Oleh M.Mufti Mubarok
Ketua Umum DPP PUKAT
Namanya arek arek Suroboyo, P2TSIS tidak akan pernah berhenti.
Memang proklamasi ada di Jakarta tapi perang kemerdekaan ada di Surabaya.
Jadi jantungnya Republik itu ada di Surabaya, dan P2TSIS adalah jantungnya berjuangan itu yang tiada henti , Rawe rantas Malang malang putung, sekali layar terkembang pantang surut kembali.
Sengaja saya pakai istilah Pandemi bukan karena kasus virus corona, tapi memang kasus IPT/Surat Ijo ini sudah menjadi penyakit yang menahun bagi perjuangan arek arek Surabaya yang tergabung di Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo (P2TSIS¬), satu per satu tokoh Pejuang sukarelawan berguguran, segala strategi dan upaya darah dan air mata sudah di kerahkan, perjuangan meluai jalur struktur melalui jalur pemerintah, media dan kultur melalui terjun langsung dilapangan melau demo sudah sangat masif. Namun masalah surat ijo ini memang masalah pendemi agrarian yang terus berlanjut hingga carut marut surat ijo ini belum menjadi skala prioritas.
Faktanya, masalah surat ijo tidak sesederhana yang diperdebatkan. Banyak kepemilikan yang masih tumpang tindih, kepastian hukum dan dominasi oleh kelompok elite tertentu yang tidak ditangani secara serius, akibatnya anak cucu kita akan akan kesulitan memperoleh tanah. Persoalan pokok agraria yang sekurang-kurangnya meliputi tiga hal :
Pertama, terkait pemilikan dan penguasaan rakyat atas tanah yang sangat timpang serta akses rakyat yang sangat terbatas. Kedua, Akumulasi dan monopoli oleh Pemkot Surabaya oleh sekelompok kecil orang di Republik inipun bukan isapan jempol belaka.
Ketiga, Kuatnya ego sektoral setiap lembaga/kementerian yang mengurusi masalah surat ijo. Ego sektoral ini merupakan cermin dari kebijakan politik hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak sinkron.
Pembangunan agrarian atas IPT atau Surat Ijo dikatakan berhasil, bila mengejawantah dalam bentuk tercapainya optimalisasi fungsi hak-hak agraria sesuai kepentingan rakyat, bangsa, dan negara dalam konteks perkembangan zaman.Revolusi Agraria yang mencakup bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sebagaimana diatur didalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 maupun UUPA.
Beragam persoalan yang telah terjadi menunjukkan bahwa masalah agraria bukanlah persoalan teknis belaka, melainkan persoalan struktural yang akarnya pada ketimpangan sosial. Salah satu contoh kasus yang belum kunjung terselesaikanadalah kasus surat ijo yang terjadi di Surabaya Jawa Timur. Penantian panjang warga Surabaya untuk memperjuangkan hak kepemilikan tanah sampai sekarang belum ada solusi yang pasti. Tanah dan bangunan yang sudahdirawat dan bangun dengan keringat dan darah diakui menjadi aset Pemerintah Kota Surabaya.
Dalam sejarah pertanahan hanya di Surabaya, pemerintah Kota bisa menguasai hak rakyat dan pungutan berlapis pun tiap tahun harus dibayar mahal oleh rakyat Surabaya mulai dari sewa hingga pajaknya. Hampir 40 persen warga Surabaya dengan bukti kemilikan sementara memegang surat ijo (ijin pemakaian tanah) dari Pemerintah Kota Surabaya. Ada sekitar 53.811 persil yang tersebut dan tersebar diseluruh kecamatan di Surabaya dengan luas hampir 9 juta meter persegi, dengan beban penduduk sekitar lebih dari 500.000 jiwa.
Pihak Pemerintak Kota/Walikota Surabaya sebagai otoritas hanya bersandar pada Perda yang diperkuat dengan HPL serta dari pihak BPN yang juga tidak mampu memberikan jawaban pasti. Dua institusi itu, yang seharusnya hadir untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat seolah malah berada pada posisi menentang kepentingan dan kebutuhan rakyat. Upaya warga dengan membuat pengaduan kepada wakil rakyat, Gubernur, Walikota, bahkan Presiden serta BPN dan berbagai instansi terkait lainnya masih menghadapi masalah teknis.
Sebenarnya solusi untuk memyelesaikan surat ijo bisa melalui Kejaksaan dan duduk satu meja antar rakyat, pemerintah dan peradilan.
Surabaya, 10 Juli 2020
M.Mufti Mubarok
Ketua Umum DPP PUKAT (Pusat kajian dan Advokasi Tanah)