Etika memang masih persoalan mendasar, mengacu pada uji kompetensi jurnalis yang diwajibkan Dewan Pers kepada jurnalis Indonesia, etika bukan hanya dilihat pada karya jurnalistik yang harus memenuhi prinsip dan etika jurnalisme. Namun justru dimulai dari cara pikir sang jurnalis. Prilakunya sehari-hari, hingga caranya bertanya pada narasumber.
Prinsip dasar jurnalistik tentu saja mencari kebenaran yang merupakan tujuan dari profesi ini. Mulai dari caranya memilih narasumber, mewawancarai hingga saat dia menulis hasil liputannya sebagai berita. Seharusnya seorang jurnalis mencari dan menggali informasi selengkap mungkin sebelum kemudian menjadikannya berita. Sayangnya, tak semua jurnalis memiliki kemampuan ini. Inilah konflik pribadi dalam dirinya. Menulis dengan benar dan akurat. Konflik lain datang dari luar yang bisa mempengaruhi nuraninya. Mempengaruhi etikanya. Suap hingga pemerasan juga sering dialamatkan pada profesi ini. Independensi dan integritas sebenarnya adalah jawabannya, namun pada prakteknya justru jauh panggang dari api.
Tahun 2012, selama Juni hingga Desember, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon, melakukan survey pada lima media cetak di Ambon, untuk mengetahui berapa banyak karya jurnalistik yang melanggar aturan etika, hasilnya, dari lima Koran tersebut, 57 persen hanya memiliki satu narasumber (tidak cover bothside). 23 persen menulis identitas korban dan pelaku anak/perempuan secara jelas, termasuk di dalamnya gambar foto yang tidak disamarkan. 13 persen bersifat menyerang seseorang atau suatu pihak dan 7 persen menulis berita anonym, tanpa narasumber yang jelas.
Survey Dewan Pers sebelumnya secara nasional, menyebutkan dari sekitar 40 ribu jurnalis Indonesia, hanya 20 persen atau sekitar 8.000 orang saja yang paham Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers No 40/tahun 1999.
Dilema ini kian menjadi-jadi ketika jurnalis lapangan yang masih sibuk menjaga idealismenya justru harus diperhadapkan dengan kepentingan Negara (nasionalisme), kepentingan dan keberpihakan pemodal/ pemilik media (rating/oplah/kedudukan) dan kepentingan public (kebenaran).
Semua kepentingan ini kemudian bisa berbenturan dan menyebabkan konflik semakin melebar. Jurnalis yang menulis berita memilih narasumber yang tidak sesuai dan cenderung berpihak pada kepentingan pemilik media bisa menjadi bumerang jika terjadi pencemaran nama baik dan berujung pada kriminalisasi pers atau tindakan kekerasan. Pelanggaran etika dengan agenda setting media massa juga bisa berujung pada kekerasan. Media dan jurnalis yang berpihak pada kepentingan tertentu resisten terhadap kekerasan. Di sisi lain, jurnalis yang idealis dan cenderung menjalankan prinsip jurnalisme sesuai aturan etika pun kerap kali menjadi korban ancaman, intimidasi bahkan pembunuhan hanya karena ingin mengungkap kebenaran.
Etika dan keamanan jurnalis ibarat dua mata pedang yang saling berkait, meski UU Pers telah mengamanatkan perlindungan hukum pada jurnalis pada Pasal 8 UU Pers menyebutkan,’’Dalam menjalankan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum’’. Namun tetap saja perlindungan hukum dari Negara tidaklah maksimal. Tugas jurnalis dalam melaksanakan fungsi profesinya yakni mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi seringkali diabaikan banyak pihak bahkan oleh penegak hukum. Ada oknum TNI/Polri yang mengintimidasi, menghalang-halangi hingga membunuh jurnalis karena berita. Di sisi lain, pelanggaran etika jurnalis juga menjadi pemicu meningginya angka kekerasan terhadap jurnalis. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditetapkan Dewan Pers pada tahun 2006 lalu.
Karena itu menjadi tanggungjawab LBH Pers Ambon, untuk dapat meminimalisir tingkat kekerasan dan kriminalisasi terhadap pers dan mengadvokasi kasus pers, tidak hanya melalui proses hukum atau litigasi namun juga melalui upaya non litigasi, mengkampanyekan peningkatan pemahaman etika pers dan hukum pers untuk berbagai kalangan, termasuk memberi pelatihan kepada jurnalis tentang kode etik jurnalistik dan keamanan jurnalis dalam meliput di lapangan.
Untuk kepentingan itulah LBH Pers Ambon menggelar training untuk jurnalis, Training Ethics And Safety Journalism, Pers Ideal, Pers Beretika dan Keamanan Jurnalis . Training ini merupakan rangkaian program kerja LBH Pers Ambon yang dibantu Yayasan TIFA di empat kota di Maluku, salah satunya di Kota Namlea, Pulau Buru yang digelar pada 23-24 September 2016 dengan peserta sebanyak 20 orang. Dua Pemateri dihadirkan dalam kegiatan ini yakni ahli pers Dewan Pers Abdullah Alamudi dan Dewan Penasehat LBH Pers Ambon, Almudatsir Sangadji.
Kegiatan ini bertujuan, meningkatkan pemahaman penerapan kode etik jurnalistik bagi jurnalis dalam melaksanakan tugas profesinya. Meningkatkan pemahaman keamanan jurnalis dalam menjalankan tugas lapangan dan meningkatkan pemahaman hak dan kewajiban jurnalis dan posisinya dalam hukum pers. **