Direktur Gender Affairs Program Colombo Plan, Bandana Shresta mengatakan, event Colombo Plan kali ini diikuti oleh 18 peserta dari 13 negara. Di antaranya datang dari Iran, Bhutan, Maladewa, Sri Lanka, Pakistan, Myanmar dan Bangladesh. Serta, dari Malaysia, Filipina, Vietnam, Nepal, Fiji dan Indonesia.
Menurut Shresta, meski sedikit berbeda dalam hal kondisi ekonomi, sistem politik, kultur dan agama, namun seluruh peserta menghadapi tantangan yang hampir sama. Yakni, masalah pemberdayaan perempuan dan kepemimpinan. Untuk itulah Colombo Plan di Surabaya mengambil tema Sharing Best Practices and Experiences on Women and Leadership.
“Secara keseluruhan para peserta terkesan soal pemberdayaan perempuan, partisipasi perempuan dalam bidang politik, serta kader perempuan yang bekerja secara sukarela. Itulah hal-hal penting yang bisa dipelajari dari Surabaya,” ungkap Shresta di sela-sela acara penerimaan oleh walikota di balai kota Surabaya, Jumat (23/9).
Wanita berkebangsaan Nepal ini berharap, nilai-nilai positif dari Kota Pahlawan dapat dibawa pulang ke negara masing-masing untuk diterapkan menjadi sesuatu yang berguna bagi masyarakat.
Pada kesempatan tersebut, Walikota Tri Rismaharini berbagi pengalaman selama memimpin Surabaya. Dia mengatakan, saat awal menjabat sebagai walikota problem yang dihadapi adalah tingginya angka trafficking. Untuk mengatasi masalah tersebut, Risma -sapaan Tri Rismaharini- bersama TNI dan kepolisian sampai harus merazia diskotek tiap malam.
“Ternyata banyak anak di bawah umur yang berkeliaran di diskotek itu datang dari kawasan lokalisasi. Makanya setelah itu saya fokus memberdayakan ekonomi di kawasan lokalisasi,” ujar mantan Kepala Bappeko ini.
Adapun upaya pemkot memberdayakan ekonomi di kawasan lokalisasi yakni melalui berbagai macam pelatihan. Dari pelatihan tersebut, warga akhirnya memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menambah penghasilan. Setelah ekonominya mandiri, barulah Risma menutup satu per satu lokalisasi di Surabaya. Total ada enam lokalisasi yang berhasil dialihfungsikan oleh Pemkot Surabaya.
Sekarang, lanjut Risma, bangunan yang dulunya dipakai untuk wisma prostitusi beralih fungsi menjadi fasilitas publik. Ada yang berupa perpustakaan maupun broadband learning center (BLC) atau sarana pembelajaran komputer. “Pada akhirnya, fasilitas publik itu mampu memberikan manfaat bagi warga di sekitarnya. Warga bisa menimba ilmu di sana,” imbuhnya.
Selain itu, intervensi ekonomi yang dilakukan pemkot berupa program pahlawan ekonomi. Program yang saat awal digagas hanya diikuti puluhan kelompok itu kini menjelma menjadi poros baru kekuatan ekonomi para ibu rumah tangga. Pada akhir 2015, sudah ada 3.000 kelompok pahlawan ekonomi di seluruh penjuru kota. “Ibu-ibu ini diberi pelatihan sehingga mampu menambah pemasukan bagi keluarganya. Bahkan, sekarang sudah ada yang ekspor produknya ke luar negeri,” urai alumnus ITS ini.
Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan dan Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Titi Eko Rahayu mengungkapkan, pihaknya mengapresiasi Kota Surabaya yang telah sepenuh hati mendukung kesuksesan Colombo Plan. “Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan Pemkot Surabaya. Tentu kami belajar banyak dari Surabaya, salah satunya tentang pemberdayaan ekonomi warga eks-lokalisasi di wilayah Sawahan,” katanya.