Jakarta, Cikini Studi pada hari Selasa, 3 Desember 2019 mendatangi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) memberikan surat secara resmi berupa permohonan agar Ombudsman mengawasi kebijakan Pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkait dengan masalah pelayanan lembaga kesehatan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) BPJS, dimana Pemerintah dalam Perpres nya No. 75 Tahun 2019 mencantumkan penjatuhan sanksi denda keterlambatan kepada peserta BPJS yang terlambat membayar iuran.
Adanya sanksi denda keterlambatan membayar iuran tersebut jelas bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XII/2004 tanggal 7 Desember 2015 yang menyatakan peserta BPJS yang terlambat membayar iuran tidak boleh dikenakan denda.
Presiden sebagai pejabat pelayan publik bertanggung jawab atas terbitnya Perpres No. 75 Tahun 2019 terkait denda bagi peserta BPJS yang terlambat membayar iuran.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres No 75 Tahun 2019 untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan alasan untuk mengatasi defisit di BPJS Kesehatan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XII/2004 tanggal 7 Desember 2015, disebutkan dalam Pertimbangan Hukum Majelis Konstitusi:
“Bahwa bagi Peserta BPJS yang terlambat membayar iuran, maka tidak boleh dikenakan denda sebab BPJS bersifat nirlaba, bukan komersial, namun meskipun begitu peserta BPJS tetap harus membayar lunas seluruh tunggakan yang belum dibayar. Adapun bagi peserta yang betul-betul tidak sanggup membayar tunggakan yang ada maka harus ada surat keterangan miskin dari kantor kelurahan/kepala desa sebab bagi yang tidak mampu mereka lebih mengutamakan keperluan konsumsi atau kebutuhan hidup keseharian, sehingga bagi peserta tersebut masuk dalam peserta bebas iuran.”
“Dengan demikian, adanya ketentuan yang mengatur denda apalagi sanksi, dan bahkan dalam penagihannya akan melibatkan pihak kepolisian, adalah perbuatan melawan hukum dan inkonstitusional. Oleh karenanya ketentuan tersebut harus dikoreksi,” kata Ori Rahman SH dari Cikini Studi di Ombudsman RI, Selasa.
Sementara, peneliti Cikini Studi Teddy Mihelde Yamin mengatakan, asas kesetaraan di dalam perlakuan terhadap semua warga negara secara tidak adil, padahal UUD 45 menjamin kesamaan hak semua warga Negara dalam hal jaminan kesehatan dan jaminan sosial. “Faktanya tidak sama. Kesetaraan dalam hal ini tidak diterapkan oleh pemerintah,” kata Teddy Mihelde Yamin.
Perlakuan berbeda itu, contohnya pejabat negara menggunakan pelayanan Jasindo dan BPJS Kesehatan yang berbeda sistem pelayanannya. Jasindo Health Care menggunakan sistem ‘Fee For Service’ sedangkan BPJS Kesehatan menggunakan sistem Managed Care yaitu berjenjang dan rujukan dari Faskes Tingkat 1. Jelas Fee For Service lebih menyenangkan bagi provider yang dikunjungi karena dibayar dengan tarif umum sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. “Jadi setiap pasien akan disambut bagaikan pelanggan hotel. Tidak sebanding dengan apa yang diterima publik. Sebab menurut data kami ini hampir Rp.300 Milyar per tahun dibayar oleh negara untuk para pejabat,” kata Teddy.
Perlakuan dan hak yang berbeda bagi pejabat negara, tidak layak diteruskan. Apakah perlakuan yang adil dengan anggaran negara yang hampir Rp.300 Milyar per tahun digunakan untuk segelitir orang pejabat negara eselon 1 (sekitar 10,000 peserta plus keluarga) sejak tahun 2015, untuk membeli asuransi kesehatan lain di luar BPJS Kesehatan? “Negara telah memperlakukan warganya secara diskriminatif. Uang negara digunakan double cover buat pejabat tinggi. Apakah sebanding anggaran yang dikeluarkan untuk subsidi BPJS Kesehatan yang jumlahnya lebih dari 126 juta peserta? Sebab disinyalir ada alokasi anggaran yang tak adil dan tak terbuka dari uang negara tersebut,” kata Teddy.
Walau berdasarkan penelitian Cikini Studi, tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang penggunaan anggaran negara digunakan berlebihan untuk segelitir orang. Tetapi kuat dugaan uang negara digunakan secara diskriminatif. Pertanyaan lain agar dijelaskan kepada publik, apakah selain dijamin oleh Jasindo, pejabat eselon 1 juga dijamin oleh BPJS Kesehatan?
“Bukankah hal ini bertentangan dengan konstitusi TAP MPR RI No. X / MPR/ 2001 -angka 5 (sosial dan budaya) – huruf a (Pelayanan Kesehatan) – angka 4: MPR menugaskan Presiden mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15% dari APBN, untuk mencapai syarat minimum HDI ( Human Development Index) yang ditetapkan WHO; dan UUD 45 Pasal 28H ayat (3)- Bahwa setiap orang BERHAK atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat,” kata Teddy.
Cikini Studi minta agar ORI mengawasi terhadap kebijakan yang diskriminatif ini, Presiden RI, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, Anggota DPR RI periode 2014-2019, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris harus bertanggung jawab terhadap penggunaan uang negara tersebut, dan kebijakan tersebut harus segera dihentikan.
Cikini Studi berharap agar surat yang diserahkan kepada ORI segera mendapatkan tanggapan, dan ORI bekerja melakukan fungsi pengawasannya yaitu mengkoreksi kebijakan Pemerintah yang melawan hukum dan diskriminatif tersebut, mengingat kebijakan denda keterlambatan bagi peserta BPJS akan mulai diberlakukan bulan Januari 2010, dan kebijakan pelayanan kesehatan yang diskriminatif agar segera diakhiri.
Kontak Person nara sumber: Teddy Mihelde Yamin: 081288910494, Ori Rahman SH: 0818799262
Cikini Studi atau Perkumpulan Cinta Kita Indonesia Studi ditetapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tertanggal 27 September 2019, beralamat di Tamarind Lane Kav. 23 Jl P & K No 1 Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan
Dewan Pendiri Cikini Studi: R Mulia Nasution, Teddy Mihelde Yamin, Dr. Iskandar Zulkarnain, Ori Rahman SH, Rizal Siregar