Oleh: Dr. Adriani G. A. Tobondo (sosiolog Universitas Kristen Tentena Poso)
Sebutan pemulung sampah tidak asing bagi saya. Jenis pekerjaan ini dengan sendirinya bertumbuh seiring meningkatnya konsumsi rumah tangga dan konsumsi personal.
Perkembangan wilayah dan didorong situasi ekonomi tertentu kemudian berpengaruh terhadap keputusan seseorang menjadi pemulung.
Bagi saya, pemulung sampah adalah pahlawan lingkungan hidup. Ya, ini suatu pengalaman berharga bertemu 5 orang Ibu-ibu berprofesi sebagai “pemulung” di Kabupaten Poso.
Selasa 17 Januari 2017. Para ibu pemulung menanyakan darimana asal saya dan apakah berasal dari media massa. Kemudian mereka menolak untuk difoto, karena alasan malu untuk ditahu orang lain yang mengenal mereka. Saya pun tidak memotret mereka untuk menghargai perasaan dan menjalin komitmen selama berdiskusi.
Disela-sela perbincangan, saya berpesan “Jangan malu Bu untuk pekerjaan sebagai pemulung, pekerjaan ini penting dan Ibu-ibu adalah Pahlawan Lingkungan Hidup.
Saya datang disini terdorong untuk mengubah hidup Ibu-ibu jauh lebih baik. Saya akan memberikan pengetahuan semudah mungkin untuk dipahami dan didukung oleh mereka yang memiliki kepakaran dibidangnya dengan dukungan penuh serta mendapat respon pimpinan sangat cepat, saya akan datang lagi tapi tidak sendiri. Mereka pegiat sosial, Bu. Mohon ini disambut positif”
Meninggalkan para ibu di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA), membuat hati dan jantung saya bergetar, sebab saya lahir dari rahim perempuan dan menikah dengan seorang perempuan., kemudian beberapa dari kaum mereka (perempuan) berjuang memperoleh kehidupan yang layak ditengah ketidakberuntungan hidup yang harus dialami mereka dan memposisikan mereka bekerja sebagai pemulung. Jujur ini adalah pekerjaan berat untuk mengubah hidup mereka jauh lebih baik, tetapi ini harus segera dimulai.