Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Saat berlangsung pandemi covid-19 ini sudah berapa ratus aparat peradilan ( Hakim, kepaniteraan, dan kesekretariatan) yang meninggal. Akan tetapi kematian Hakim yang satu ini tampaknya bakal fenomenal. Dia tidak lain adalah Hakim Pengadilan Agama Barru Sulawesi Selatan bernama Husaima yang wafat ( 25/01/2021) ketika sedang di kantor. Hakim belia ini ditemukan sudah wafat, saat masih berada meja kerja sekaligus sedang menyelesaikan pengetikan putusan. Dari laptop yang masih sedang terbuka aplikasi SIPP nya itu, tampaknya almarhum sedang bekerja ekstra keras demi suksesnya program “one day minute” dan “one day publish” yang dicanangkan pusat.
Beliau memang meninggal bukan karena covid-19. Akan tetapi, beban kerja “one day minute” dan “one day publish” dan target-target penyelesaian perkara ini, saat ini sangat menguras tenaga dan fikiran seluruh aparat peradilan agama, khususnya para hakim. Saat seluruh manusia harus menjaga kebugaran agar kebal terhadap virus seperti sekarang hampir semua instansi mengurangi kegiatan yang dapat mengurangi kebugaran dan penyebaran virus. Konsep bekerja dari rumah ( “work from home”) pun diterapkan. Akan tetapi, peradilan agama seperti tidak pernah bergeming. Sekalipun saat ini protocol kesehatan diterapkan, penerimaan perkara dan kerumunan tetap berjalan sebagaimana biasa. Saat hampir semua instansi ‘ketakutan’ dengan ‘mengharuskan’ pegawainya bekerja di rumah, beberapa waktu lalu, pengadilan agama, kalau tidak dapat dibilang satu-satunya, memang termasuk instansi yang ‘paling berani’ menantang virus asal Wuhan Cina ini.
Sebagaimana kita ketahui kegiatan orang datang di kantor pengadilan pada dasarnya ada 3 kelompok. Pertama, kelompok orang yang akan mendaftar perkara. Kedua, kelompok orang yang antri sidang, dan ketiga kelompok pengunjung sidang lainnya, seperti mengantar sidang keluarganya atau menjadi saksi. Untuk kelompok pertama masyarakat belum terikat oleh norma. Mereka dapat memilih meneruskan mendaftar atau mengurungkannya dengan alasan tertentu. Kendali menentukan datang atau tidak datang ke pengadilan masih berada di pihak masyarakat sendiri. Bahkan, adanya isu virus yang mengganas ini mestinya justru bisa dijadikan momentum untuk mengurungkan perceraian.
Untuk kelompok kedua yaitu masyarakat penunggu sidang tentu tidak bisa demikian. Para penunggu sidang ini harus mengikuti sidang sesuai antrian yang didapat. Pada saat demikian, masyarakat kelompok ini—yang biasanya datang sejak pagi tidak tahu sampai pukul berapa bisa pulang meninggalkan gedung pengadilan—segera terbebas dari kerumunan orang. Sedangkan, masyarakat kelompok ketiga memang juga bisa mengatur diri datang atau tidak datang ke pengadilan. Akan tatapi, ketika sebagai saksi masyarakat kelompok ini tidak serta merta bisa menghindar untuk tidak datang ke pengadilan begitu saja. Sebab, ketika dalam hal suatu peristiwa harus dibuktikan dengan saksi, sehingga saksi tersebut sangat menentukan, kehadirannya di pengadilan menjadi saksi adalah bersifat imperatif. Begitu urgennya, menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata, dengan mendasarkan pada Pasal 141 HIR, saksi yang tetap tidak mau hadir setelah dipanggil secara sah oleh pengadilan, hakim dapat memerintahkan agar saksi tersebut dibawa (paksa) oleh polisi ke pengadilan. Dalam konteks ini pemeriksaan saksi secara jauh, seperti teleconference, penggalakan e-litigasi—yang relatif mengurangi kehadiran para pihak dan saksi secara fisik di kantor pengadilan–sebenarnya sangat urgen. Akan tetapi, selama belum bisa, lantas apa langkah antisipasi pengadilan yang perlu ditempuh?
Sebagaimana diketahui, dengan potret harian situasi dan kondisi pengadilan, kemungkinan penyebaran virus via lembaga peradilan agama bukanlah hal yang tidak mungkin, bahkan sangat potensial. Setiap hari pengadilan agama identik dengan tempat kerumunan orang. Sebagai contoh untuk pengadilan agama yang rata-rata menerima perkara sekitar 5.000 perkara setiap tahun. Jika dengan asumsi, setiap hari ada 3 ruang sidang dan per-ruang sidang menyidangkan sekitar 20 perkara, berarti ada 60 perkara disidangkan pada hari itu. Kalau 60 perkara tersebut hadir semua baik Penggugat dan Tergugat berarti ada sekitar 120 orang. Jumlah ini belum terhitung jumlah para saksi yang di bawa oleh para pihak dan keluarga pengantar dari para pihak. Lantas, bagaimana pula dengan pengadilan agama yang setiap hari rata-rata menyidangkan hampir 200 perkara.
Langkah antisipasi yang perlu segera dilakukan, tanpa bermaksud menggurui, adalah sebaiknya para pimpinan pengadilan segera berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/ kota setempat. Sebab, sangat mungkin para pejabat yang berkompeten di daerah bukan karena tidak peduli. Akan tetapi, memang tidak tahu, bahwa setiap hari pengadilan agama merupakan tempat berkumpulnya banyak orang. Menjadi tugas para pejabat internal pengadilan memberi masukan hal-hal demikian kepada pejabat daerah. Berikut, dinas terkait segera menempatkan petugas medis dan langsung mengawasi setiap gejala yang dialami semua orang di pengadilan. Tidak saja para pengunjung sidang tetapi juga para aparat pengadilan. Mengapa? Terkait covid-19, karena tingkat mobilitas para hakim dan pejabat lain yang tinggi di luar 3 kelompok di atas–yang rata-rata berasal dari luar kota, bahkan ada lintas provinsi–tampaknya juga merupakan segmen yang harus diwaspadai. Sebab, bukan tidak mungkin ketika harus berbaur dengan masyarakat umum di angkutan umum tanpa disadari mereka ‘terinfeksi’. Dari sini petaka itu bisa dimulai.
Hal-hal tersebut disampaikan karena berangkat dari sebuah keinginan. Keinginan itu ialah—saat berbagai instansi melakukan berbagai tindakan antisipasi–jangan sampai penyebaran virus yang bengal itu semakin luas justru melalui sebuah lembaga bernama pengadilan agama. Dan, yang lebih penting lagi hal ini kita sampaikan dalam rangka menutup lobang sekecil apapun kemungkinan penyebaran virus yang sedang menjadi perhatian dunia ini. Pada saat yang sama tuntutan bekerja ekstra keras dan cepat demi penyelesaian perkara juga menjadi salah satu pemicu ‘ambruk’nya aparat peradilan agama karena kelelahan yang nyaris tiada akhir. Semoga Allah melindungi kita semua, amin.