SURABAYA, Beritalima.com |
Deby Fapyane merupakan alumnus Fakutas Farmasi UNAIR angkatan 2005. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di iNANO, Aarhus University Denmark, pada bidang Nanoscience. Selama menempuh gelar Ph.D-nya, Deby kerap mengikuti kompetisi Nasional-Internasional dan merebut berbagai penghargaan prestisius.
Berdasar keterangannya, Deby bersama dua temannya telah merintis start-up Cellugy. Bersama Cellugy, dia memperoleh bantuan pendanaan dari pemerintah dan Novo Nordisk Foundation Denmark untuk merealisasikan idenya menjadi produk.
“Kami memperoleh pendanaan dari Uni Eropa sebesar 2.3 juta Euro (40 Milyar IDR) guna membangun skala pilot untuk teknologi kami (Green Deal EIC Grant 2020),” ujar Deby.
Cellugy merupakan start-up yang bergerak dalam bidang produksi biomaterial dari proses biotransformasi. Pada tahun 2019, Cellugy terpilih sebagai finalis dalam ajang Ocean Plastic Challenge 2019, yang diselenggarakan oleh National Geographic di Washington (USA). Cellugy berhasil keluar sebagai juara II dan memperoleh investasi dari Sky Ocean venture (UK).
Bekerja sebagai postdoctoral researcher di Aarhus University Centre of Water Technology (WATEC), Denmark, Deby dipercayai untuk menggarap bidang pembuatan mikro-sensor untuk deteksi gas dan molekul kimia.
Menurutnya, proyek yang dikerjakan di WATEC akan menggabungkan beberapa bidang dan juga bekerjasama dengan Grundfos (perusahaan pompa air terbesar di Denmark, red) dan UniSense (perusahaan mikro-sensor di Denmark).
Sebagai postdoctoral researcher dan menjadi bagian penting dari start-up terkemuka Cellugy. Deby merupakan sosok yang aktif dalam organisasi ‘Women in Science’ dan turut aktif mempromosikan wanita dalam karir di bidang sains, baik di industri, akademis maupun menjadi wirausahawan.
“Saya berperan sebagai CSO (Chief Scientific Officer) di Cellugy. Pada posisi ini, saya bertanggung jawab dalam organisasi bidang sains/teknologi, manajemen paten, dan transfer skala lab ke skala pilot untuk produksi,” jelasnya.
Menurut pengakuannya, berkat pengalaman berorganisasi sembari menjadi volunteer dia memperoleh banyak ilmu baru, terutama bekerja sama dan memahami teman beda bangsa. Hal itu dapat diterapkannya selama studi Master di Korea Selatan dan Doktor di Denmark.
Bagi Deby, menjadi seorang perempuan juga harus bisa menunjukkan kemampuan yang dimiliki, bukan hanya membendungnya. Terlebih saat ini merupakan era digital yang membuat semua orang dari belahan dunia manapun dapat berinteraksi dengan sangat mudah.
Menurutnya, hal paling menantang ketika berkarir adalah saat dia berada di lingkungan start-up. Sebagai seorang periset yang awam tentang bisnis dan finansial, dia dipaksa masuk ke dalam lingkungan pebisnis.
“Ya saya harus belajar banyak hal tentang bisnis dan finansial. Serta belajar bagaimana mengkomunikasikan ide sains agar dapat dimengerti banyak orang. Selain itu juga melatih seni bernegosiasi dengan banyak orang, seperti investor, collaborator dan customer,” pungkasnya. (yul)