Piala Presiden
Malam ini, Ahad malam, 19 Februari, Pak Sakerah bersama seorang rekannya dari Cilacap, nonton bola piala Presiden di Pamekasan, Madura. Bertarung: Madura MU versus PS Cilacap. Bak artis, tentu kedatangan Pak Sakerah banyak yang menyalami, bergerubut di dekatnya, dan tegur sapa bagai rintik hujan. Sayangnya, tak banyak wartawan dari media apapun, kecuali beberapa dari radio FM dan online—itupun karena sangat kenal, dan bersahabat karena dari kampung yang sama. Jadi, kedatangan Pak Sakerah tidak layak dipublis. Juga tidak menarik disiarkan media apapun. Mohon maaf, maka saya publis di ruang ini—karena ada kegelisahan orang nomer sekian di Madura ini yang layak didebat.
Ketika bola menggelinding dari kaki pemain Madura MU, dan begitu tidak tangkasnya penjaga gawang PS Cilacap: gol tercipta. Melompatlah para pendukung Madura MU, dan sorak-sorai hampir merontokkan dinding pagar gelora Pamekasan itu. Pasti, mereka yang bersorak sorai itu orang Madura yang meskipun tidak maniak bola merasa perlu menyumbangan efouria kegembiraan. Jika tidak, maka pesorak-sorai itu orang yang tidak suka PS Cilacap menang. Atau mungkin, penonton yang suka dengan ‘gol’ siapa pun penendangnya.
Sahabat si Cilacap itu kaku, membeku, diam tanpa suara, apalagi sorak-sorai. Ia tidak bergeser sedikit pun dari duduknya. Mungkin, tertegun atau terhenyak dari sedikit kantuknya yang tak jadi. Sebuah kejadian yang mungkin tidak disuka oleh banyak orang. Terutama si Cilacap tadi. Sebab kesebelasan kesayangannya tiba-tiba kemasukan gol. Sebuah penistaan, mungkin. Bertamu jauh-jauh ke Pulau garam, perjalanan likuran jam dari Cilacap perbatasan: kok malah dijamu kekalahan. Mungkin begitu pikiran si Cilacap tadi.
Tapi, malah Pak Sakerah lebih dari itu. Tak ada ekspresi kegembiraan. Wajahnya malah bersedih. Padahal kemenangan ada pada anak-anak generasinya: kesebelasan Madura MU. Sementara di kanan-kiri tempat duduknya, sorak-sorai tak henti-henti. Mungkin, menurut kita, ia sedang menunaikan sikap toleransi terhadap sejawatnya, yang kalah di bumi Madura. Mungkin juga, Pak Sakerah merasa kasihan, maka perlu bersikap diam, mengikuti kehendak si tamu dari Cilacap tadi. Dan ini yang disebut toleransi, dan tidak sombong.
“Mengapa pean tidak menunjukkan rasa gembiranya ketika gol tercipta?” Pak Sakerah dikerubuti wartawan. Sikapnya yang beku sejak tadi menjadi perhatian diam-diam para kuli tinta. “Dan Anda merasa terkejut dengan gol tadi?” tanya yang lain, dan pertanyaan ini ditujukan kepada si Cilacap.
“Anda merasa sedih?” sambungnya kepada si Cilacap.
“Dan mengapa pean bersikap aneh seperti itu?” tanya lainnya lagi diberodongkan pada Pak Sakerah. “Padahal ini Pila Presiden?”
“Madura-kah pemenangnya?” tanya Pak Sakerah.
“Atau Cilacap-kah yang kalah?” sambung sejawatnya dari Cilacap.
“Iya,” serempak wartawan menyahut.
“Siapa pencetak gol itu?” tanya Pak Sakerah. “Asal kalian tahu, di Madura tidak ada George, James, Cavirius, atau sejenis itu. Yang ada Mohamad Kahir, Rasyidi, Karni, Ahmad, dan seterusnya yang ngarab itu…”
“Juga di Cilacap, nama-nama orang tidak diimpor dari luar negeri, Bung!” kata si Cilacap.
“Lalu?”
“Pemenangnya orang luar, dari mana pemain itu didatangkan. Bukan orang Madura. Saya tidak melihat wajah-wajah Madura di lapangan hijau itu. Juga tak ada wajah-wajah orang Cilacap…”
“Ini Piala Presiden, Pak Sakerah,” sambut mereka.
“Presiden yang mana?” si Cilacap balik bertanya.
“Ini bukan Piala Presiden, Bung. Tapi, mestinya Piala Sekjen PBB. Bayangkan, pemain kedua kesebelasan itu dari berbagai negara. Makanya, kami tidak bersorak-sorai, dan kami menyembunyikan kegelisahan. Karena negeri ini bukan hanya mengimport benda hasil produksi mesin, tapi juga mengimport manusia..” panjang lebar Pak Sakerah menjelaskan.
Mereka diam.
“Kalian gembira?” tanyanya lagi.
Mereka tetap diam.
(Sumenep, endydahlan@ymail.com 19022017)