Catatan Em Saidi Dahlan: ‘Tellasan Ketupat’

  • Whatsapp

Tellasan Ketupat

Catatan Em Saidi Dahlan

Ketupat hanya sebungkus nasi yang dimasak dalam bungkusan janur kuning, atau mungkin hijau. Janur itu bisa daun nyiur, atau daun siwalan yang dirangkai berselang-seling. Di dalamnya segenggam beras lalu direbus berjam-jam sampai benar-benar matang. Dan siang atau sore harinya, dibelah, isinya dikeluarkan lalu dimakan bersama lauk lokal, bisa opor ayam, atau ikan bakar masak kecap, atau lauk lainnya. Itu serimoni makan ketupat. Tapi berbeda sekali ketika ketupat menjadi bagian penting dari serimoni Tellasan Ketupat.

Di Madura, hari raya yang ramai dan penuh dengan serimoni kegembiraan adalah Tellasan Ketupat. Dilaksanakan pada hari ketujuh setelah 1 Syawal. Jadi, pada hari 2 – 7 Syawal mereka berpuasa sunnah, yang konon pahalanya seperti berpuasa setahun. Dan, besoknya, pada 8 Syawal mereka ber-tellasan ketupat. Itulah tradisi turun-temurun di Madura yang warganya seratus persen muslim. Hampir serupa, atau memang kebetulan, hari raya Umat Kristiani jatuh pada 25 Desember. Tapi perayaannya seminggu kemudian, pada 1 Januari tahun berikutnya. Di hari raya Natal, Umat Kristiani bermisa, tapi serimoninya baru sepekan.

“Sayangnya,” keluh Pak Sakerah, “Tellasan Ketupat tidak masuk dalam libur nasional. Padahal, hari serimoni Umat Kristiani, 1 Januari ‘terdaftar’ pada deretan libur nasional.”—Meski jika kita telusuri, libur perayaan hari besar Islam lumayan banyak: 1 Muharrom, Isra’ mi’raj, Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha. Untuk itu, keluhan Pak Sakerah tidak perlu masuk ke dalam hati para penentu kebijakan di negeri ini. Itu hanya sebuah keluh-kesah, dalam hati lagi, yang jika tidak didengar akan hilang sendiri. Dan tentunya, saran Pak Sakerah, umat Islam tidak perlu melakukan unjuk rupa karena hal kecil ini. Termasuk MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa: toh ini hanya tradisi kecil di pulau kecil, seperti Madura. Dan Madura hanya bagian kecil dari kebijakan Jakarta.

Di Tellasan Ketupat itu, Pak Sakerah dan kerabat-sahabatnya bisa melepas penat sesaat. Sebulan suntuk, ia memang benar-benar berpuasa: tidak makan-minum, dan puasa wicara, misalnya sekadar menanggapi isteri gubernur yang tiba-tiba ketangkap KPK. Ia memang melewati hal-hal yang membuat gemas dan geram, sekaligus. Misalnya, soal rencana kebijakan Dirjen GTK Kemendikbud yang akan ‘menggusur’ PGRI, lalu akan diganti dengan ASGKM (Asosiasi Guru Kelas dan Guru Mapel). Ia juga melewati hal-hal yang menggelikan, misalnya seorang Loyalis Jokowidodo yang hendak memperkarakan seorang Pengasuh Ponpes Modern Gontor, yang dianggap memprovokasi dalam khotbah Idul Fitri—yang tiba-tiba sang Loyalis itu kena stroke.

Ia juga puasa komentar tentang tarif listrik yang terus merambat. Sanak kerabatnya mengeluh: “Orde sebelum ini, listrik mau naik disosialisasikan. Da, tentu penolakan datang dari berbagai pihak, sampai mahasiswa harus turun jalan. Era kini, tak pernah kduengar sosialisasi, tapi langsung naik…”

“Sekarang kita bermaaf-maafan,” kata Komat, “di Fitri kedua ini, selayaknya umat Islam segera kembali ke fitri, ke ‘laman’ suci, sebersih kapas,” tambahnya.

“Benar,” setuju Kamit sambil lalu mengangkat jempolnya. “Tapi kesalahan terhadap negara, misalnya korupsi, tidak bnisa dimaafkan atau tiba-tiba karena Fitri, dihapus kesalahannya. Bukankah begitu, Kang?” tanyanya kepada Pak Sakerah.

Tentu saja Pak Sakerah sangat setuju. Sebab, menurut Pak Sakerah, tugas KPK kali ini tertantang. Misalnya, soal deretan orang dalam kasus korupsi e-KTP belum seluruhnya terungkap. Dan, itu menyangkut orang-orang besar, mantan orang penting di negeri ini, yang mungkin sekarang tidak dipentingkan lagi. Keberanian KPK mulai dipertaruhkan. Termasuk ‘penumpulan’ gigi PGRI, yang tiba-tiba tidak diakui secara sah sebagai organisasi profesi. Meski konon, PGRI termasuk bagian dari organisasi perjuangan di zaman kolonial dulu, tapi ketika Kemendikbud tidak memberinya peran, atau tidak mengakui perjuangannya selama ini: PGRI hanya patut dikenang. Hanya saja janngan lupa, TPP yang dinikmati guru itu salah satu hasil perjuangan PGRI.

Maka, ketupat bagi orang Madura mengandung filosofi yang sangat dalam: menikmati makanan dengan segala kearifan lokalnya, istirahat sejenak, dan mengmpulkan tenaga untuk berbuat baik demi negeri ini. Lalu, kata Pak Sakerah: “Komisioner KPK tidak ada salahnya menikmati ketupat Madura, istirahat, dan berburu korban lagi. Mendikbud tidak dilarang menikmati ketupat orang Madura: beristirahat, dan memperbaiki diri. Juga pimpinan DPR, atau lembaga tinggi negara. Perkara KPK nanti ‘berulah’ dengan segala macam tugasnya, itu soal lain.” (Em Saidi Dahlan, 01072017)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *