JAKARTA, Beritalima.com– Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diberikan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi0 kepada PT Krakatau Steel (Persero) bakal sia-sia bila tidak diikuti perbaikan regulasi untuk membendung baja impor dan perbaikan managemen korporasi.
Hal tersebut dikatakan Drs Chairul Anwar Apt dalam keterangan tertulisnya melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com, Sabtu (25/7) sore, setelah wakil rakyat Dapil I Provinsi Riau itu melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi VI DPR RI ke PT Krakatau Steel (Persero) di Cilegon, Provinsi Banten, beberapa hari lalu.
Chairul menjelaskan hasil Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) plat merah tersebut. “Hasil kunjungan kami Cilegon dalam rangka mengecek kesiapan PT Krakatau Steel sebagai salah satu penerima Dana PEN, kami berharap agar dana pinjaman yang diberikan Pemerintah melalui program PEN dengan skema Mandatory Convertible Bond (MCB) Rp 3 triliun benar-benar dimanfaatkan Managemen PT Krakatau Steel serta didukung perbaikan regulasi,” kata Chairul.
Keterpurukan industri baja dalam negeri selama ini, kata politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut akibat Pemerintahan Jokowi membiarkan baja impor masuk tanpa membuat perlindungan terhadap industri baja yang ada di Indonesia.
Menurut Chairul, Pemerintah harus melakukan perbaikan regulasi untuk mendukung Indusri Baja Nasional Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini kondisi Industri baja Indonesia sangat tidak kondusif karena ada serbuan baja impor dari berbagai negara terutama China dengan harga jauh dibawah harga baja lokal.
Akibat maraknya baja impor tersebut, kata Chairul, PT Krakatau Steel terpaksa menghentikan lini produksi wire rod akhir 2018 dan menurunkan produksi section and bar mill sampai 50 pesen. Dampaknya, terjadi pengurangan tenaga kerja 3.500 orang.
Menurut Chairul, ada beberapa regulasi yang perlu diperbaiki dalam usaha memulihkan Industri baja dalam negeri terutama Krakatau steel yakni penerapan pengadaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang ada di PP 10/2012 dengan cara merevisi penjelasan pasal 14 di PP.
“Ini yang menjadi celah masuknya baja impor melalui wilayah Batam dan memberlakukannya di seluruh Indonesia. Dampaknya mengakibatkan utilisasi pabrik baja di Indonesia sangat rendah, hanya mencapai sekitar 43 persen 2019,” jelas Chairul.
Selain perbaikan regulasi, pembenahan managemen di Krakatau Steel juga harus dilakukan terutama untuk meningkatkan efesiensi dan menurunkan pemborosan yang selama ini terjadi.
Langkah mismanagemen jangan terjadi lagi di Krakatau Steel, temuan BPK 2015 dan 2016 tentang ada pemborosan di proyek pabrik baja berteknologi tanur tiup jangan terulang managemen sekarang. ‘Sejatinya 2016 Krakatau Steel juga menerima dana dari Negara berupa PMN Rp 1,5 triliun tetapi tak cukup membantu dan termanfaatkan dengan baik,” ungkap Chairul.
Menurut Chairul Industri baja di Indonesia merupakan Industri strategis yang mempunyai dampak langsung dan efek multiplier. Industri ini harus terus dijaga, karena mempunyai dampak langsung dan efek multiplier, sektor baja menyentuh hampir suluruh sendi kehidupan rakyat, mulai dari industri, transportasi, konstruksi dan fabrikasi.
Jika industri baja mampu mendukung aktifitas ekonomi di berbagai macam Industri termasuk makanan, barang konsumsi, ritel, layanan dan lain-lain, maka akan menghasilkan dampak yang positif bagi seluruh perekonomian Indonesia. “Ke depan, kami berharap Pemerintah memperhatikan industri baja dan mendorong industri baja menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” demikian Drs Chairul Anwar Apt. (akhir)