Catatan Seputar Pencegahan Perkawinan Anak

  • Whatsapp

Oleh: H. A. Zahri, S.H, M.HI
(Ketua Pengadilan Agama Trenggalek)

A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai pencegahan perkawinan anak mulai marak sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Semula batas minimal usia menikah bagi perempuan umur 16 tahun dan laki-laki umur 19 tahun, menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun prempuan.
Bagi catin (calon pengantin) yang hendak menikah belum genap umur 19 tahun, orang tua mereka harus mengajukan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan. Untuk yang beragama Islam ke Pengadilan Agama dan Non Muslim ke Pengadilan Negeri. Permohonan dimaksud harus didukung oleh alasan yang mendesak dan tetap menjamin dipenuhinya hak-hak anak.

Amandemen undang-undang perkawinan dengan menaikkan umur layak kawin bagi perempuan dari 16 menjadi 19 dimaksudkan antara lain untuk menurunkan angka perkawinan anak . Namun ada fakta yang cukup mengagetkan, yakni kenaikan angka permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama yang meningkat tajam, sekitar 300 % . Menurut data Badan Peradilan Agama MARI permohonan dispensasi kawin tahun 2019 sejumlah 25.282 kasus, melonjak menjadi 65.302 kasus di tahun 2020.

Lonjakan angka dispensasi kawin di Pengadilan Agama, meskipun bukan indikator tunggal naiknya angka perkawinan anak, memicu kehebohan di kalangan pemangku kepentingan, khususnya kementerian/lembaga dan LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan anak dan perempuan.

Berbagai upaya pihak berwenang untuk mencegah perkawinan anak terlihat marak dan massif, mulai tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Ada diskusi, seminar, sarasehan, sosialisasi, loka karya, workshop dsb. baik secara daring maupun luring. Dari beragam kegiatan dengan tema besar pencegahan perkawinan anak tersebut lahir surat keputusan, surat ederan, kebijakan, pernyataan sikap, kesimpulan, rekomendasi serta bentuk lainnya.
Salah satu dokumen penting yang dideklrasikan sebagai rujukan kebijakan nasional pencegahan perkawinan anak adalah STRANAS PPA (Strategi Nasional Pencegahan Pekawinan Anak) yang dibuat oleh kementerian PPN/BAPENAS. Dokumen ini telah diimplementasikan secara luas lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, antara lain dalam bentuk peraturan menteri, edaran gubernur, peraturan bupati dll.

Meskipun dokumen STRANAS PPA disusun oleh para ahli di Bappenas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang didukung Program Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) dan Program MAMPU yang merupakan program kerja sama pemerintah Indonesia dan Australia, UNFPA, dan UNICEF, namun karena dokumen ini buatan manusia, bukan kitab suci, tentu masih ada ruang untuk dikritisi. Setidaknya ada tiga hal yang penulis bedah dengan perspektif lain sebagaimana uraian berikut:
B. Menyoal Nomenklatur Pencegahan Perkawinan Anak
Bangsa Indonesia yang terkenal religius senantiasa mengkaitkan aktifitas kesehariannya dengan norma agama, terlebih pada momen istimewa seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Salah satu implementasi norma agama biasanya nampak pada setiap produk perundang-undangan. Sebut saja Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 2 ayat 1 berbunyi, “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dengan kata lan, sahnya sebuah perkawinan manakala dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama, yakni syarat dan rukunnya telah terpenuhi sesuai agama pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan.
Di Indonesia lembaga perkawinan merupakan lembaga yang sakral dan dijujung tinggi oleh umat beragama, bahkan dalam Islam disebut mitsaqon gholidho (ikatan yang sangat kuat), disejajarkan dengan perjanjian para rasul dan Allah swt. Bagaimana kemudian hubungan yang mulia dan halal itu dibenturkan dengan narasi pencegahan perkawinan anak, hal yang mulia dan halal kok dicegah?

Dokumen STRANAS PPA memang oke dan layak dijadikan rujukan oleh pemangku kepentingan karena dibangun dengan argumentasi yang kuat, diramu dari hasil riset dari berbagai lembaga dan dilengkapi dengan data-data yang valid. Namun sayang menggunakan narasi pencegahan perkawinan, bukan pendewasaan perkawinan.
Karena narasinya pencegahan perkawinan, maka muncul persoalan seolah-olah strategi ini melarang orang kawin, bahkan perkawinan anak itu dikesankan sejajar dengan kejahatan korupsi atau penyalahgunaan narkoba yang harus dihabisi. Padahal, perkawinan anak sesungguhnya adalah suatu akibat dari situasi dan kondisi atau nilai-nilai pengungkit yang memicu perwujudannya dan hakikatnya bukan barang haram.

Pada perspektif lain, ada narasi yang lebih cocok untuk masalah ini, yakni pendewasaan usia perkawinan. Pendewasaan Usia Perkawinan atau disingkat (PUP) adalah upaya atau cara yang dilakukan untuk meningkatkan usia perkawinan pertama hingga mencapai usia yang ideal. Tentunya bukan sekedar hanya menunda sampai pada usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar perkawinan dilakukan pada pasangan yang sudah siap secara mental maupun materi, sudah dewasa dan mampu segi ekonomi, kesehatan, emosional dsb.
Mencegah berkonotasi negatif dan dapat dipastikan menuai reaksi yang tidak diinginkan, sementara pendewasaan berkonotasi positip dan lebih berpotensi mendapat dukungn luas. Saat ini, (zaman digital) suatu istilah/narasi memiliki pengaruh pada pembentukan pola pikir dan tingkah laku, narasi positip akan memberikan energi positip kepada pembaca/pendengarnya dan sebaliknya.

Jika ditengarai ada beberapa faktor yang berkontribusi memicu perkawinan anak, maka faktor-faktor itu pula yang dijadikan penghambat upaya pendewasaan perkawinan. Semula menjadi pemicu sekarang menjadi penghambat, yang dicegah bukan perkawinannya, tapi penghambatnya. Faktor – foktor penghambat itu yang harus diatasi secara serius, sistematis dan berkesinambungan. Dikelola dengan strategi yang jitu dan membumi sehingga anak terbebas dari faktor penghambat perkawinan dan terpenuhi hak-haknya dan mendapat perlindungan yang memadahi.
Beberapa foktor pemicu perkawinan anak (baca: penghambat pendewasaan perkawinan) yang sering diangkat oleh pemangku kepentingan dan media antara lain: kemiskinan, rendahnya akses pendidikan, budaya, ketidaksetaraan gender, ketiadaan akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif, geografis, pengaruh Medsos, bahkan belakangan juga dikaitkan dengan wabah Covid 19.
Bila faktor-faktor tersebut tidak diatasi dengan sungguh-sungguh, akibat buruknya bukan semata pada perkawinan anak, tapi kepada banyak aspek. Kemiskinan bisa berdampak pada stunting, akses pendidikan yang terbatas menyebabkan putus sekolah, pengaruh negatif medsos menimbulkan dampak pergaulan bebas muda-mudi bahkan hamil di luar nikah dsb. Jadi tidak fair kalau foktor-faktor tersebut hanya berdampak kepada perkawinan anak, kalau endingnya itu kawin masih mending, bagaimana kalau seks bebas tanpa batas.
Sekali lagi, untuk menghindai kesan negatif dan agar lebih mudah diterima masyarakat, khususnya masyarakat marginal, serta lebih elegan dan proporsional, sebaiknya dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (STRANAS PPA) diubah narasinnya menjadi Strategi Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan (STRANAS PUP). Dua narasi yang serupa, tapi tidak sama. Pencegahan perkawinan berfokus kepada yang dicegah, sementara pendewasaan fokus kepada hambatannya. Narasi pencegahan perkawinan hanya cocok di dunia peradilan karena memiliki karaker khusus dan jangkauan tertentu.
Dari pengalaman beberapa negara dan kawasan tertentu di Indonesia (DKI dan DIY) dapat dikemukakan bahwa bila kemakmuran sudah merata, tingkat pendidikan warganya sudah maju, layanan kesehatan dapat diakses dengan mudah dan murah, tidak ada wilayah yang teresolasi, maka dengan sendirinya orang tidak ingin cepat menikah sebelum siap lahir batin.
C. Batas Usia Anak
Dalam dokumen STRANAS PPA manusia hanya dibagi 2 (dua) anak dan dewasa. Pembagian demikian terkesan rigit. Bila menikan dibawah 18 tahun disebut perkawinan anak, di atas 18 tahun perkawinan dewasa, meskipun boleh jadi hanya terpaut hitungan bulan bahkan hari. Tidak mengenal perkawinan remaja.
Hal demikian tentu dapat dipahami karena rujukan yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat 1 undang-undang tersebut menggariskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun karena STRANAS PPA bukan dokumen hukum yang pedekatannya cendrung hitam putih, tapi dokumen kebijakan yang berorientasi pada rekayasa sosial (social engineering) dalam arti positip, yakni mengubah pola pikir dan budaya berkemajuan, maka seyogianya mengggunakan pendekatan yang lebih fleksibel.

Batasan umur dewasa dalam dunia hukum saja berbeda-beda sesuai dengan fungsinya, mulai 15 tahun, 17 tahun, 18 tahun, 19 tahun dan 21 tahun. Dalam Hukum Acara Perdata seorang yang telah berumur 15 tahun dianggap telah memiliki kecakapan sebagai saksi fakta. Hal demikian terdapat pada ketentuan Pasal 145 HIR bahwa tidak dapat didengar sebagai saksi anak-anak yang tidak diketahui benar telah umur 15 (lima belas tahun). Sudah jadi pengetahuan umum bahwa untuk memperoleh SIM, dapat ikut menyoblos di Pemilu minimal 17 tahun. Sementara dianggap dewasa menurut undang- undang perlindungan anak, jabatan notaris, pidana anak dll harus mencapai umur 18 tahun.
Batasan perkawinan anak pada usia kurang dari 18 tahun tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, baik sebelum revisi maupun setelah revisi. Setelah diamandemen pada pasal 7 usia menikah laki-laki dan perempuan 19 tahun, maka dalam hal ini disebut anak jika umurnya kurang dari 19 tahun. Hal mana sesuai Perma Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 1 ayat 1 “Anak adalah seorang yang belum berusia 19 tahun atau belum pernah kawin menurut peraturan perundang-undangan.” Meskipun telah berumur 18 tahun belum dianggap cakap bertindak di depan pengadilan, dalam hal ini mengajukan permohonan Dispensasi Kawin sehingga orang tuanya yang bertindak sebagai pemohon.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan dewasa jika sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin. Bahkan dalam undang-undang perkawinan umur 19 tahun itu dewasa dalam hal diizinkah menikah saja, pada fungsi atau keperluan lain tidak serta merta berlaku. Meskipun 19 tahun boleh menikah, akan tetapi untuk menikah harus izin orang tua secara tertulis jika belum berusia 21 tahun, bilamana orang tua tidak mengizinkan harus mengajukan izin kawin ke pengadilan. Hal demikian dapat dimaknai umur kurang dari 21 tahun masih dianggap setengah dewasa atau pra dewasa/remaja.
Demikian pula dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam mengenai umur dewasa. Seseorang yang masih dibawah umur 21 tahun orang tua berkewajiban memenuhi nafkah untuknya, demikian pula terkait dengan perwalian.
Kiranya lebih fleksibel jika dokumen STRANAS PPA yang seharusnya diubah STRANAS PUP, menggunakan narasi perkawinan anak dan perkawinan remaja. Dibawah 15 tahun dikatagorikan perkawinan anak, 15 tahun sampai 19 tahun perkawinan remaja. Dengan demikian akan terkesan lebih ramah kepada anak dan orang tua.
Saat ini menikah di usia 19 tahun itu belum ideal, idealnya barangkali sesuai anjuran Gubernur Jatim melalui Surat Edaran Nomor 810 Tahun 2021, tanggal 18 Januari 2021 yang ditujukan kepada para bupati dan wali kota, yakni perempuan umur 21 tahun dan laki-laki umur 25 tahun.

D. Wacana Ektrim
Narasi yang dibangun oleh banyak pihak merujuk pada dokumen STRANAS PPA dan mungkin sumber lain bahwa perkawinan anak adalah merupakan satu bentuk kekerasan terhadap anak sekaligus pelanggaran terhadap hak dasar anak. Bagaimana bisa disebut bentuk kekerasan dan pelanggaran bilamana mereka sudah saling cinta dan siap menikah meskipun barangkali catin (calon pengantin) perempuan belum genap usia 18 tahun sementara catin pria sudah dewasa (umur 25 tahun).
Pada tanggal 7 -8 April 2021 penulis mengikuti workshop pencegahan perkawinan anak atas undangan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. Dalam workshop tersebut semua nara sumber dan hampir seluruh peserta sepakat bahwa perkawinan anak itu bentuk pelanggaran hak anak, bahkan yang lebih dahsyat pendapat salah seorang peserta dari organisasi wanita Islam yang mengemukakan bahwa dalam organisasinya perkawinan anak dikatagorikan bentuk kejahatan.
Lembaga perkawinan yang suci dan sakral, lalu dikatagorikan sebuah pelanggaran apalagi kejahatan meskipun dilakukan orang yang belum berusia 18 tahun adalah bentuk narasi ektrim. Dari sudut pandang Islam pelanggaran, apalagi kejahatan merupakan perbuatan batil/mungkar, sementara pernikahan adalah bentuk ibadah.
Pada workshop tersebut semua nara sumber memaparkan kejelekan dan keburukan perkawinan anak, tidak ada yang menjelaskan sedikit kebaikan pernikahan anak. Bahkan yang unik ada seorang nara sumber yang alim di bidangnya menceritakan bahwa ibunya dulu ketika menikah umur 14 tahun. Meskipun demikian beliau juga tidak menyinggung barang sepatahpun tentang kelebihan perkawinan anak.
Semua tindakan, apalagi sejalan dengan ajaran agama tidak mungkin tak ada maslahah sedikutpun. Minuman keras dan judi yang jelas bertentangan dengan norma agama dan akal sehat disebut oleh al Qur’an masih ada manfaatnya, hanya kerusakannnya lebih besar dari manfaatnya (vide: al Baqarah ayat 219) sehingga diharamkan.
Narasi atau wacana pencegahan perkawinan anak kelihatan lebih adil jika manfaatnya juga dikemukakan, meskipun karena madaratnya lebih besar harus kita hindari. Sekedar contoh kelebihan kawin muada, bahwa kawin di usia muda akan memberikan keuntungan di hari tua, antara lain ketika pensiun anak sudah mapan semua, lebih leluasa mengatur kelahiran karena memiliki rentang waktu yang lebih panjang dll. Itulah fakta sejarah yang dilakukan Rasulullah saw dengan Aisyah ra, Utsman bin Affan dengan Naila, yang terkenal dengan kisah cinta sejati Naila.
Secara subtansi penulis setuju pencegahan perkawinan anak, mekipun lebih nyaman menggunakan narasi pendewasaan usia perkawinan. Agar lebih berhasil, disamping merevisi nomenklaturnya juga kontennya dibuat berimbang. Dikemukakan sedikit manfaatnya dan segudang madaratnya atau dampak buruknya dari berbagai aspek.
Jika kita menggunakan wacana pendewasaan usia perkawinan dan fokus garapan pada hilir, maka upaya kita menjadi porposional dan bermartabat. Persolan mana hulu dan hilir dalam kasus ini tergantung sudut pandangnya. Dari sudut pandang esksekutif hulu tentu berada pada tataran pembuat regulasi dan hilir ada di sekitar kehidupan anak: orang tua, budaya, akses pendidkan dan kesahatan serta ekonomi keluarga. Dari sisi lembaga yudikatif, khususnya hakim yang menangani perkara dispensasi kawin, hulu adalah masyarakat dan hilir adalah hakim/pengadilan.
Pencegahan perkawinan anak dan pendewasaan usia perkawinan meskipun serupa tapi tidak sama karena memiliki fokus yang berbeda. Pencegahan cendrung bersifat “kroyokan” yang melibatkan semua kekuatan dengan peran yang terkadang tumpang tindih karena batas-batas kewenangan menjadi bias. STRANAS PPA meniscayakan keberhasilan pencegahan perkawian perlu melibatkan 18 kementerian/lembaga, pemerintah daerah, LSM media massa bahkan peradilan. Berbeda sekiranya jika narasi yang digunakan adalah pendewasaan usia perkawinan. Pendewasaan itu upaya preventif – produktif, masing-masing stakeholder bekerja sesuai dengan tupoksinya sehingga tidak terjadi overlapping.
Setelah amandemen undang-undang perkawinan, catin yang hendak kawin belum mencapai umur 19 tahun akan ditolak pihak eksekutif dalam hal ini KUA atau Kantor Catatan Sipil, selanjutnya bilamana mereka masih memaksa hendak kawin maka orang tua catin harus mengajukan dispensasi kawin ke pengadilan. Dalam hal ini ada dua proses, proses di eksekutif dan proses di yudikatif. Semestinya sebelum proses penolakan di KUA dan Capil pihak eksekutif mengoptimalkan kerja mereka dengan kekuatan penuh. Jika satu dan lain hal harus berlanjut ke ranah yudikatif, maka seyogianya eksekutif sudah tidak perlu ikut campur. Yudikatif, dalam hal ini pengadilan telah memiliki mekanisme penyelesaian yang jelas dan pasti sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin merupakan respon yang cepat dan serius dari Mahkamah Agung RI terhadap hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Terhitung cepat karena hanya berselang waktu sekitar 35 hari. Lazimnya aturan teknis yang merupakan tindak lanjut/penjabaran sebuah undang-undang memakan waktu yang lama, sering baru kelar dalam hitungan tahun. Serius karena banyak melahirkan norma baru dalam Hukukm Acara Perdata, khususnya dalam hukum keluarga yang selama ini belum diatur, amandeman hanya satu pasal direspon dengan Perma 24 pasal.

Hemat penulis, semangat pihak eksekutif mengejar target penurunan angka perkawinan anak dari 10,82 % pada tahun 2019 menjadi 8, 74 % pada 2024 sesuai target yang ada di RPJMN 2024 tak perlu memaksakan diri menarik yudikatif memasuki ranahnya, karena sejak reformasi Indonesia tiga pilar kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) telah dipisahkan (separation of powers) ala trias politika. Masih diperkenankan sebatas komunikasi dan koordinasi, tapi perlu hati-hati jika sampai taraf membuat MOU apalagi TOT untuk hakim yang dilaksanaka pemerintah daerah, di khawatirkan muncul konflik kepentingan. Wallahu a’lam bishawab.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait