JAKARTA, Beritalima.com– DPR RI serta Partai Politik (Parpol) tengah mengalami krisis besar, krisis kepercayaan yang sangat luar biasa pasca Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10) yang mengakibatkan aksi penolakan serentak dimana-mana sehingga menimbulkan kerusuhan.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gelombang Rakyat (Gelora), Fahri Hamzah dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, MInggu (11/10) mengatakan, dirinya tidak mengerti anggota DPR RI 2019-2024 bekerja untuk rakyat atau kepentingan lain.
“Ini adalah krisis besar partai politik, krisis besar dalam lembaga perwakilan. Kita tidak mengetahui mazhab atau falsafah dibelakang Omnibus Law Ciptaker ini, tiba-tiba menjadi rencana dalam program legislasi nasional, dan tiba-tiba kita tahu sudah disahkan menjadi UU” papar Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kesara) tersebut.
Menurut Fahri, kasus Omnibus Law yang sekarang ramai dibicarakan sebagai puncak dari sistem perwakilan, apakah lembaga perwakilan tersebut wujud kedaulatan rakyat atau perwakilan kepentingan parpol dan kepentingan lain.
“Di buku putih yang membahas dilema ‘Daulat Partai Politik vs Daulat Rakyat saya tulis secara terang benderang karena saya mengalami sendiri soal krisis partai politik dan krisis lembaga perwakilan itu,” ungkap Fahri.
Karena itu, Fahri mengaku, tidak mau terjebak dalam menyikapi pro kontra soal UU Omnibus Law Ciptaker. Karena, baik yang menolak maupun mendukung UU itu, semuanya dikendalikan ketua umum parpol yang melakukan ‘deal-deal politik’ dan mengambil untung dari peristiwa ini.
“Karena itu, saya tidak mau terjebak dengan kemarahan. Baik yang mengklaim dirinya bersama rakyat maupun tidak bersama rakyat, itu semua orang-orangnya dikendalikan partai politik, tidak dikendalikan aspirasi rakyat. Parpol yang sedang mengambil untung dari peristiwa ini,” laki-laki kelahiran Sumbawa ini.
Jadi, apabila parpol yang tiba-tiba ada dipihak rakyat atau tadinya mendukung dan diujungnya menolak, menurut Fahri, semua juga dikendalikan parpol masing-masing, bukan murni aspirasi rakyat, karena mempertimbangkan ‘untung-rugi’ dari sebuah peristiwa politik.
“Independensi anggota DPR RI atau kedaulatan rakyat, sudah tak ada lagi digantikan wakil parpol. Ketum, waketum, sekjen, bedum sangat power full sekali, tinggal telepon kalau ada transaksi sehingga konstituensi menjadi tidak penting lagi ketika sudah dikendalikan oleh partai politik. Ini seperti lingkaran setan.”
Mata rantai Lingkaran Setan tersebut, lanjut Fahri, harus diputus dan dihentikan, karena parpol telah mengangkangi pejabat publik, mengendalikan anggota DPR dan juga Presiden. Parpol telah melakukan kegiatan subversif terhadap kedaulatan rakyat.
“Kendali parpol bukan hanya di legislatif, juga eksekutif. Walikota, bupati, gubernur, bahkan juga presiden ditekan. Ini semua harus dihentikan, tidak ada lagi yang harus menjadi petugas partai. Parpol harus menjadi tinktank atau pemikir, memberikan kontribusi kepada pikiran bangsa, bukan mengendalikan wayang-wayang politik yang dipilih rakyat,” kata dia.
Dinilai, kasus Omnibus Law Ciptaker ini bisa menjadi yurispudensi bagi rakyat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan guna memutus mata rantai lingkaran setan kekuatan parpol di legislatif dan eksekutif.
“Lingkaran setan ini harus diputus dan dihentikan. Yurisprudensinya kita ciptakan melalui gugatan ke pengadilan, kewenangan parpol sudah terlalu besar. Saya sedih melihat DPR dan pemerintah terlalu cepat membohongi rakyat, sehingga Omnibus Law ditolak rakyat dimana-mana,” demikian Fahri Hamzah. (akhir)