Salman al-Manduriyah
Orang-orang Madura tidak terlalu kecewa, apalagi heran, ketika Raja Arab Saudi, Salmān bin ʿAbd al-ʿAzīz ʾĀl Saʿūd, memutuskan kunjungannya ke Jakarta dan Bali. Sebuah kunjungan kenegaraan dengan anggota rombongan terbanyak dalam sejarah. Lagi pula, kunjungan kenegaraan Raja Saudi ke Indonesia baru kali ini setelah sekitar setengah abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1970, setelah membalas kunjungan Pak Harto.
Beberapa alasan pilihan Raja Salman yang diapresiasi masyarakat Madura: pilihan Jakarta menjadi tujuan kunjungannya, tentu masuk akal. Toch Jakarta ibukota negara, masuk akal jika kota macet itu dipilih. Jadi, katanya, tidak mungkin seorang raja melakukan kunjungan kenegaraan dengan memilih kota terpencil yang jauh dari akses ibukota. Maka, pilihan itu dianggap logis.
Yang tidak logis jika Raja Salman diarahkan ke Pulau ‘Janda’, gugusan kepulauan di Sumenep, sebuah pulau yang super terpencil. Di pulau itu, jauh dari akses apapun. Bahkan dunia maya tidak berkenan melintasi udara pulau itu—mungkin signal sungkan mengawang di situ. Unik memang, sebab hampir semua penghuni di pulau janda, dan sedikit di antaranya masih belum pernah kawin. Dan untuk yang ini, tentu Sang Raja tidak akan diarahkan ke pulau ini oleh Jokowidodo. Jika, misalnya, diarahkan ke sana, yang tersinggung bukan hanya Kedubes Arab Saudi, tapi orang Madura juga.
Sekali lagi, orang Madura tidak menyesal ketika Raja Salman memilih Jakarta.
Ketika Bali menjadi pilihan. Itu juga bukan hal aneh dan mengejutkan bagi orang Madura. Bali memiliki pantai yang menakjubkan, meski di deretan pantai Madura tidak kalah indahnya. Hanya saja, mungkin, karena pengelolaannya yang profesional, sehingga beberapa pantai di Bali memiliki daya tarik tersendiri. Dan Bali sebagai jujukan para wisatawan manca. Hingga tak heran jika Bali jauh lebih dikenal masyarakat intnernasional dari pada Indonesia sendiri. Sekaligus perlu diingat, Raja Salman selalu memilih pantai menjadi tujuan wisatanya.
“Mengapa bukan Madura yang dijadikan tujuan wisata Raja?” pertanyaan semacam ini bergelinding dan seringkali ditujukan pada Pak Sakerah, tokoh fenomenal Madura yang tak (jadi) diundang Pak Jokowi menyambut raja. Pertanyaan itu memang masuk akal. Bukankah masyarakat Madura seratus persen beragama Islam? Penduduknya pun tidak neko-neko, yang jadi ISIS-lah, yang pengantin bom-lah, yang perakit bom, dsb. Dan perlu diingat, yang paling membutuhkan bantuan raja adalah orang Madura—dari berbagai kebutuhan.
“Kalian tahu sebabnya: Mengapa Raja Salman tidak memilih Madura sebagai tujuan kunjungannya?” tanya Pak Sakerah kepada rombongan ziarah di makam raja-raja. “Di Madura tidak ada hotel yang bertarif sampai puluhan juta semalam. Di Madura tidak ada jamban berukuran lebih setengah meter tingginya. Di Madura tidak ada hotel yang bisa menampung rombongan sampai ribuan orang jumlahnya. Di Madura tidak ada petis yang terbuat dari sari udang.”
“Lho, kok? Apa hubungannya Bang?” Komat bertanya heran.
“Ntar raja mau tidur di mana?” sambung Kamit.
“Itulah sebabnya, Raja Salman tidak berkenan di Madura. Jangan-jangan, orang Madura meminta raja dan rombongannya tidur di masjid Agung. Lesehan, berbantal kayu dan beralaskan tikar pandan. Ayo, bagaimana kalau orang Madura lagi bertindak seperti itu?” Pak Sakerah menjelaskan.
“Benar juga ya?” serempak rombongan ziarah itu membenarkan.
“Kalian tahu,” kata Pak Sakerah lagi. “Raja Salman itu bukan Salman al-Farisi, yang dari Persia, sahabat Nabi itu. Raja Salman itu taretan dibi’,” senyum di bibir Pak Sakerah mengembang.
“Lalu?”
“Nama Raja Salman itu sebenarnya Salman Al-Manduriyah.”
“Maksudnya, Salman itu berkarakter Madura: Islam, seiman, keras, dan dermawan.”
“Masa?”
“Tanya sendiri pada raja.” (endydahlan@ymail.com – Sumenep,01032017)