Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Ludruk’

  • Whatsapp

Sekira 1980-an: Hiburan rakyat yang paling menarik di Sumenep, ujung timur Madura, adalah ludruk—selain juga bioskop layar tancap atau misbar. Ludruk di Madura: seni panggung rakyat ‘kecil’, mengisahkan kerajaan dengan bahasa lokal yang bertatakrama bahasa enggi-bunten. Berhasil sedikit menggeser hiburan bioskop misbar (gerimis bubar) karena film yang diputarnya hanya berkampanye KB dengan ‘dua anak cukup’, dan disinyalir konon hanya film-film jadul Rhoma Irama, atau sezaman dengannya. Kelompok seniman Ludruk yang paling disegani dan ‘laris’ adalah Rukun Karya, yang kerap manggung sampai ke tanah Jawa.

Ludruk, seni pertunjukan-panggung, di dalamnya dikemas berbagai cerita ‘sejarah’ kerajaan, yang kadang tidak selesai dalam semalam. Bisa dua atau tiga malam, ceritanya baru selesai. Berbeda dengan definisi dari banyak peneliti, ludruk diasumsi sebagai seni panggung rakyat kecil yang mengisahkan ‘banyolan’ dan hal-hal yang ringan, kehidupan sehari-hari yang mudah ditemui; dan hanya ketoprak yang menurunkan kisah kerajaan. Tapi ludruk di Madura malah sebaliknya, kisahnya tidak lepas dari kehidupan istana di zaman kerajaan, dengan bahasa enggi-bunten yang tak mudah dipahami anak usia SD.

Seakan berkekuatan magis, Ludruk Rukun Karya ketika tampil memiliki daya tarik tersendiri dengan penonton yang berjubel. Tampil di musim kemarau, di tanah lapang luas, dan terjangkau oleh penontonnya yang dari udik sekalipun. Pilihan manggung musim kemarau bukan tanpa alasan, sebab ludruk itu berpanggung keliling-terbuka di tanah lapang, tidak di ruang gedung pertunjukan yang dibatasi tembok dan atap. Dan, ia menjadi pertunjukan drama yang disuka rakyat kecil, dan banyak hal yang menjadi sebab; di antaranya tidak ada hiburan lain selain bisokop misbar, dan televisi hitam-putih di kantor camat yang tayangnya hanya malam hari, dan isi siaran seputar berita dan kunjungan para menteri.

Semua pemain ludruk itu laki-laki, termasuk pemeran wanita kebanyakan atau bahkan permaisuri dan ratu. Maka, pemeran wanita yang laki-laki itu berdandan layaknya seorang wanita beneran: berkebaya atau long dres, bergelung dan berbedak menor—sesuai dengan perannya. Suaranya nyaris menyerupai wanita, dan jika telinga penonton laki-laki tidak teliti mendengarnya, suara itu mengundang birahi. Di zaman itu, nyaris tidak ditemui wanita bersuara keras sampai didengar oleh ratusan, atau bahkan ribuan penonton di tanah lapang yang luas. Dan, jarang sekali wanita tampil di atas panggung menghadapi ratusan orang—kecuali dalam drama di atas panggung ludruk itu.

Perlu diingat, ketika Rukun Karya itu ditanggap di mana-mana, dan pemainnya menjadikan peran sebagai profesi ‘tetap’, maka laki-laki tulen yang memerankan wanita akan menjadi banci, bencong, waria, atau ‘kemayu’—dalam keseharian, bahkan sepanjang hayatnya. Dus, nafsu dan perilakunya pun cenderung berubah: kewanita-wanitaan. Sebaliknya, pemeran raja akan menjadi dambaan banyak wanita. Itu peran yang dipentaskan di atas panggung, yang menjadi nyata di dunia nyata.

Maka, ludruk yang berupa seni panggung-rakyat yang merakyat dari berbagai lapisan, mendapat pertentangan ‘kecil’ dari kiai-kiai kampung. “Hukum ludruk haram”–begitu yang didengar Pak Sakerah. Meski tidak disosialisasikan di atas podium, tapi ini membuat resah orang-orang udik, atau setidaknya Pak Sakerah dan rekan.

Kiai kampung, sejak dulu sampai sekarang, dan entah sampai kapan, masih menjadi tokoh panutan; sebagai public figure yang tak viral oleh media; dan sebagai ‘rujukan’ perilaku warga. Perannya melampaui batas carik dan modin di desa, meski tak beradministrasi. Sumbernya jelas: Alquran-Hadits, dan Ijma’ Ulama. Maka, sekali ia bicara, membuat orang seribu kali mengangguk—meski kadang mereka tidak paham apa yang ia bicarakan. Itulah dunia paternalistik kita, yang homogen dan menarik. Tapi, kiai (salah satu) aset negara, yang dalam sejarahnya ikut bekerja mennyatukan yang terserak, dan menjadikan: Indonesia merdeka–tidak bisa dibantah!

Tapi ‘fatwa’ haram pada ludruk, seni drama-panggung yang merakyat, tidak bisa diterima akal sehat. Maka, Pak Sakerah, Komat dan Kamit mencari tahu sebab fatwa haram itu. Sebab, jika fatwa itu terus bergelinding, rakyat tidak ada pilihan lain, kecuali berseteru dengan seni drama-panggung itu. Dan sudah pasti, rakyat tidak mendapatkan hiburan lagi, kecuali televisi hitam-putih di kantor camat pada malam hari. Sejarah ludruk akan berakhir, dan peran tidak akan menjadi pofesi yang bisa mendatangkan gengsi dan harga diri—setidaknya rizki.

“Satu sebab utamanya yang menyebabkan ludruk haram ditonton,” Kiai Rahwini, seorang kiai yang tak pernah bersentuhan dengan politik praktis berkata, “laki-laki menjadi perempuan.”

“Hanya karena itu, Kiai?” Pak Sakerah heran.

“Iya,” kata Kiai Rahwini tegas. “Sebab di situ terpajang dengan jelas ‘suatu kebohongan’. Dan, kebohongan adalah pengkhianatan.”

Pak Sakerah tidak merasa perlu melanjutkan tanya, apalagi debat—ia sudah paham itu. Bagi tokoh fenomenal Madura ini, jawaban Kiai Rahwini sudah cukup jelas: kebohongan.

Di atas panggung, ludruk memerankan banyak kebohongan: laki-laki menjadi wanita—seringkali dibawa ke alam nyata. Itu kebohongan yang esensi: bohong dalam peran, dan menjadi ‘pembohong’ di alam pergaulan. Dan, perlu disadari, dalam fiqh as-Syafiiyah, waria atau sejenisnya: tidak boleh menjadi imam (shalat) bagi laki-laki, sebab di tengah pelaksanaan (shalat) bisa saja ia berubah peran sebagai wanita; dan tidak boleh menjadi imam bagi sesamanya, sebab di tengah perjalanan bisa saja berubah menjadi wanita sementara makmumnya malah menjadi laki-laki.

Di bawah panggung, ludruk harus bisa petak-umpet dengan Orde. Nama Rukun Karya, mungkin, sebuah nama yang dipilih untik menyerasikan ‘partai’ penguasa yang bernama Golongan Karya (Golkar). Ia harus tampil di mana-mana, memenuhi tanggapan dari berbagai lapisan daerah, bahkan sampai ke tanah Jawa. Dan, pentas harus berizin, sedangkan izin tidak mudah. Jika Rukun Karya ‘dianggap’ milik Golkar, izin bisa diurus setelah pentas bubar. Meski para pemeran tidak seluruhnya suka dengan Orde ini. Ini juga sebuah kebohongan: perjuangan memberantas nahi-munkar harus terang-terangan, tidak bisa petak-umpet.

Di dalam cerita, ludruk juga menyimpan sederet kebohongan. Ia ingin mengritik tiran, tapi yang ditampilkan sejarah kerajaan. Bahkan sejarah kadang dipelintir sampai ujung cerita tidak memiliki dasar tarikh yang jelas. Dan ini: kebohongan.

Pak Sakerah diam sesaat, membenarkan fatwa haram itu. Kiai-kiai kampung itu bijak nan hati-hati, dan fatwa tidak diumbar demi kemahslahatan umat, pikir Pak Sakerah dalam hati.

“Lalu, bagaimana dengan panggung politik kita ya? Ia juga menampilkan sandiwara-pentas di alam terbuka; haramkah dia?” Komat ingin tahu. “Bagaimana dengan LGBT, yang menampilkan peran di alam yang penuh birahi lain-jenis, di luar pentas; haramkah mereka?”

Pak Sakerah tidak bisa menjawab. *

Panorama Pagi – 29 Januari 2018

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *