan, banyak lagi yang diajukan pada Komat soal kemungkinan pindahnya ibukota negara.
“Apapun alasanya, ibukota negara akan tetap,” kata Komat. “Ibukota negara tetap di Jakarta. Soal kemudian pindah ke Madura, ya ibukota negara tetap Jakarta dan hanya sekarang sudah pindah. Misalnya ke Madura.” Huss… (Em Saidi Dahlan, 09/07/2017)