Oleh Lutfil Hakim
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa ini nampaknya pas bagi PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HM Sampoerna) – perusahaan sigaret milik Philip Morris International Inc – di tengah pandemic Covid-19. Betapa tidak, isyu penarikan kembali sebagian produksi rokok (product recall) – menyusul sejumlah karyawannya terpapar Covid-19, cukup merisaukan banayak pihak.
Jika isyu liar itu dibiarkan, bisa dipastikan penjualan pabrikan rokok yang berpusat di Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) ini akan merosot tajam. Artinya setoran cukai hasil tembakau (CHT) ke APBN juga akan merosot. Karena HM Sampoerna merupakan salah satu dari tiga raksasa bisnis rokok Indonesia, selain Gudang Garam dan Djarum – sebagai penyetor cukai terbesar. Ketiganya menguasai lebih dari 70% bisnis rokok nasional.
Bahkan perusahaan yang didirikan Liem Seeng Tee (kakek Putera Sampoerna) pada 1913 ini tercatat sebagai market leader di panggung bisnis rokok nasional dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kepemilikan saham dan manajemen sepenuhnya di-handle oleh raksasa sigaret internasional, Philip Morris pada Maret 2005.
Bisa dibayangkan, berapa besar potensi sales decline HM Sampoerna jika isyu liar itu dibiarkan luas meracuni publik. Sehingga wajar jika pihaknya (HM Samapoerna) melakukan klarifikasi (press conference) pada Jumat (2/5/20) lalu, bahwa mustahil produksinya terpapar virus.
HM Sampoerna mengklaim selalu dilakukan ‘karantina produk’ (production quarantine) selama lima hari sebelum dipasarkan. Ini poin paling penting. Karena Covid-19 tidak bisa hidup lama berada di media benda mati.
Selain itu juga diterapkan protocol ketat (sejak lama) kepada karyawan untuk sampai ke fasilitas produksi. Sehingga mustahil ada produk (rokok) terpapar virus, apalagi produk sudah sampai ke konsumen.
Namun rilis berita saja, nampaknya, tidak cukup. Sebab otak publik (pasar) terlanjur parno jika berhubungan dengan Covid-19. Virus paling mematikan abad ini. Perlu strategi khusus menangani crisis communication, terutama yang produknya consumer goods (termasuk rokok).
Menurut ahli komunikasi, Timothy Coombs, krisis adalah persepsi tentang peristiwa yang tidak terduga. Jika gagal ditangani, akan menjadi ancaman harapan bagi pemangku kepentingan, dan berpengaruh signifikan terhadap hasil usaha perusahaan.
Maka itu perlu ada semacam ahli virus dan ahli produk sigaret untuk meyakinkan konsumen saat press conference. Jika perlu pers dibawa ke pabrik. Pemerintah perlu terlibat pada proses klarifikasi, karena ini bagian dari produk nasional dan ikut berperan pada pendaparan negara melalui setoran cukai.
Perlu mencontoh bagaimana pemerintah Amerika Serikat membantu menangani krisis kepercayaan publik pada produk jus apel merek Odwalla (1996) akibat e-coli infection, atau krisis kepercayaan konsumen pada salah satu produk Johnson & Johnson (1982). Pemerintah jangan tinggal diam. Sebab perusahaan rokok selalu ditarget setiap tahunnya untuk menaikkan setoran cukai.
Harus diakui, Coronavirus telah membuat banyak orang takut, dan mengubah rasa takut bukalah persoalan sederhana. Tidak rasional, memang. Tapi faktanya begitu. Kita semua (bukan hanya Philip Morris) menginginkan persepsi publik yang keliru tentang paparan virus di rokok itu segera berakhir. Sebab jika tidak, maka berpotensi mengganggu terhadap pencapaian target setoran cukai pada pendapatan negara 2020.
Sebagai gambaran, pada 2019 total setoran cukai rokok (CHT) nasional ke APBN sebesar Rp164 triliun, atau naik signifikan dari yang ditargetkan Rp158 triliun. Tahun sebelunya (2018) total setoran CHT ke APBN terbukukan Rp153 triliun. Pada 2020 ini ditargetkan naik 23% mejadi sekitar Rp178 triliun – dengan kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%.
Kalau asumsi normal penjualan HM Sampoerna taruhlah 25% saja dari share market, berarti setoran CHT kelompok usaha ini juga 25% dari target total cukai 2020 sebesar Rp178 triliun. Cukup besar bukan. Di sinilah perlunya pemerintah terlibat langsung dalam menormalkan persepsi (sebagian) publik yang keliru terkait isyu liar paparan virus pada produk rokok. Jangan hanya menarget besaran cukai, tapi juga membantu manakala industry sigaret menghadapi masalah.
Double Cover
Secara umum pandemic Covid-19 berpengaruh signifikan terhadap kegiatan ekonomi. Termasuk industri sigaret, meski tidak langsung. Penjualan (rokok) nasional pada 2020 diduga turun drastis akibat dampak sistemik Coronavirus. Turunnya daya beli masyarakat, serta naiknya HJE rokok sebesar 35%, diperkirakan bakal lebih menekan penjualan sigaret di 2020.
Sudah situasi berat, HM Sampoerna masih tertimpa masalah isyu akut yang berkait lansung dengan produksinya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sementara sebelum memasuki pandemic Covid-19, dunia usaha juga sudah agak limbung akibat tren menurunnya tensi perekonomian global yang dipicu beberapa variabel penting. Ibarat pertandingan tinju, HM Sampoerna terkena pukulan double cover.
Sejak wabah Coronavirus merebak di Wuhan (China) pada Januari 2020, saham HM Sampoerna dengan kode HMSP di bursa efek sudah mulai merosot. Pada perdagangan Senin (9/3/20) merupakan yang terparah hingga terkoreksi 4,37%. Menurut catatan sejumlah analis, secara year on year merosotnya harga saham HMSP di bursa hingga Maret 2020 merupakan yang terburuk sejak delapan tahun terakhir.
Belum ada penjelasan resmi dari emiten rokok itu mengenai jebloknya HMSP, kecualai para analis mengakit-kaitnya dengan tren kearah krisis ekonomi global akibat Trade War (China vs AS) dan Covid-19 di Wuhan. Namun anehnya, merebaknya isyu liar terkait produk rokok terpapar virus belum nampak pengaruhnya terhadap perdagangan HMSP di bursa.
Beda kondisinya dengan September 2019 ketika saham –saham emiten rokok terkoreksi (everage) 20%. Saat itu lebih dikarenakan reaksi pasar atas keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 23% dan HJE 35%. Kebijakan ini dinilai memberatkan produsen sekaligus konsumen rokok. Pada tiga bulan 2020, trading saham emiten rokok rata – rata stabil, kecuali HMSP. Mungkin karena HMSP terkait langsung dengan jaringan bisnis Phillip Morris yanag notabene bagian penting dari Amerika Serikat pada konteks Trade War.
Standar Ganda
Lepas dari urusan Coronavirus, Menkeu Sri Mulyani saat mengumumkan kenaikan cukai rokok, September 2019, menyelipkan message bahwa itu dilakukan bukan semata-mata untuk menaikkan pendapatan negara, tapi lebih kepada pengendalian konsumsi rokok untuk kesehatan. Kebijakan cukai dan HJE yang baru diberlakukan mulai awal 2020.
Namun demikian plublik mahfum bahwa pemerintah butuh tambahan pendapatan, setelah target pajak pada 2019 tidak tercapai. Akibatnya industri rokok seolah digencet oleh dua regulasi yang berseberangan. Satu sisi dibatasi aktivitasnya melalaui PP No.109 TH 2012 terkait kesehatan, namun di sisi lain dipaksa untuk menaikkan setoran cukai. Di sini jelas kebijakan pemerintah standar ganda.
Dengan kenaikan 23%, maka target penerimaan cukai rokok pada 2020 menjadi sekitar Rp178 triliun. Nilai ini sungguh dahsyat. Ini baru dari sumbangan cukai, belum termasuk pajak – pajak pada rentetan bisnis rokok dan nilai putaran bisnis rokok itu sendiri. Jika digabung tentu nilainya lebih dahsyat.
Bukan hanya konsumen yang diberatkan, tapi juga produsen. Penerapan skema tarif cukai juga akan berujung pada pertarungan yang tidak sehat di pasar. Di sisi lain, kemampuan pasar sejatinya sudah tidak sesuai dengan besaran target cukai. Tapi pemerintah memaksakan kehendak. Artinya produsen rokok akan berusaha keras mengelola pasar. Namun bisakah mencapai target cukai di tengah pembatasan konsumsi rokok yang diatur melalui PP No.109 TH 2012.
PP ini sebagai kompensasi Indonesia tidak meratifikasi agreement FCTC (Framework Convention on Tobacco Control ) – yakni kesepakatan dunia yang related dengan WHO untuk menekan produk tembakau. Ibarat berenang diantara dua pulau, produsen rokok dipaksa singgah di kedua pantai. Ini bukti bahwa kebijakan pemerintah standar-ganda. Kontroversial. Rokok dibenci pada konteks kesehatan, sekaligus dirindukan pada disisi target setoran cukai.
Membatasi konsumsi rokok – sekaligus menaikkan target perolehan cukainya, sejatinya adalah perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) oleh pemerintah sendiri. Tapi konsumen rokok maklum, karena memang tidak mudah posisi pemerintah dalam konteks ini. Tapi bisakah penerapan PP No.109 TH 2012 khususnya dalam hal pembatasan kawasan bebas asap rokok – sedikit diperlonggar.
Ironis terkadang ketika perokok yang dipaksa menyumbang pendapatan negara melalui cukai, namun ruang merokok terus dipersempit. PT KAI bahkan menutup rapat hak penumpang merokok di KA. Padahal ada putusan MK No.57/PUU-IX/2011 hasil pengujian materi hukum, bahwa tempat umum wajib menyediakan smooking room. Apa susahnya menyediakan satu gerbong untuk smooking room.
Kereta Api merupakan sarana transportasi publik yang dikelola oleh badan usaha milik negara. Bukan oleh sektor privat. Sepanjang negara masih memungut cukai, maka sepanjang itu pula seharusnya terjamin tersedianya smooking room sesuai putusan MK No.57/PUU-IX/2011.
Dilema Tembakau
Tembakau adalah komoditas hasil perkebunan yang paling banyak diatur-atur. Sejak mulai rencana tanam, perdagangan daun, hingga fabrikasi dan distribusi ke pasar rokok, banyak senyak sekali portal regulasi yang mengaturnya.
Saat memasuki musim tanam, misalnya, ada beberapa daerah penghasil yang gemar menerbitkan Perda tentang luasan areal tanam tembakau – yang harus diikuti petani. Meski maksudnya baik, tapi Perda itu tidak bisa menjamin terciptanya harga – maupun penyerapan secara ideal.
Kemudian, ada juga Perda yang mengatur tentang tata niaga tembakau antar daerah. MIsal Perda larangan beredarnya tembakau dari pulau Lombok di Madura. Atau sebaliknya. Meski secara teknis tidak mudah menerapkan Perda dimaksud.
Berikutnya, saat memasuki tahapan fabrikasi atau industri, kian banyak regulasi yang mengaturnya. Mulai dari regulasi tentang cukai dan HJE, tentang kemasan, sampai pada kandungan tar dan kadar nikotin. Bahkan sesuai PP No.109 TH 2012, juga diatur mengenai promosi, iklan, sampai skema pengelolaan CSR-nya.
Pendek kata, hampir setiap gerakan produsen rokok selalu ada portal regulasi yang mengikatnya. Kadar tar dan nikotin harus tertera pada bungkus rokok yang diatur sesuai jenis dan kategori rokoknya.
Tidak hanya itu, pasar/konsumen rokok pun diatur. Ada klasifikasinya. Misalnya tidak boleh dijual kepada usia di bawah 18 tahun dan kepada wanita hamil. Ketentuan ini pun wajib tertera pada bungkus rokok. Di bungkus rokok juga wajib tertulis: “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya, serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.
Kemasan rokok pun diatur tampilannya. Produsen tidak boleh semaunya menentukan sendiri total design kemasan. Karena sebagian dari space kemasan sudah menjadi otoritas negara, yakni dipergunakan sebagai ajang kampanye dan peringatan keras dengan menampilkan gambar-gambar “mengerikan”. Sesuai PP No.109/2012, gambar “menakutkan” di bungkus rokok nantinya harus 40% dari total space kemasan.
Perusahaan rokok dilarang penuh (berkala) melakukan promosi melalui media apapun dan di mana pun. Baik media luar ruang atau pun indoor. Juga tidak boleh memanfaatkan teknologi informasi untuk menyebarkan info promosinya. Pada bagian ini, industri jasa terkait periklanan akan terpukul. Perusahaan media juga terpukul. Karena selama ini sektor rokok memberikan kontribusi besar kepada perusahaan media, meski jam tayang iklan rokok sudah dimarjinalkan ke jam tengah malam. Pengusaha billboard dan videotron juga terpukul.
Perusahaan rokok juga tidak boleh melakukan kegiatan CSR, baik supporting kepada kegiatan olahraga, pendidikan, maupun kegiatan sosial. Kalau prioritas kebijakan dititik-beratkan pada aspek kesehatan, seharusnya pemerintah melakukan call tinggi membuat ketentuan yang mengarah ke aspek penguatan kesehatan. Sekalian kerdilkan industry rokok, sekaligus konsekwensi hilangnya setoran cukai. Beranikah ?