beritalima.com | Matahari mulai menampakkan sinarnya pada dedaunan di pekarangan rumah. Bercocok tanam adalah kegiatan rutin setiap minggu pagi yang dilakukan oleh keluargaku. Hari yang sangat ditunggu karena aku bisa berkumpul dengan keluarga.
Ya, aku berkata demikian karena aku hanya bisa bertemu Ayah pada akhir pekan saja. Pekerjaan beliau mengharuskan kami tinggal berjauhan. Namun, kami tetap bisa berbincang setiap hari melalui video call. Kemudahan dalam berkomunikasi membuatku merasa tetap dekat dengan Ayah.
Ayah adalah sosok lelaki yang aku jadikan panutan hidupku. Mulai dari cara berpikir, cara menyelesaikan masalah, cara memandang sesuatu, bahkan saat beliau tersenyum. Bisa dikatakan bahwa Ayah adalah cinta pertamaku. Bagiku, cinta pertama tidak hanya sekedar perasaan berdebar saat pertama kali bertemu.
Cinta pertama adalah saat aku pertama kali menemukan seseorang yang bisa membuatku merasa aman dan nyaman saat di dekatnya, dan seseorang itu adalah Ayahku. Bagaimana tidak, Ayah selalu menelepon setiap hari untuk bertukar kabar denganku, menanyakan keseharianku, memastikan aku sudah makan dan salat, dan lain sebagainya. Bila akhir pekan, tentu saja kami bercengkerama secara langsung tanpa melalui telepon.
Sebuah peristiwa membuatku yakin bahwa Ayah adalah cinta pertama yang tak tergantikan. Aku lupa detail peristiwa itu terjadi, tetapi yang pasti malam itu adalah malam minggu. Aku bersama teman-teman kelasku diharuskan mengikuti sebuah workshop fotografi yang berlokasi di salah satu café kawasan Tebet. Aku berangkat dari rumah pukul 16.30 dan sudah konfirmasi ke Ibu bahwa akan pulang larut malam karena workshop baru dimulai pukul 18.30.
Teringat akhir pekan, aku pun menelepon Ayah untuk menjemputku saat acara sudah selesai, yaitu pukul 21.00. Tentu saja Ayah mengiyakan karena akhir pekan adalah jadwalnya untuk pulang ke rumah. Begitu sampai di lokasi workshop tepat pukul 18.30, aku sedikit terkejut karena acara belum dimulai. Ternyata, sedikit mengalami keterlambatan karena narasumber belum sampai di lokasi.
Aku segera menelepon Ayah untuk tidak menjemputku pukul 21.00 karena acara mengalami keterlambatan waktu. Dengan santainya Ayah menjawab, “Ya sudah, nggak apa-apa, nanti Ayah tunggu. Ayah juga belum menuju lokasi, kok.” Aku sedikit lega mendengarnya karena takut Ayah menungguku terlalu lama.
Acara selesai tepat pukul 21.30, aku bergegas keluar café dan menelepon Ayah untuk menjemputku. Namun, sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Handphone ku mati karena kehabisan baterai. Aku sangat bingung, bagaimana cara untuk menghubungi Ayah. Akhirnya, aku meminjam handphone milik salah satu temanku untuk menelepon Ayah.
Saat telepon sudah tersambung, Ayah menyuruhku untuk menengok ke kanan. Benar saja, ternyata Ayah sudah memarkirkan motornya di sebelah café. Aku terkejut dan menghampiri Ayah, “Kok, Ayah udah sampe?” Sambil memberi helm kepadaku, Ayah berkata, “Ayah udah sampe dari jam delapan. Terus, Ayah bingung mau ngapain. Akhirnya makan mie di café tempat acara kamu. Ayah tau kamu udah selesai, tapi pura-pura ngga tau aja.”
Aku sangat senang mendengar jawabannya. Malam itu, saat berboncengan dengan Ayah dan ditemani gemerlap Jakarta, aku sangat bersyukur karena memiliki sosok lelaki seperti Ayah. Sosok yang selalu bisa aku andalkan dimanapun dan kapanpun. Sosok yang akan selalu menjadi cinta pertama anak perempuannya.
(Kanya Anindita Mutiarasari / Politeknik Negeri Jakarta)