Tangis A-(HOa)-X
Semua orang pasti tahu, dan jika belum tahu—kata Pak Sakerah—perlu diuji keasliannya sebagai manusia, bahwa orang menangis itu karena tiga hal. Pertama, orang menangis karena mendapatkan duka. Duka dalam hidupnya, mau pun duka orang lain yang menyentuh perasaannya. Jika tidak tersentuh, sekali lagi, rasa manusianya perlu diuji: apakah asli manusia ataukah manusia asli. Masalah duka ini dialami hampir setiap orang. Maka, tangis ini sebagai perform dari bentuk rasa sedih yang tidak diharap datangnya.
Kedua, tangis suka. Saking gembiranya, seseorang bisa dengan tiba-tiba menangis. Tangis di sini sebagai tanda syukur terhadap pemberian Sang Khalik, atau pihak lain, entah pemberian yang memang diharap atau pemberian yang tidak disangka datangnya. Maka, tangis ini sebagai pengganti rasa tawa, dan barangkali si penangis tadi tidak bisa menggantinya dengan tawa saat menerima rasa bahagia. Jadi, sebenarnya tangis adalah sama dengan atwanya. Hanya saja, tawa orang dalam kelompok ini sebagai pengganti apa: tentu ini yang ambigu.
Ketiga, tangis suka melihat orang lain duka atau tangis duka melihat orang lain suka. Ini tangis yang sangat bahaya. Sebab di tengah isaknya itu, ada rasa iri yang tak tersampaikan dengan sikap atau kata-kata, melainkan hanya bisa menggelontorkan tangisnya ketika orang lain berduka. Tangis seperti ini adalah penyakit hati; yang dari sikap iri tadi akan melahirkan sikap sombong dan semena-mena terhadap pihak lain. Penangis tadi selalu bersedih jika melihat orang lain bahagia, dan ia sangat bahagia ketika orang lain berduka. Kadang penangis itu merasa suka melihat orang berduka. Dalam bahasa anak remaja, perilaku semacam ini cenderung disebut air mata (tangis) buaya.
Itu tesis yang dikemukakan Prof. Dr. Sakerah Madura Melolo, M.Pd., MM—gelar kehormatan dari ibu-ibu muda yang tidak disangka-sangka datangnya yang membuat Pak Sakerah menangis—dalam sebuah forum kecil, ‘kampus mini’ Indonesia Cendekia Centre, yang tiba-tiba guru besar tanpa sekolahan itu didapuk sebagai pembicara lelucon. Tentu, Komat dan Kamit terdapuk menjadi asisten dan ajudan sang guru besar dadakan itu.
“Apakah definisi tadi ada hubungannya dengan sikap Ahok kemarin lalu di Pengadilan?” Komat yang terdapuk sebagai MC memancing tanya. Perlu diketahui, pada sidang perdana Ahok atas penistaan Alquran, 13-12-2016, tampak dengan terbata-bata, mungkin ia terseret pada tangis ‘sederhana’, dalam nota pembelaan, Ahok menangis. Memang, Ahok tidak menangis sebagaimana layaknya anak kecil yang kehilangan uang receh untuk membeli permin. Tapi tangis Ahok adalah tangis ‘sederhana’ yang disaksikan jutaan pemirsa TV sejagad raya.
“Definisi itu pemerian, ilmu sederhana, yang dibuat jauh sebelum ada kejadian belakangan ini. Jadi, definisi tangis itu sudah ada sebelum Ahok menangis dalam persidangan. Jika, jenengan mau menghubungkan sikap Ahok dengan tangis, silakan. Namun kalau jenengan ndak mau beresiko, ya jangan dihubung-hubungkan.” Pak Sakerah menanggapi. Bicaranya diatur sedemikian rupa agar tidak asal bunyi, yang menandakan ia seorang guru besar, meski tanpa sekolahan. “Sebab bisa saja jenengan kena semprit: melanggar UU ini-lah, UU itu-lah, yang Perda ini, Pergub itu, wih, pokoknya, jika tidak mau beresiko anggap pertemuan kali ini sebagai kuliah umum mata kuliah bicara.”
Memang, sekarang ini, kata Kamit, wacana yang kita bicarakan harus selalu aktual. Tentu saja, yang aktual adalah soal sikap Ahok yang tiba-tiba menangis, wong biasanya omongannya ceplas-ceplos, dan sepertinya tidak kenal rasa ampun. Perubahan seperti itu yang mengundang orang tertarik membicarakannya berpanjang-panjang.
“Lalu, menurut jenengan semua, tangis Ahok masuk kelompok mana: pertama, kedua ataukah ketiga?” tanya Komat memancing jawaban peserta ‘kuliah umum’.
Dipancing seperti itu tentu saja peserta ‘kuliah umum’ menjawab beragam. Ada yang bilang, tangis Ahok adalah tangis duka, yang merasa menyesal karena kepeleset omongan. Dan untuk yang ini, Ahok sudah minta maaf. Sayangnya, Ahok tidak harus meminta maaf kepada Umat Islam, tapi kepada Tuhan Umat Islam. “Sayangnya pula….” Seorang peserta tidak berani melanjutkan kalimatnya.
Lainnya lagi menganggap tangis Ahok adalah tangis suka. Ia bergembira karena mampu menggerakkan umat Islam Indonesia berduka. Dan untuk yang ini, Ahok telah berhasil mengamalkan teori gerilya di tengah kota.
Tapi ada juga yang meragukan, “Apa benar Ahok menangis?” Untuk pertanyaan seperti ini, tentu di luar definisi tangis.
Terlepas dari tangis Ahok masuk kelompok mana, atau tentang kebenaran Ahok menampilkan sense of tangis, masih ada satu teori lagi yang tidak terlalu penting untuk didiskusikan di sini. Adalah tentang teori bunyi tangis. Bahwa tangis itu terdiri dari tangis berisak, dan tangis tanpa isak. Tangis yang paling mendalami rasa tangis itu sendiri adalah tangis tanpa isak. Pertanyaannya sekarang, “Apakah tangis Ahok tanpa isak?” tanya Pak Sakerah kepada peserta.
“Tangis apakah itu?” Komat sebagai MC mengulang pertanyaan sang guru besar.
“Tangis A-hoa-x!” tegas sekali, seorang peranakan campuran China-Arab bermata tidak sipit menjawab.
Em Saidi Dahlan, 14122016